MasukSensasi pertama yang dirasakan Rey, yang kini bernama Kael di dimensi baru ini, adalah kedinginan yang menusuk hingga sumsum—kedinginan yang melampaui konsep suhu di dunia manusia biasa. Setelah kilatan cahaya keemasan yang buta dari Liontin Emas Varthas, Lembah Naga yang lembab dan berasap segera digantikan oleh bau es murni dan ozon yang tajam, menusuk rongga hidung.
Varthas ambruk ke atas permukaan salju yang tebal di puncak Gunung Es Abadi, Aethelgard. Napasnya terengah-engah, bunyi desahannya terdengar keras di keheningan gunung. Energi teleportasi Liontin itu telah menguras hampir seluruh sisa Ranahnya. Ia memeluk Kael, memastikan bayi itu terlindungi dari suhu yang mampu membekukan darah dalam hitungan menit. Rambut merah Kael yang menyala tampak kontras dan ganjil—seperti bara yang terperangkap di tengah putihnya bentangan es. Di atas mereka, langit musim dingin bersinar dengan cahaya utara yang kejam, memancarkan warna hijau dan ungu yang dingin. "Lompatan pertama berhasil," gumam Varthas, suaranya parau. Ia segera membangun perisai aura biru tua minimalis, yang memberikan sedikit kehangatan hampa di tengah badai salju tipis yang menyambut kedatangan mereka. Ia harus segera pergi, melaksanakan janji pada Jaron dan Alisa. Varthas membaringkan Kael di atas kulit beruang tebal, yang terasa kasar dan berminyak di jari-jarinya. Ia menatap wajah polos itu. Mata emas vertikalnya tertutup rapat, tetapi Varthas bisa merasakan Api Abadi berdenyut kuat di dalam dada bayi itu—sebuah denyutan panas yang melawan Kedinginan Aethelgard. "Kau harus kuat, Nak," bisik Varthas, tangannya gemetar saat mengusap pipi Kael. "Di sini, tidak ada air mata Ibu atau kehangatan Ayah. Hanya ada takdir dan latihan yang tak terhindarkan. Gunung Es ini akan menjadi penjara dan gurumu. Kau akan dipaksa menjadi Ranah Legenda—karena jika tidak, Magis Kerajaan akan menghancurkanmu." Ia tahu. Tugasnya adalah melakukan kekejaman yang diperlukan demi memenuhi Ramalan. Varthas merobek ujung jubahnya yang lusuh, melilitkannya dengan lembut namun tegas di sekitar mata Kael—sebuah penutup mata abadi. Sentuhan kain di mata itu adalah pengajaran pertama: mengajarinya melihat dunia Ranah tanpa menggunakan cahaya fisik, memaksa indra spiritualnya berkembang. Varthas mencium kening Kael, kemudian ia berdiri. Ia mengumpulkan sisa-sisa terakhir energi sihirnya yang tersimpan di Liontin Emas itu. Rasa lelahnya begitu pekat hingga ia merasakan darah mengalir deras di telinganya. "Aku akan kembali membawa orang tuamu ke tempat aman, dan kemudian aku akan kembali untukmu," janjinya pada salju yang berterbangan. Dalam kilatan cahaya emas yang jauh lebih redup dan singkat, Varthas melompat menjauh dari Aethelgard, meninggalkan Rey sendirian. Seketika, kedinginan segera menyerbu, mengikis perlindungan aura yang tersisa. Desisan halus, yang bukan tangisan bayi melainkan suara uap Ranah yang terperangkap, keluar dari bibir Rey/Kael. Ini adalah insting murni Darah Emas, secara otomatis memanggil Api Abadi untuk menjaga jantungnya tetap berdetak di tengah suhu yang mematikan. Anak itu kini merasakan panas membakar dari dalam, melawan beku yang mengancamnya dari luar. Di sana, di puncak gunung yang beku, di bawah langit berwarna abu-abu gelap yang sunyi, Rey memulai hidup barunya. Tidak ada kehangatan, hanya angin yang melolong seperti serigala kelaparan, mengukir salju menjadi bentuk-bentuk tajam. Kutukan seekor naga telah jatuh ke darah ini, sebuah takdir yang menuntutnya untuk tumbuh di antara Manusia Biasa dan Es. Sepotong kecil bara api—anak yang ditutup matanya dan terbungkus kulit—kini berjuang sendirian di atas panggung dunia.Lembah Naga, gurun pasir, dan Hutan Lumut Merah telah lama menjadi kenangan yang kabur. Tujuh belas tahun telah berlalu sejak Kael mendaki tangga dari bawah tanah Veridian, meninggalkan masa kecilnya di usia delapan tahun. Waktu telah bergerak, tetapi Darah Emas dan Ranah Grand Master telah mengikatnya pada janji keabadian. Kael kini berusia dua puluh lima tahun kronologis, tetapi Penglihatan sekilas di air yang tergenang menunjukkan wajah seorang pria muda yang terperangkap dalam kematangan awal usia dua puluhan—garis rahang yang tajam, mata yang tenang, tanpa sedikit pun kerutan atau kelelahan waktu. Selama tujuh belas tahun itu, ia hidup dalam bayangan, mengasah Ranah Sage-nya. Kael tidak pernah lagi menggunakan kekuatan penuhnya. Ia menyamar sebagai pengelana, pembuat peta, atau pedagang kecil, menjalankan misi pengawasan di seluruh wilayah, selalu bergerak, selalu mengawasi orang tuanya dari kejauhan tanpa pernah mendekat. Veridian kini hanyalah kenangan y
Beberapa bulan berlalu di bawah tanah Veridian. Kael, yang kini semakin stabil dalam Ranah Sage yang langka, tidak lagi hanya memetakan gerakan musuh; ia mulai meramalkan gerakan tersebut. Varthas membawa pelatihan taktik ke level tertinggi: Permainan Perang Spiritual. Varthas menciptakan sebuah ruang di ujung terowongan, dindingnya diukir dengan pola-pola rumit. Ruangan itu berfungsi sebagai papan catur raksasa. Bidak yang mereka gunakan adalah gambaran spiritual dari Pasukan Tentara Kerajaan dan Serikat Pedagang—dua faksi yang diam-diam bersaing di Veridian. Varthas memberi Kael skenario: "Kerajaan telah mengetahui adanya jalur penyelundupan di bawah Gerbang Timur. Kerajaan mengirimkan lima unit ksatria elit untuk menutupinya. Serikat Pedagang hanya memiliki tiga unit penjaga, tetapi mereka memiliki kontrol terowongan." Kael harus menggerakkan bidak spiritualnya, menggunakan Perabaan Spiritual untuk merasakan dampak dari setiap gerakan. Setiap gera
Di bawah rumah kecil yang baru mereka tempati, Varthas telah membuka jalan rahasia, sebuah tangga spiral gelap yang memimpin ke jaringan terowongan kuno. Udara di bawah sana dingin dan lembab, berbeda dengan kehangatan kota di atas. Penciuman Kael segera menangkap bau yang asing: campuran lumut tua, tanah basah, dan aroma manis samar dari sisa-sisa sihir yang sudah lama mati—bukti bahwa terowongan ini dulunya adalah tempat Magis. "Kota Veridian dibangun di atas kota tua, dan kota tua dibangun di atas rahasia," jelas Varthas, menyalakan lentera minyak kecil yang cahayanya berkedip, memantul di dinding batu yang basah. "Ranah Sage dimulai di sini, Kael. Kau akan meninggalkan Pedang Besi. Senjatamu sekarang adalah Pedang Cahaya Perunggu, dan yang lebih penting, akalmu." Pedang Cahaya Perunggu terasa ringan dan hampir tidak nyata di tangan Kael. "Ranah Sage," lanjut Varthas, suaranya dipenuhi ketegasan, "adalah tingkatan yang hampir tidak pernah disentuh manusia b
Varthas berdiri di depan Kael di Lembah Naga. Keheningan yang menggantikan raungan kekacauan ENS terasa berat. Kael, berusia delapan tahun, kini berdiri dengan keseimbangan sempurna, Pedang Besi di tangan kanannya. Lengan kirinya kini ditutupi lapisan kristal ungu samar di bawah kulitnya—bekas pemadatan Energi Naga Sisa—lambang Ranah Grand Master yang baru ia capai. "Tiga Ranah pertama telah selesai, Kael," ujar Varthas, suaranya kembali parau, menahan beban usianya. "Kau menguasai Darah Emas, tetapi itu tidak akan cukup di antara manusia. Mereka tidak akan menyerang dengan aura, melainkan dengan tipu daya, intrik, dan perang. Ranah Keempat, Ranah Sage, menantimu. Kau harus menjadi Sword Sage—seorang ahli strategi yang mampu mengalahkan musuh sebelum mereka sempat mengangkat pedang." Varthas mengulurkan tangannya, dan sekejap, aura emas membungkus keduanya. Ini adalah lompatan terakhir. Kael merasakan pusaran energi membalikkan perutnya (Perabaan), diikuti rasa
Varthas dan Kael segera meninggalkan tempat Kael menguasai jalur aura netral, bergerak menuju keheningan mencekik di jurang yang disebut Kawah Penghisap. Jurang itu berbentuk cekungan curam, dindingnya berlapiskan mineral kehitaman yang mengkilap di bawah kabut. Suasananya gelap, sunyi, dan dingin. "Kau telah menolak yang kotor, Kael. Tapi Darah Emas juga harus tahu bagaimana cara menarik yang murni," ujar Varthas, suaranya kini terdengar seperti gemuruh batu yang tergesek, penuh otoritas. "Ranah Grand Master ini berlanjut. Tahap berikutnya menuntutmu untuk menarik Esensi Kuno sambil menolak Racun Spiritual." Rey, yang kini berusia delapan tahun, melompat ke dasar kawah, di atas lumpur tebal yang dingin dan kenyal. Rasa jijik dan kotor terasa saat lumpur merayap naik, memberikan Perabaan yang mengganggu. Varthas menjelaskan bahwa Racun Spiritual di kabut merah itu sangat pekat, tetapi di dalamnya tersembunyi Esensi Kuno. Pedang Besi Kael ditaruh di sampingnya s
Rey, yang kini berusia delapan tahun dan dikenal sebagai Kael selama pelatihan, berdiri di hadapan lingkungan pelatihan barunya. Mereka telah melompat jauh dari Neraka Sunyi Gurun Kematian. Panas yang membakar kulitnya digantikan oleh kelembaban yang mencekik dan dingin. Mereka berada di Hutan Lumut Merah, sebuah belantara tua yang dipagari oleh pepohonan bermetamorfosis, tumbuh di atas bekas medan perang Ranah Kekuatan kuno. Kabut tebal berwarna kelabu susu menggantung rendah, membatasi pandangan hingga hanya beberapa meter. Penciuman Kael segera menangkap aroma apek yang pekat, dominasi bau belerang dingin yang bercampur dengan fermentasi lumut basah—bau kematian spiritual yang mengudara. Udara lembab ini bahkan memiliki Pengecapan yang pahit dan metalik di lidahnya, seolah ia menghirup udara yang berkarat. Varthas berjalan di depan Kael. Jubah kulit serigalanya yang lusuh tampak menyatu dengan warna kelabu hutan. "Kau telah mencapai Ranah Master







