Apabila kita sedang tersesat di dalam hutan ketika malam hari, kita biasanya melihat beberapa titik-titik cahaya. Sebuah titik-titik cahaya suatu kampung dari kejauhan, yang bisa menjadi petunjuk arah ketika kita sedang tersesat.
Namun berbeda dengan hutan Gunung Sepuh, satu-satunya kampung yang paling dekat dengan hutan tersebut adalah Kampung Sepuh. Yang di mana, kampung tersebut sangatlah gelap pada malam hari.
Tidak ada satu pun manusia yang sengaja menyalakan lampu minyaknya di depan rumah, juga menyalakan obor-obor di pinggir jalan untuk menerangi jalanan.
Mereka hanya menyalakan lampu minyak dan petromak di dalam rumah, dan tidak sekalipun berani untuk menyalakan cahaya-cahaya itu di luar rumahnya.
Apalagi cahaya-cahaya yang muncul di Gunung Sepuh selain cahaya bulan yang muncul secara tiba-tiba di tengah gelapnya hutan Gunung Sepuh ketika malam tiba.
Hanya ada dua kemungkinan, yang pertama adalah cahaya tersebut muncul dari senter-senter manusia yang sengaja datang ke Gunung Sepuh ketika malam tiba. Mereka sengaja tidak memakai cahaya petromax karena mereka tidak ingin diketahui oleh warga sekitar ketika sedang melakukan ritual di dalam sana.
Atau memang, itu adalah sebuah cahaya yang menyala di tengah-tengah hutan seperti api, yang bisa jadi adalah sesuatu yang harus di waspadai. Karena banyak sekali cerita-cerita tentang makhluk gunung yang sering kali menjebak manusia dengan cahaya api yang mereka keluarkan dari tubuhnya.
***
Aku yang sedang menyender tepat di sebuah batu besar di tengah hutan, kini melihat titik cahaya tersebut terbang dan melayang di antar pepohonan hutan dari kejauhan.
Krosak
Krosak
Terdengar lagi suara seseorang yang sedang berjalan, di iringi dengan titik cahaya yang terlihat sedang melayang ke sana kemari di antara pepohonan hutan yang lebat tersebut.
“Apakah itu Bapak yang membawa obor untuk menjemputku? ” Pikirku sambil melihat titik cahaya itu yang semakin lama semakin dekat secara perlahan.
Namun,
Pikiranku secara tiba-tiba tidak membenarkan hal itu, apalagi dengan tulisan yang dia tulis sendiri dan diberikan kepadaku ketika aku memejamkan mata. Bapak tidak akan mungkin menjemputku apalagi dengan membawa lampu minyak yang sering dia pakai di warungnya.
Karena ketika bapak berjalan dalam gelap, jarang sekali membawa lampu minyak. Bapak sudah terbiasa berjalan di dalam kegelapan. Kalaupun harus memakai cahaya untuk membantunya berjalan, biasanya dia suka membawa senter kecil yang dia beli dari kota, dan aku sangat hafal dengan cahaya dari senter kecil itu.
“Tidak, tidak, tidak mungkin Bapak menjemput membawa lampu minyak. ”
Aku kini menggelengkan kepala, pikiranku sangatlah kacau pada saat itu. Rasa lelah dan ketakutan yang terus-menerus menghantui pikiranku membuat aku tidak bisa berpikir jernih.
“Jadi, siapa yang membawa cahaya itu? ”
Aku berpikir kembali sambil menyenderkan badanku yang kelelahan ini. Karena rasanya tidak mungkin ada manusia yang datang menghampiriku dengan cahaya api yang seperti melayang di tengah-tengah kegelapan hutan.
Kalaupun ada, pasti mereka adalah orang-orang kota yang akan melakukan ritual di dalam gunung. Tapi, mereka pasti memakai senter di tengah hutan, dan tidak mungkin mereka harus repot-repot membuat obor atau memakai lampu minyak hanya untuk penerangan mereka.
Krosak krosak
Suara-suara itu terdengar kembali, titik cahaya yang tadi terlihat dari kejauhan secara perlahan-lahan mendekat dan mendekat. Aku yang sudah bingung ketika menebak cahaya tersebut, secara spontan berteriak ke arahnya.
“HEY, SAHA ETA, EDEK NAON MANEH KADIEU? (HEY, SIAPA KAMU, MAU APA KAMU KESINI? )”
Aku berteriak dengan sekuat tenaga, Dengan harapan dia menjawab teriakanku dan memastikan bahwa itu adalah manusia.
Namun, tidak ada jawaban yang membalas teriakanku. Sehingga tiba-tiba aku berpikir bahwa cahaya itu bukanlah cahaya dan sebuah langkah kaki dari manusia.
“Itu pasti banaspati, itu pasti makhluk lainnya yang mewujudkan dirinya menjadi banaspati. ”
“Kalau dia mendekat aku pasti tidak akan selamat. ”
Aku langsung berpikir tentang banaspati. Salah satu makhluk dengan cahaya api yang menyala dan terbang mengelilingi hutan yang gelap itu untuk mencari mangsa.
Banaspati salah satu makhluk yang sering kali dihindari oleh manusia ketika bertemu dengannya di dalam hutan.
Karena banaspati bisa membawa penyakit ataupun membawa benda-benda santet yang bisa mencelakakan manusia yang menjadi targetnya.
***
Dengan napas yang terengah-engah dan tenaga yang hampir habis, aku kini berusaha menjauh dari titik cahaya tersebut.
Meskipun suara langkah kakinya terdengar, namun aku yakin bahwa itu adalah manipulasi banaspati agar menyangka bahwa apa yang mendekatiku adalah manusia. Dan ketika banaspati itu mendekat, dia akan langsung mengeluarkan penyakit dan santet kepadaku, sehingga aku terserang penyakit yang mungkin akan susah untuk disembuhkan.
Aku berusaha untuk menjauh. Namun, kaki dan tubuhku tampaknya sudah mencapai batasnya. Aku sudah sangat capek dan sudah tidak mampu lagi untuk berlari.
Arggggghhh
Aku sengaja menyeret kakiku agar aku bisa menjauh dari cahaya yang kini terlihat semakin mendekat kepadaku pada saat itu. Aku berusaha meraba batu besar itu dan berusaha untuk melangkahkan kakiku, meskipun kini langkah kakiku terasa lebih berat.
Aku berusaha untuk bersembunyi dibalik batu besar itu, karena aku sudah tidak sanggup lagi untuk berlari dengan rasa letih dan luka yang ada di sekitar tubuhku. Juga, rasa kantuk yang kini mulai menyerang tubuhku karena malam semakin larut.
Untung saja, di belakang batu tersebut ada sebuah celah kecil yang seukuranku, aku dengan susah payah mencoba untuk masuk ke dalam celah kecil itu meskipun harus merangkak mundur agar masuk kedalamnya. Dan berharap, banaspati itu tidak akan menemukanku.
Di tengah-tengah kepanikan, aku kini melepas bajuku. Meskipun hawa dingin semakin terasa menusuk kulit ketika aku melepas baju, namun aku sengaja melepasnya untuk menutupi celah kecil itu dengan bajuku agar aku tidak ditemukan oleh banaspati itu.
Dengan tubuh yang menggigil akibat hawa hutan yang dingin ketika malam tiba, aku menunggu dan menunggu di dalam celah kecil hingga aku merasa bahwa aku sudah aman.
Mungkin sekitar dua puluh menit aku menunggu di dalam sana. Dan berharap, banaspati itu sudah melewatiku dan terbang entah ke mana.
Aku akhirnya keluar secara perlahan-lahan setelah aku rasa aman, baju yang aku pakai untuk menutup di celah kecil itu, aku pakaian kembali ke tubuhku yang kini mengigil kedinginan akibat angin malam yang semakin menusuk kulit. Dan secara perlahan mengeluarkan kepalaku sambil melihat ke sekeliling di belakang batu tersebut.
“Sepertinya sudah aman. ” Pikirku.
Secara perlahan aku akhirnya merangkak dan keluar dari celah kecil itu. Namun aku masih tetap waspada, karena mungkin saja banaspati itu kembali muncul di suatu tempat di hutan ini.
Dan benar saja,
“Nuju naon Cu? (Lagi apa Cu? )”
Sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang ketika aku sedang berdiri di belakang dan menghadap ke arah batu besar tersebut.
Aku yang tiba-tiba kaget langsung membalikan badan dan melihat salah satu sosok yang membuatku sedikit berteriak.
“Ulah sieun Cu, ieu mah Nini, tadi Nini ninggali Incu nuju lumpat di leuweung ieu, pas Nini nuju milarian suluh jang masak. (Jangan takut Cu, ini Nenek, tadi Nenek lihat Cucu sedang berlari di hutan in, ketika Nenek sedang mencari kayu bakar untuk masak. )”
“Ulah lumpat, da Nini mah lain makhluk anu nyingsieunan Incu. (Jangan lari, soalnya Nenek itu bukan makhluk yang nakut-nakutin Cucu. )”
Sesosok nenek tua, dengan wajah yang penuh keriput dan rambut yang tampak putih dan berantakan. Dia memakai baju kebaya berwarna putih namun sudah kotor dan berdebu, juga kain jarik berwarna hitam dan tidak memakai alas kaki sama sekali.
Rupanya, sebuah titik cahaya yang aku lihat sedang mendekatiku secara perlahan adalah obor yang dibawa oleh nenek tersebut. Dengan sedikit bungkuk, nenek itu terus-menerus berkata bahwa aku tidak boleh takut dengan dia. Karena dia bukanlah makhluk menyeramkan yang aku temui tadi.
Wajahnya penuh senyum, tidak ada wajah menyeramkan seperti makhluk yang berwujud wanita yang aku temui beberapa waktu yang lalu.
Namun, aku masih bertanya-tanya. Kenapa nenek tersebut berjalan di tengah hutan sendirian, apalagi di Gunung Sepuh yang aura mistisnya sangat kental dengan beberapa tempat yang dikeramatkan di dalamnya.
“Ieu Cu, eueut heula lahang na. Nini yakin, Incu pasti cape. (Ini Cu, minum dulu lahangnya. Nenek yakin pasti capek.)” Katanya sambil menyodorkan sebuah bambu kecil berisi air dengan ijuk yang menjadi penutup dari bambu kecil itu.
“Nuhun Ni. (Terima kasih Nek. )” Kataku sambil menerima bambu kecil itu.
Glup, glup, glup,
Sebuah cairan air gula aren yang langsung diambil dari pohonnya, langsung masuk ke dalam tenggorokan ku. Rasa segar dari minuman itu membuatku yang sedang capek dan letih sedikit terobati.
“Deudeuh teuing Incu Nini, di tengah leuweung sorangan. (Kasian sekali Cucu Nenek, di tengah hutan sendirian. )”
“Ke Ni, ari Nini teh saha? (Bentar Nek, Nenek ini siapa? )” Kataku yang tiba-tiba memotong ucapan nenek tersebut dengan penuh pertanyaan.
Nenek itu hanya mengangguk dan tersenyum, dengan tubuh yang sedikit bungkuk. Nenek tersebut hanya mengambil bambu yang sudah aku minum isinya, sambil berkata.
“Engke we ku Nini di jelaskeun di jalan nya Cu. (Nanti saja nenek jelaskan di jalan ya Cu. )”
“Urang ka tempat anu aman heula, bahaya soalna lamun lila cicing di tempat ieu. (kita ke tempat aman dulu ya, bahaya soalnya kalau lama berdiam diri di tempat ini. )”
Kata nenek tersebut sambil mengangkat tangannya untuk mengajakku ke suatu tempat di hutan ini, aku yang sudah cape dan letih serta ketakutan setengah mati akhirnya menuruti apa yang nenek itu katakan.
Seperti sedang terhiptonis, aku akhirnya mengikuti nenek tersebut dengan cahaya obor sebagai penerangnya, tanpa sekalipun mempertanyakan tentang dirinya yang berjalan sendirian di tengah hutan.
Hingga akhirnya, aku kini kembali berjalan secara perlahan di tengah hutan. Di temani dengan cahaya obor dan sesosok nenek yang tiba-tiba datang entah dari mana.
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya