LOGIN
Dinginnya malam menusuk hingga ke tulang, bukan dingin biasa, melainkan dingin yang membawa bau sihir dan panik yang kental.
Lembah Naga, yang selama ini menjadi tempat persembunyian yang dipercaya aman, kini bergetar hebat di bawah goncangan energi yang destruktif. Rey, yang baru berusia hitungan jam, berada dalam pelukan Ibunya, Alisa. Goncangan tubuh bayi itu terasa seperti denyut waktu yang makin menipis; setiap detik adalah kemewahan yang mereka tak lagi miliki. Ayah Rey, Jaron, menginjak tanah berlumpur, setiap langkahnya menghasilkan bunyi kecipak yang terasa terlalu nyaring, mengkhianati usaha mereka untuk sunyi di tengah kekacauan. "Cepat, Jaron! Varthas menunggu di terowongan! Kita harus tiba sebelum mereka memblokir jalan masuknya!" bisik Alisa, suaranya tercekat dan kering; bukan karena udara, melainkan karena air mata yang tak sempat ia tumpahkan demi menghemat waktu. Jaron tidak menjawab, paru-parunya penuh dengan asap pahit. Ia hanya menggenggam erat kapak berkarat di tangan kirinya—perisai satu-satunya dari sisa-sisa penduduk Lembah yang sudah tumbang. Peluh dingin mengalir di sisi wajahnya meskipun suhu udara di Lembah itu lembab dan dingin. Di belakang mereka, cahaya api memantul di langit malam, diselingi kilatan ungu yang memekakkan telinga dari Magis Kerajaan yang menyerbu dari tebing-tebing tinggi. Api ungu itu adalah tanda pengerahan kekuatan penuh, dirancang untuk melenyapkan semua yang ada hubungannya dengan Darah Emas. Mereka berlari menuju jantung Lembah, tempat di mana Varthas seharusnya menunggu di gua persembunyian. Jaron tahu, jika Magis mencapai gua itu, harapan mereka untuk menyelamatkan Rey—yang mereka panggil Kael—akan benar-benar hilang. Varthas, sang Magis tua, berdiri di mulut gua yang tersembunyi. Energi aura biru tua dari perisai pelindungnya sudah hampir padam, berkedip putus-putus seperti lilin dihembus badai, menandakan kelelahan Varthas setelah menahan rentetan serangan. Ia memegang erat Liontin Emas kuno, sumber energi teleportasi tunggal yang tersisa. "Ramalan itu tidak boleh berakhir di sini! Kerajaan sudah tahu!" raung Varthas saat Jaron dan Alisa tiba, hampir roboh di depannya. "Liontin ini hanya punya energi untuk dua kali lompatan cepat. Kael harus segera pergi!" Jaron menarik Alisa ke Varthas. Mereka semua berkumpul di mulut terowongan, sementara suara sepatu bot Magis semakin mendekat. "Dengarkan aku baik-baik, Alisa dan Jaron," kata Varthas, suaranya tegas, menembus keputusasaan mereka. "Aku akan memisahkan Darah Emas dari kalian. Aku akan membawa Kael ke Aethelgard. Dia harus dilatih untuk mencapai Ranah Legenda—melampaui Batas Sang Manusia." Alisa menggeleng, air matanya akhirnya tumpah, membasahi kain kasa penutup wajah Rey. "Tidak! Dia masih bayi! Siapa yang akan menjaganya di Gunung Es yang beku itu?" "Ini adalah satu-satunya cara. Ramalan akan terpenuhi, atau kita semua musnah," tegas Varthas, menatap mata Jaron yang penuh kesedihan. "Aku berjanji, aku akan menggunakan sisa energi liontin ini untuk memindahkan kalian ke tempat yang aman di selatan. Aku akan menyembunyikan kalian di antara manusia biasa di Kota Veridian. Kalian harus hidup, Jaron, demi hari kepulangan Rey." Jaron mengangguk, isyarat tanpa kata. Itu adalah perpisahan yang disetujui, sebuah pengorbanan waktu dan kasih sayang demi takdir yang lebih besar. Jaron dan Alisa menyerahkan Rey ke Varthas. Bayi itu, yang seharusnya menangis ketakutan dalam keadaan tersebut, hanya mengeluarkan desisan halus, bagaikan uap panas yang terperangkap—sebuah manifestasi awal dari Darah Naganya yang menolak kebisingan. Alisa menyandarkan kepala kecil Rey—yang dibungkus kain usang—ke dadunya untuk terakhir kali. Dia menghirup dalam-dalam aroma putranya, mencoba mengukir setiap detailnya di dalam memori. "Jadilah kuat, Nak," bisiknya, memaksakan pandangannya ke wajah Rey, memastikan rona merah menyala rambut anaknya adalah hal terakhir yang ia lihat. Varthas memeluk Rey erat. Dia memfokuskan sisa energi ke Liontin Emas. Ia merasakan dinginnya udara yang menusuk dari dimensi lain dan bau es murni yang telah ia programkan. Dalam kilatan cahaya keemasan yang buta yang menerangi gua, Varthas dan Rey lenyap dari Lembah. Suara perlawanan Jaron dan Alisa yang menghentikan serangan Magis di mulut gua, serta lolongan serigala yang menyambut kengerian itu, tenggelam sepenuhnya di bawah raungan api Kerajaan. Jaron dan Alisa hanya bisa menunggu. Mereka menghunus senjata sederhana mereka, berdiri di tengah sisa puing, menunggu Varthas menyelesaikan "lompatan" kedua untuk mereka. Mereka tahu: Kael kini memulai takdirnya sendirian dalam kedinginan, dan mereka harus menjalani kehidupan baru sebagai manusia biasa di Kota Veridian, menunggu sampai Legenda itu kembali.Lembah Naga, gurun pasir, dan Hutan Lumut Merah telah lama menjadi kenangan yang kabur. Tujuh belas tahun telah berlalu sejak Kael mendaki tangga dari bawah tanah Veridian, meninggalkan masa kecilnya di usia delapan tahun. Waktu telah bergerak, tetapi Darah Emas dan Ranah Grand Master telah mengikatnya pada janji keabadian. Kael kini berusia dua puluh lima tahun kronologis, tetapi Penglihatan sekilas di air yang tergenang menunjukkan wajah seorang pria muda yang terperangkap dalam kematangan awal usia dua puluhan—garis rahang yang tajam, mata yang tenang, tanpa sedikit pun kerutan atau kelelahan waktu. Selama tujuh belas tahun itu, ia hidup dalam bayangan, mengasah Ranah Sage-nya. Kael tidak pernah lagi menggunakan kekuatan penuhnya. Ia menyamar sebagai pengelana, pembuat peta, atau pedagang kecil, menjalankan misi pengawasan di seluruh wilayah, selalu bergerak, selalu mengawasi orang tuanya dari kejauhan tanpa pernah mendekat. Veridian kini hanyalah kenangan y
Beberapa bulan berlalu di bawah tanah Veridian. Kael, yang kini semakin stabil dalam Ranah Sage yang langka, tidak lagi hanya memetakan gerakan musuh; ia mulai meramalkan gerakan tersebut. Varthas membawa pelatihan taktik ke level tertinggi: Permainan Perang Spiritual. Varthas menciptakan sebuah ruang di ujung terowongan, dindingnya diukir dengan pola-pola rumit. Ruangan itu berfungsi sebagai papan catur raksasa. Bidak yang mereka gunakan adalah gambaran spiritual dari Pasukan Tentara Kerajaan dan Serikat Pedagang—dua faksi yang diam-diam bersaing di Veridian. Varthas memberi Kael skenario: "Kerajaan telah mengetahui adanya jalur penyelundupan di bawah Gerbang Timur. Kerajaan mengirimkan lima unit ksatria elit untuk menutupinya. Serikat Pedagang hanya memiliki tiga unit penjaga, tetapi mereka memiliki kontrol terowongan." Kael harus menggerakkan bidak spiritualnya, menggunakan Perabaan Spiritual untuk merasakan dampak dari setiap gerakan. Setiap gera
Di bawah rumah kecil yang baru mereka tempati, Varthas telah membuka jalan rahasia, sebuah tangga spiral gelap yang memimpin ke jaringan terowongan kuno. Udara di bawah sana dingin dan lembab, berbeda dengan kehangatan kota di atas. Penciuman Kael segera menangkap bau yang asing: campuran lumut tua, tanah basah, dan aroma manis samar dari sisa-sisa sihir yang sudah lama mati—bukti bahwa terowongan ini dulunya adalah tempat Magis. "Kota Veridian dibangun di atas kota tua, dan kota tua dibangun di atas rahasia," jelas Varthas, menyalakan lentera minyak kecil yang cahayanya berkedip, memantul di dinding batu yang basah. "Ranah Sage dimulai di sini, Kael. Kau akan meninggalkan Pedang Besi. Senjatamu sekarang adalah Pedang Cahaya Perunggu, dan yang lebih penting, akalmu." Pedang Cahaya Perunggu terasa ringan dan hampir tidak nyata di tangan Kael. "Ranah Sage," lanjut Varthas, suaranya dipenuhi ketegasan, "adalah tingkatan yang hampir tidak pernah disentuh manusia b
Varthas berdiri di depan Kael di Lembah Naga. Keheningan yang menggantikan raungan kekacauan ENS terasa berat. Kael, berusia delapan tahun, kini berdiri dengan keseimbangan sempurna, Pedang Besi di tangan kanannya. Lengan kirinya kini ditutupi lapisan kristal ungu samar di bawah kulitnya—bekas pemadatan Energi Naga Sisa—lambang Ranah Grand Master yang baru ia capai. "Tiga Ranah pertama telah selesai, Kael," ujar Varthas, suaranya kembali parau, menahan beban usianya. "Kau menguasai Darah Emas, tetapi itu tidak akan cukup di antara manusia. Mereka tidak akan menyerang dengan aura, melainkan dengan tipu daya, intrik, dan perang. Ranah Keempat, Ranah Sage, menantimu. Kau harus menjadi Sword Sage—seorang ahli strategi yang mampu mengalahkan musuh sebelum mereka sempat mengangkat pedang." Varthas mengulurkan tangannya, dan sekejap, aura emas membungkus keduanya. Ini adalah lompatan terakhir. Kael merasakan pusaran energi membalikkan perutnya (Perabaan), diikuti rasa
Varthas dan Kael segera meninggalkan tempat Kael menguasai jalur aura netral, bergerak menuju keheningan mencekik di jurang yang disebut Kawah Penghisap. Jurang itu berbentuk cekungan curam, dindingnya berlapiskan mineral kehitaman yang mengkilap di bawah kabut. Suasananya gelap, sunyi, dan dingin. "Kau telah menolak yang kotor, Kael. Tapi Darah Emas juga harus tahu bagaimana cara menarik yang murni," ujar Varthas, suaranya kini terdengar seperti gemuruh batu yang tergesek, penuh otoritas. "Ranah Grand Master ini berlanjut. Tahap berikutnya menuntutmu untuk menarik Esensi Kuno sambil menolak Racun Spiritual." Rey, yang kini berusia delapan tahun, melompat ke dasar kawah, di atas lumpur tebal yang dingin dan kenyal. Rasa jijik dan kotor terasa saat lumpur merayap naik, memberikan Perabaan yang mengganggu. Varthas menjelaskan bahwa Racun Spiritual di kabut merah itu sangat pekat, tetapi di dalamnya tersembunyi Esensi Kuno. Pedang Besi Kael ditaruh di sampingnya s
Rey, yang kini berusia delapan tahun dan dikenal sebagai Kael selama pelatihan, berdiri di hadapan lingkungan pelatihan barunya. Mereka telah melompat jauh dari Neraka Sunyi Gurun Kematian. Panas yang membakar kulitnya digantikan oleh kelembaban yang mencekik dan dingin. Mereka berada di Hutan Lumut Merah, sebuah belantara tua yang dipagari oleh pepohonan bermetamorfosis, tumbuh di atas bekas medan perang Ranah Kekuatan kuno. Kabut tebal berwarna kelabu susu menggantung rendah, membatasi pandangan hingga hanya beberapa meter. Penciuman Kael segera menangkap aroma apek yang pekat, dominasi bau belerang dingin yang bercampur dengan fermentasi lumut basah—bau kematian spiritual yang mengudara. Udara lembab ini bahkan memiliki Pengecapan yang pahit dan metalik di lidahnya, seolah ia menghirup udara yang berkarat. Varthas berjalan di depan Kael. Jubah kulit serigalanya yang lusuh tampak menyatu dengan warna kelabu hutan. "Kau telah mencapai Ranah Master







