Home / Fantasi / KUTUKAN DARAH EMAS / Bab 7: Gerbang Veridian dan Pedang yang Dingin

Share

Bab 7: Gerbang Veridian dan Pedang yang Dingin

Author: Bommz
last update Last Updated: 2025-10-26 20:30:06

Varthas berdiri di depan Kael di Lembah Naga. Keheningan yang menggantikan raungan kekacauan ENS terasa berat. Kael, berusia delapan tahun, kini berdiri dengan keseimbangan sempurna, Pedang Besi di tangan kanannya. Lengan kirinya kini ditutupi lapisan kristal ungu samar di bawah kulitnya—bekas pemadatan Energi Naga Sisa—lambang Ranah Grand Master yang baru ia capai.

​"Tiga Ranah pertama telah selesai, Kael," ujar Varthas, suaranya kembali parau, menahan beban usianya. "Kau menguasai Darah Emas, tetapi itu tidak akan cukup di antara manusia. Mereka tidak akan menyerang dengan aura, melainkan dengan tipu daya, intrik, dan perang. Ranah Keempat, Ranah Sage, menantimu. Kau harus menjadi Sword Sage—seorang ahli strategi yang mampu mengalahkan musuh sebelum mereka sempat mengangkat pedang."

​Varthas mengulurkan tangannya, dan sekejap, aura emas membungkus keduanya. Ini adalah lompatan terakhir. Kael merasakan pusaran energi membalikkan perutnya (Perabaan), diikuti rasa pahit logam di mulutnya (Pengecapan) yang selalu menyertai teleportasi jarak jauh.

​Lompatan berakhir dengan tiba-tiba. Kedinginan dan kelembaban Lembah Naga seketika digantikan oleh suhu yang hangat dan bau yang asing—aroma asap kayu bakar, tanah kering, dan bau kulit yang disamak (Penciuman). Ini adalah bau kehidupan manusia. Kael tahu mereka telah tiba.

​Varthas membimbing Kael berjalan di sepanjang jalan setapak yang ditutupi debu kering. Di depan mereka, menjulang tembok batu berwarna abu-abu yang menjulang tinggi, dihiasi lumut tipis di beberapa bagian. Ini adalah Kota Veridian, kota pelabuhan yang ramai, tempat di mana Jaron dan Alisa bersembunyi.

​"Penyamaran kita sempurna. Mata emas vertikalmu kini berbentuk normal, Darah Emasmu tersembunyi," Varthas berbisik. "Di sini, kau adalah anak yatim piatu yang kucari di hutan. Kau harus belajar, Kael. Belajar menjadi manusia, bukan hanya senjata."

​Saat mereka melewati gerbang kota, Pendengaran Kael dihantam oleh gelombang suara. Keriuhan. Suara roda gerobak berdecit, teriakan pedagang, tawa anak-anak, dan bisikan penjaga gerbang. Ini adalah kekacauan sensorik yang jauh berbeda dari desisan gurun atau lolongan es. Kael merasakan sedikit pusing, dan ototnya menegang; refleksnya sebagai Master dan Grand Master ingin bereaksi terhadap setiap gerakan yang tidak terduga.

​Varthas merasakan ketegangan Kael. Ia meletakkan tangan keriputnya di bahu Kael. "Kontrol, Kael. Inilah ujianmu. Ranah Sage bukan tentang kekuatan fisik. Ini tentang Persepsi Mental—membedakan niat, bukan hanya aura."

​Mereka bergerak melalui pasar yang padat. Kael, yang mata fisiknya ditutup sejak bayi, merasakan lingkungan ini dengan Perabaan Spiritual yang luar biasa detail. Ia bisa merasakan kehangatan orang yang lewat, getaran cemas di balik suara tawa, dan aura samar ketamakan dari pedagang. Namun, tidak ada aura yang murni busuk atau murni suci; semuanya bercampur, samar, dan rumit. Ini lebih sulit daripada melawan Cakar Besi.

​Varthas membawa Kael ke sebuah rumah kecil yang terbuat dari batu dan kayu tua. Di dalam, sebuah pedang baru tergeletak di atas meja. Pedang itu tampak sederhana, gagangnya dibungkus kulit. Pedang ini lebih ringan daripada Pedang Besi yang dibawa Kael selama bertahun-tahun, tetapi memancarkan aura dingin yang asing.

​"Pedang Besi yang kau bawa adalah disiplin, Kael. Pedang ini," Varthas menunjuk ke pedang baru, "adalah Cahaya Perunggu. Ini adalah alatmu di dunia manusia. Ringan, cepat, dan tersembunyi. Pelatihan Ranah Sage akan dimulai di bawah tanah kota ini, di mana konflik manusia membusuk. Kau akan belajar merancang konflik, bukan menghadapinya."

​Kael mengangguk, mengambil Pedang Cahaya Perunggu itu. Perabaan-nya mencatat: logam yang tajam, dingin, dan terasa rapuh dibandingkan Pedang Besi yang berat. Ia merasakan janji baru: menggunakan kekuatan dengan kecerdasan, bukan hanya kekuatan murni.

​Varthas tersenyum singkat, senyum yang jarang. "Di sinilah orang tuamu bersembunyi, Kael. Jaron dan Alisa. Mereka aman, tetapi mereka tidak akan tahu kau ada di dekat mereka. Kau harus melatih taktikmu di antara orang-orang yang mereka cintai."

​Kael menatap keheningan di balik pintu rumah. Ia bisa merasakan kehangatan emosi manusia biasa, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan di gurun atau di es. Kehendak Murni Kael, yang selama ini hanya fokus pada bertahan hidup, kini mendapatkan fokus baru: melindungi.

​Ranah Sage telah dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KUTUKAN DARAH EMAS   Bab 10: Malam di Aelion dan Garis Batas Fana

    Lembah Naga, gurun pasir, dan Hutan Lumut Merah telah lama menjadi kenangan yang kabur. ​Tujuh belas tahun telah berlalu sejak Kael mendaki tangga dari bawah tanah Veridian, meninggalkan masa kecilnya di usia delapan tahun. Waktu telah bergerak, tetapi Darah Emas dan Ranah Grand Master telah mengikatnya pada janji keabadian. Kael kini berusia dua puluh lima tahun kronologis, tetapi Penglihatan sekilas di air yang tergenang menunjukkan wajah seorang pria muda yang terperangkap dalam kematangan awal usia dua puluhan—garis rahang yang tajam, mata yang tenang, tanpa sedikit pun kerutan atau kelelahan waktu. ​Selama tujuh belas tahun itu, ia hidup dalam bayangan, mengasah Ranah Sage-nya. Kael tidak pernah lagi menggunakan kekuatan penuhnya. Ia menyamar sebagai pengelana, pembuat peta, atau pedagang kecil, menjalankan misi pengawasan di seluruh wilayah, selalu bergerak, selalu mengawasi orang tuanya dari kejauhan tanpa pernah mendekat. Veridian kini hanyalah kenangan y

  • KUTUKAN DARAH EMAS   Bab 9: Pedang di Atas Papan Catur

    Beberapa bulan berlalu di bawah tanah Veridian. Kael, yang kini semakin stabil dalam Ranah Sage yang langka, tidak lagi hanya memetakan gerakan musuh; ia mulai meramalkan gerakan tersebut. Varthas membawa pelatihan taktik ke level tertinggi: Permainan Perang Spiritual. ​Varthas menciptakan sebuah ruang di ujung terowongan, dindingnya diukir dengan pola-pola rumit. Ruangan itu berfungsi sebagai papan catur raksasa. Bidak yang mereka gunakan adalah gambaran spiritual dari Pasukan Tentara Kerajaan dan Serikat Pedagang—dua faksi yang diam-diam bersaing di Veridian. ​Varthas memberi Kael skenario: "Kerajaan telah mengetahui adanya jalur penyelundupan di bawah Gerbang Timur. Kerajaan mengirimkan lima unit ksatria elit untuk menutupinya. Serikat Pedagang hanya memiliki tiga unit penjaga, tetapi mereka memiliki kontrol terowongan." ​Kael harus menggerakkan bidak spiritualnya, menggunakan Perabaan Spiritual untuk merasakan dampak dari setiap gerakan. Setiap gera

  • KUTUKAN DARAH EMAS   Bab 8: Bayangan di Bawah Veridian

    ​Di bawah rumah kecil yang baru mereka tempati, Varthas telah membuka jalan rahasia, sebuah tangga spiral gelap yang memimpin ke jaringan terowongan kuno. Udara di bawah sana dingin dan lembab, berbeda dengan kehangatan kota di atas. Penciuman Kael segera menangkap bau yang asing: campuran lumut tua, tanah basah, dan aroma manis samar dari sisa-sisa sihir yang sudah lama mati—bukti bahwa terowongan ini dulunya adalah tempat Magis. ​"Kota Veridian dibangun di atas kota tua, dan kota tua dibangun di atas rahasia," jelas Varthas, menyalakan lentera minyak kecil yang cahayanya berkedip, memantul di dinding batu yang basah. "Ranah Sage dimulai di sini, Kael. Kau akan meninggalkan Pedang Besi. Senjatamu sekarang adalah Pedang Cahaya Perunggu, dan yang lebih penting, akalmu." ​Pedang Cahaya Perunggu terasa ringan dan hampir tidak nyata di tangan Kael. "Ranah Sage," lanjut Varthas, suaranya dipenuhi ketegasan, "adalah tingkatan yang hampir tidak pernah disentuh manusia b

  • KUTUKAN DARAH EMAS   Bab 7: Gerbang Veridian dan Pedang yang Dingin

    Varthas berdiri di depan Kael di Lembah Naga. Keheningan yang menggantikan raungan kekacauan ENS terasa berat. Kael, berusia delapan tahun, kini berdiri dengan keseimbangan sempurna, Pedang Besi di tangan kanannya. Lengan kirinya kini ditutupi lapisan kristal ungu samar di bawah kulitnya—bekas pemadatan Energi Naga Sisa—lambang Ranah Grand Master yang baru ia capai. ​"Tiga Ranah pertama telah selesai, Kael," ujar Varthas, suaranya kembali parau, menahan beban usianya. "Kau menguasai Darah Emas, tetapi itu tidak akan cukup di antara manusia. Mereka tidak akan menyerang dengan aura, melainkan dengan tipu daya, intrik, dan perang. Ranah Keempat, Ranah Sage, menantimu. Kau harus menjadi Sword Sage—seorang ahli strategi yang mampu mengalahkan musuh sebelum mereka sempat mengangkat pedang." ​Varthas mengulurkan tangannya, dan sekejap, aura emas membungkus keduanya. Ini adalah lompatan terakhir. Kael merasakan pusaran energi membalikkan perutnya (Perabaan), diikuti rasa

  • KUTUKAN DARAH EMAS   Bab 6: Racun, Baja, dan Jantung yang Memadat

    Varthas dan Kael segera meninggalkan tempat Kael menguasai jalur aura netral, bergerak menuju keheningan mencekik di jurang yang disebut Kawah Penghisap. Jurang itu berbentuk cekungan curam, dindingnya berlapiskan mineral kehitaman yang mengkilap di bawah kabut. Suasananya gelap, sunyi, dan dingin. ​"Kau telah menolak yang kotor, Kael. Tapi Darah Emas juga harus tahu bagaimana cara menarik yang murni," ujar Varthas, suaranya kini terdengar seperti gemuruh batu yang tergesek, penuh otoritas. "Ranah Grand Master ini berlanjut. Tahap berikutnya menuntutmu untuk menarik Esensi Kuno sambil menolak Racun Spiritual." ​Rey, yang kini berusia delapan tahun, melompat ke dasar kawah, di atas lumpur tebal yang dingin dan kenyal. Rasa jijik dan kotor terasa saat lumpur merayap naik, memberikan Perabaan yang mengganggu. Varthas menjelaskan bahwa Racun Spiritual di kabut merah itu sangat pekat, tetapi di dalamnya tersembunyi Esensi Kuno. Pedang Besi Kael ditaruh di sampingnya s

  • KUTUKAN DARAH EMAS   bab 5: Lumut, Logam, dan Keseimbangan Aura

    Rey, yang kini berusia delapan tahun dan dikenal sebagai Kael selama pelatihan, berdiri di hadapan lingkungan pelatihan barunya. Mereka telah melompat jauh dari Neraka Sunyi Gurun Kematian. Panas yang membakar kulitnya digantikan oleh kelembaban yang mencekik dan dingin. Mereka berada di Hutan Lumut Merah, sebuah belantara tua yang dipagari oleh pepohonan bermetamorfosis, tumbuh di atas bekas medan perang Ranah Kekuatan kuno. ​Kabut tebal berwarna kelabu susu menggantung rendah, membatasi pandangan hingga hanya beberapa meter. Penciuman Kael segera menangkap aroma apek yang pekat, dominasi bau belerang dingin yang bercampur dengan fermentasi lumut basah—bau kematian spiritual yang mengudara. Udara lembab ini bahkan memiliki Pengecapan yang pahit dan metalik di lidahnya, seolah ia menghirup udara yang berkarat. ​Varthas berjalan di depan Kael. Jubah kulit serigalanya yang lusuh tampak menyatu dengan warna kelabu hutan. "Kau telah mencapai Ranah Master

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status