LOGINRey, yang kini berusia delapan tahun dan dikenal sebagai Kael selama pelatihan, berdiri di hadapan lingkungan pelatihan barunya. Mereka telah melompat jauh dari Neraka Sunyi Gurun Kematian. Panas yang membakar kulitnya digantikan oleh kelembaban yang mencekik dan dingin. Mereka berada di Hutan Lumut Merah, sebuah belantara tua yang dipagari oleh pepohonan bermetamorfosis, tumbuh di atas bekas medan perang Ranah Kekuatan kuno.
Kabut tebal berwarna kelabu susu menggantung rendah, membatasi pandangan hingga hanya beberapa meter. Penciuman Kael segera menangkap aroma apek yang pekat, dominasi bau belerang dingin yang bercampur dengan fermentasi lumut basah—bau kematian spiritual yang mengudara. Udara lembab ini bahkan memiliki Pengecapan yang pahit dan metalik di lidahnya, seolah ia menghirup udara yang berkarat. Varthas berjalan di depan Kael. Jubah kulit serigalanya yang lusuh tampak menyatu dengan warna kelabu hutan. "Kau telah mencapai Ranah Master di gurun. Sekarang, Ranah Ketiga menantumu. Ini adalah Ranah Grand Master," jelas Varthas, suaranya terdengar berat dan kering. "Ranah ini adalah tentang Daya Tarik dan Penolakan. Hutan ini akan menjadi gurumu sekaligus racunmu." Varthas menunjuk ke pepohonan. Batang-batangnya bukan kayu, melainkan pilar-pilar tebal dari Baja Lumut—logam padat yang diselimuti lapisan tebal lumut merah. Pepohonan ini adalah sisa-sisa senjata Magis kuno, yang terkontaminasi oleh sihir membusuk. "Api Abadimu adalah magnet alami bagi energi ini. Jika kau tidak menolaknya, aura kotor dari Ranah kekuatan yang mati ini akan menyerbu dan mencemari Darah Emasmu," Varthas memperingatkan. "Ujian pertamamu: kau harus melintasi lembah ini tanpa menyentuh satu pun Pohon Baja Lumut. Jarak sentuhan aura pun dihitung." Kael segera tahu kesulitan yang sebenarnya. Setiap pohon memancarkan aura berbeda. Pohon di sisi kiri memancarkan aura penarik, membuat otot-otot kaki Kael tertarik kuat, seolah ada tali tak terlihat yang menariknya ke batang logam dingin itu. Pohon di sisi kanan memancarkan aura penolak, membuat langkahnya terhuyung, seolah ada dinding tidak terlihat yang mendorongnya menjauh. Kael melangkah. Ia segera ambruk, lututnya menjejak lumpur tebal yang dingin dan kenyal (Perabaan). Rasa jijik dan kotor terasa saat lumpur itu merayap naik ke celana dan jubahnya. "Gunakan Ranah Master-mu, Kael! Kecepatan dan Persepsi di Gurun Kematian kini harus diterapkan pada kemurnian gerak," raung Varthas. Kael menutup matanya lebih rapat. Ia mengaktifkan Pendengaran Spiritual-nya. Ia tidak lagi mendengarkan angin atau serangga, melainkan frekuensi aura pohon-pohon di depannya—sebuah desisan spiritual yang tajam. Ia menggunakan Api Abadi-nya, bukan sebagai perisai, melainkan sebagai Kompas Internal yang memetakan zona aura netral. Saat ia mendekati Pohon Baja Lumut penarik, ia memancarkan sedikit Api Abadi dari kakinya untuk melawan tarikan tersebut—bukan dengan kekuatan, tetapi dengan pembalikan kutub aura. Ia menekan langkahnya ke bawah, menggunakan tarikan itu sebagai stabilisator. Ia berhasil melewati yang pertama, tetapi ia tidak sengaja menyenggol zona aura pohon penolak. Gelombang energi kotor menghantam lengan kanannya. Seketika, Kael merasakan gelombang dingin dan sakit yang tajam menyebar ke seluruh lengan kanannya (Pengecapan Rasa Sakit). Rasa sakit ini adalah kontaminasi spiritual yang mencoba merusak Darah Emasnya. Kael segera mundur, membiarkan aura busuk itu terlepas. Minggu demi minggu, Kael terus berlatih. Ia berhenti berjalan. Ia mulai meliuk dan menari melintasi lembah, gerakannya cair dan presisi. Ia belajar menjaga zona netral di sekeliling tubuhnya, mengubah Pedang Besi-nya di punggung menjadi penyeimbang aura spiritual. Akhirnya, Kael berhasil. Ia melintasi seluruh lembah tanpa menyentuh satu pun Pohon Baja Lumut, dan tanpa merasakan tarikan atau tolakan yang berarti. Ia telah menguasai keseimbangan aura pertamanya di Ranah Grand Master. Varthas mengangguk pelan. "Kau telah menolak yang kotor, Kael. Tapi Darah Emas juga harus tahu bagaimana cara menarik yang murni." Varthas menunjuk ke arah jurang di ujung lembah, tempat kabut merah pekat terasa paling tebal. "Kita akan pindah ke tahap berikutnya. Di sana, kau akan melatih Daya Tarik Elemen dengan menghadapi racun spiritual yang paling pekat."Lembah Naga, gurun pasir, dan Hutan Lumut Merah telah lama menjadi kenangan yang kabur. Tujuh belas tahun telah berlalu sejak Kael mendaki tangga dari bawah tanah Veridian, meninggalkan masa kecilnya di usia delapan tahun. Waktu telah bergerak, tetapi Darah Emas dan Ranah Grand Master telah mengikatnya pada janji keabadian. Kael kini berusia dua puluh lima tahun kronologis, tetapi Penglihatan sekilas di air yang tergenang menunjukkan wajah seorang pria muda yang terperangkap dalam kematangan awal usia dua puluhan—garis rahang yang tajam, mata yang tenang, tanpa sedikit pun kerutan atau kelelahan waktu. Selama tujuh belas tahun itu, ia hidup dalam bayangan, mengasah Ranah Sage-nya. Kael tidak pernah lagi menggunakan kekuatan penuhnya. Ia menyamar sebagai pengelana, pembuat peta, atau pedagang kecil, menjalankan misi pengawasan di seluruh wilayah, selalu bergerak, selalu mengawasi orang tuanya dari kejauhan tanpa pernah mendekat. Veridian kini hanyalah kenangan y
Beberapa bulan berlalu di bawah tanah Veridian. Kael, yang kini semakin stabil dalam Ranah Sage yang langka, tidak lagi hanya memetakan gerakan musuh; ia mulai meramalkan gerakan tersebut. Varthas membawa pelatihan taktik ke level tertinggi: Permainan Perang Spiritual. Varthas menciptakan sebuah ruang di ujung terowongan, dindingnya diukir dengan pola-pola rumit. Ruangan itu berfungsi sebagai papan catur raksasa. Bidak yang mereka gunakan adalah gambaran spiritual dari Pasukan Tentara Kerajaan dan Serikat Pedagang—dua faksi yang diam-diam bersaing di Veridian. Varthas memberi Kael skenario: "Kerajaan telah mengetahui adanya jalur penyelundupan di bawah Gerbang Timur. Kerajaan mengirimkan lima unit ksatria elit untuk menutupinya. Serikat Pedagang hanya memiliki tiga unit penjaga, tetapi mereka memiliki kontrol terowongan." Kael harus menggerakkan bidak spiritualnya, menggunakan Perabaan Spiritual untuk merasakan dampak dari setiap gerakan. Setiap gera
Di bawah rumah kecil yang baru mereka tempati, Varthas telah membuka jalan rahasia, sebuah tangga spiral gelap yang memimpin ke jaringan terowongan kuno. Udara di bawah sana dingin dan lembab, berbeda dengan kehangatan kota di atas. Penciuman Kael segera menangkap bau yang asing: campuran lumut tua, tanah basah, dan aroma manis samar dari sisa-sisa sihir yang sudah lama mati—bukti bahwa terowongan ini dulunya adalah tempat Magis. "Kota Veridian dibangun di atas kota tua, dan kota tua dibangun di atas rahasia," jelas Varthas, menyalakan lentera minyak kecil yang cahayanya berkedip, memantul di dinding batu yang basah. "Ranah Sage dimulai di sini, Kael. Kau akan meninggalkan Pedang Besi. Senjatamu sekarang adalah Pedang Cahaya Perunggu, dan yang lebih penting, akalmu." Pedang Cahaya Perunggu terasa ringan dan hampir tidak nyata di tangan Kael. "Ranah Sage," lanjut Varthas, suaranya dipenuhi ketegasan, "adalah tingkatan yang hampir tidak pernah disentuh manusia b
Varthas berdiri di depan Kael di Lembah Naga. Keheningan yang menggantikan raungan kekacauan ENS terasa berat. Kael, berusia delapan tahun, kini berdiri dengan keseimbangan sempurna, Pedang Besi di tangan kanannya. Lengan kirinya kini ditutupi lapisan kristal ungu samar di bawah kulitnya—bekas pemadatan Energi Naga Sisa—lambang Ranah Grand Master yang baru ia capai. "Tiga Ranah pertama telah selesai, Kael," ujar Varthas, suaranya kembali parau, menahan beban usianya. "Kau menguasai Darah Emas, tetapi itu tidak akan cukup di antara manusia. Mereka tidak akan menyerang dengan aura, melainkan dengan tipu daya, intrik, dan perang. Ranah Keempat, Ranah Sage, menantimu. Kau harus menjadi Sword Sage—seorang ahli strategi yang mampu mengalahkan musuh sebelum mereka sempat mengangkat pedang." Varthas mengulurkan tangannya, dan sekejap, aura emas membungkus keduanya. Ini adalah lompatan terakhir. Kael merasakan pusaran energi membalikkan perutnya (Perabaan), diikuti rasa
Varthas dan Kael segera meninggalkan tempat Kael menguasai jalur aura netral, bergerak menuju keheningan mencekik di jurang yang disebut Kawah Penghisap. Jurang itu berbentuk cekungan curam, dindingnya berlapiskan mineral kehitaman yang mengkilap di bawah kabut. Suasananya gelap, sunyi, dan dingin. "Kau telah menolak yang kotor, Kael. Tapi Darah Emas juga harus tahu bagaimana cara menarik yang murni," ujar Varthas, suaranya kini terdengar seperti gemuruh batu yang tergesek, penuh otoritas. "Ranah Grand Master ini berlanjut. Tahap berikutnya menuntutmu untuk menarik Esensi Kuno sambil menolak Racun Spiritual." Rey, yang kini berusia delapan tahun, melompat ke dasar kawah, di atas lumpur tebal yang dingin dan kenyal. Rasa jijik dan kotor terasa saat lumpur merayap naik, memberikan Perabaan yang mengganggu. Varthas menjelaskan bahwa Racun Spiritual di kabut merah itu sangat pekat, tetapi di dalamnya tersembunyi Esensi Kuno. Pedang Besi Kael ditaruh di sampingnya s
Rey, yang kini berusia delapan tahun dan dikenal sebagai Kael selama pelatihan, berdiri di hadapan lingkungan pelatihan barunya. Mereka telah melompat jauh dari Neraka Sunyi Gurun Kematian. Panas yang membakar kulitnya digantikan oleh kelembaban yang mencekik dan dingin. Mereka berada di Hutan Lumut Merah, sebuah belantara tua yang dipagari oleh pepohonan bermetamorfosis, tumbuh di atas bekas medan perang Ranah Kekuatan kuno. Kabut tebal berwarna kelabu susu menggantung rendah, membatasi pandangan hingga hanya beberapa meter. Penciuman Kael segera menangkap aroma apek yang pekat, dominasi bau belerang dingin yang bercampur dengan fermentasi lumut basah—bau kematian spiritual yang mengudara. Udara lembab ini bahkan memiliki Pengecapan yang pahit dan metalik di lidahnya, seolah ia menghirup udara yang berkarat. Varthas berjalan di depan Kael. Jubah kulit serigalanya yang lusuh tampak menyatu dengan warna kelabu hutan. "Kau telah mencapai Ranah Master







