Share

10. CELANA DALAM MERAH JAMBU

Atama POV

*****

Entah ke berapa puluh kali ku kirimkan pesan pendek kepada Al, sampai pukul tujuh malam dia baru membalas pesan pendekku.

Nanti malam aku pulang, Ta.

Aku langsung membalas.

Kamu nggak apa-apa kan, Al?

Tidak ada jawaban lagi setelahnya.

Sampai malam telah larut, akhirnya terdengar suara ketukan pintu. Sesuai seperti yang kukatakan sebelumnya, aku akan memeluknya ketika dia kembali.

Ya, menjatuhkan diriku ke pelukannya dan menangis ketika dia datang, aku takut sekali kehilangan dia.

Sangat takut.

Tapi saat aku membuka pintu dan mendapati wajah Aljabar pun sama babak belurnya, aku pun tahu satu hal bahwa apa yang dikatakan Tante Dayu pasti benar adanya.

Aku berjalan menuju kamar setelah memutar kenop pintu dan membiarkan Aljabar masuk. Mengekor di belakangnya dengan degup jantung yang bertalu tak menentu.

"Apa yang udah kamu lakuin sama Lexi? Kamu mukulin dia?" Tanyaku saat itu. Aku tidak tahu kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku karena pada dasarnya aku tahu betul bagaimana perangai Aljabar yang sebenarnya.

Dan benar saja dugaanku, Aljabar marah saat itu. Matanya merah, menatapku seakan ingin melumatku hidup-hidup.

"Harusnya aku yang tanya itu sama kamu? Apa yang udah kamu lakuin sama bajingan itu kemarin?"

Aku nyesel karena dia nggak mati!" Nadanya rendah, namun suaranya terdengar parau. Aku tahu di hatinya penuh dengan kemarahan.

"Aku nggak ngelakuin apa- apa sama dia, Al. Sungguh," tekanku.

Aljabar mendorong tubuhku ke tepi tembok, menarik bagian depan kaosku. Dinding kamar terasa dingin menggesek kulit karena efek tekanan Aljabar membuat tubuhku terhimpit. Tanpa basa-basi dia menciumku dengan kasar seolah aku hanya sebuah benda kosong tak berhati. Ingin rasanya aku berteriak, memaki betapa mujurnya takdir sialan ini.

"Dia nyium kamu kaya gini, kan, kemarin? Di mana lagi dia nyium kamu? Sekarang kamu ngomong sama aku, lebih enakan mana aku sama dia?" ucapnya dengan tatapan tajam dan alis saling menukik tajam.

Dia tidak memberiku kesempatan bicara, merobek atasanku hingga teronggok di lantai, "Al, plis... Aku nggak mau kamu kayak gini!"

"Kenapa? Nggak suka? Kamu lebih suka Lexi yang nglakuin ini, hah? Mau teriak?"

"Al, hentikan, aku mohon!" Mulutku setengah berteriak. Aku benar-benar benci situasi ini.

"Teriak aja, aku nggak peduli. Kamu masih istri aku, ya. teriak aja lalu biarin tetangga dateng dan liat kita tanpa busana. Mau jadi tontonan? Kamu milik aku, dan akan selalu begitu, Ta. Aku nggak rela setan itu nyentuh kamu seujung jari pun!"

"Aku nggak pernah main hati sama dia asal kamu tau."

"Tapi main badan, iya? Munafik kamu, ngerasa lebih baik dari aku?" Jawabnya berang.

"Aku nggak pernah hianatin kamu, sumpah, Al."

"AKU UDAH TAU SEMUANYA, ATAMA!" serunya lantang, bahkan saking emosinya Aljabar, gemerutuk giginya dapat terdengar olehku samar-samar.

"Tau apa, Al?"

"Apa jaminannya? Apa jaminannya dia nggak ngapa-ngapain kamu sama tampang kamu yang napsuin kaya gini!"

Tangan Aljabar memegangi kedua tanganku, sementara tangan yang lain memerangkap wajahku dan menciumku seperti orang kesetanan. Posisi kami masih berdiri dan saling berhadapan.

Aku tidak habis pikir kenapa aku bisa dengan mudah mencintai dia, sejauh ini, sedalam ini. Sebanyak apa pun dia menyakitiku.

Air mataku mengalir, serendah itukah aku di matanya? Aku tidak melakukan apa pun, jika aku membiarkan Lexi menciumku karena aku pikir Lexi adalah dia, karena aku sedang dipengaruhi alkohol.

Dia mencari kepuasannya sendiri, menyentuhku dengan balutan nafsu dan emosi yang meledak-ledak. Selama ini aku tidak pernah mengerti aku hidup dengan siapa, karena aku tidak pernah bisa memahaminya.

Saat itu, Aljabar bermain di tubuhku dengan kasar, seakan tak peduli jika hal buruk akan terjadi pada bayiku. Sampai dia mencapai pelepasan dan dia mengusap pipiku pelan.

Tubuhku luruh di lantai ketika semuanya telah selesai, memeluk kedua lututku dan menangis lagi.

Dia mengais pakaiannya yang tercecer di lantai. Menggunakan pakaiannya lalu keluar dari kamar, membiarkan dan meninggalkanku begitu saja layaknya aku seorang pelacur.

Ini tidak adil bagiku.

Lewat tengah malam, Aljabar kembali ke kamar dan melihatku masih dalam posisi yang sama. Dia mendekat padaku, menyelimuti tubuhku yang tak lagi merasakan hawa dingin. Membantuku bangkit dan menidurkanku di atas ranjang.

"Aku cuma nggak rela kamu disentuh dia, Ta." Dia mengusap bibirku sejenak, lalu mengusap air mata yang tidak juga mau berhenti sekuat apa pun sudah kutahan.

"Kamu nyakitin aku, Al." Bisikku lirih.

"Aku bakal sembuhin kamu. Dengan cara apa pun." Dia memelukku.

Dan ya... Dia benar.

Dia selalu menyakitiku lalu dia mengobatiku.

"Tante Dayu tadi telepon," kataku.

"Jangan sebut nama itu, Ta. Aku nggak mau denger!"

"Aku khawatir sama kamu, aku takut kamu masuk penjara. Aku takut anak kita nggak punya Papa."

"Kamu tau, nggak ada penjara mana pun yang aku takutkan kalo itu udah menyangkut kamu."

"Kamu sayang sama aku, Al?"

"Aku pikir pertanyaan kamu nggak butuh jawaban, kamu tau jawabannya." Dia diam, meneguk ludah kasar.

"Lalu kenapa harus ada Kinan? Aku sama sakitnya saat kamu tahu, aku bersama orang lain. Kamu jelas-jelas hianatin aku, sementara aku nggak."

"Dia yang bikin aku nyaman. Dia tau luka di hatiku karena penghianatan kamu. Aku tau batasanku dengan orang lain, Atama."

"Tau batasan? Kenapa sama aku enggak?"

Dia menekan bibirnya di puncak kepalaku, cukup lama.

"Kamu setan yang paling kuat yang nggak bisa aku kalahin, aku nggak tau kenapa melihat wajah kamu aja bisa sebegitu menggoda imanku."

Aku menggenggam tangannya erat, dia membaringkanku lalu tidur di sisiku, memeluk tubuh ini sepanjang malam.

Cih, Setan katanya? Dialah setannya. Sayangnya aku terpenjara dalam cintanya.

Al, kenapa kamu selalu menjadi luka sekaligus penyembuh bagiku? Ingin rasanya mengatakan itu, tapi sayangnya aku tidak bisa. Aku hanya tidak ingin merusak momen hangat bersamanya kali ini. Momen yang sangat jarang terjadi akhir-akhir ini.

"Kamu beliin dia ponsel?" tanyaku seraya meneguk ludah. Sungguh, tidur beriringan dengannya membuatku dirambati rasa bahagia sekaligus rasa sedih secara bersamaan.

"Nggak," jawabnya mantap.

"Jawab aja kalo emang bener," pintaku, mencoba meredam kemarahan yang menggelegak dalam dada.

"Kan aku jawab, nggak."

"Aku tau dari Wahyu."

"Dan aku juga tau kenapa aku sangat benci pada pernikahan kita. Kenapa ada Kinanta, karena dia beda dengan kamu," jawabnya membuat ulu hatiku seperti tersengat listrik voltase tinggi. Aku mencium ada aroma keculasan yang membuat hubunganku dengan Aljabar menjadi rumit seperti ini. Dan mungkin dialah orangnya. Kinanta Aurelia Wilhelmina.

"Apa yang kamu katakan? Aku nggak pernah sembunyiin apa-apa dari kamu. Jangan terlalu percaya kata orang, Al."

Aljabar melengos. Seolah tak mempercayaiku seujung kuku pun.

"Berapa kali kamu tidur dengan dia?" tudingnya to the point.

Mataku memejam, merutuki tudingan Aljabar yang tak berdasar. Namun dia tampak sangat yakin.

"Omong kosong. Alibi murahan untuk mengelak. Mencari kambing hitam!" pungkasku sambil berlalu meninggalkannya. Dan saat itu, aku memilih untuk tidur di ruang tamu dengan hati berkecamuk sepanjang malam.

Aku tak pernah sekali pun menduakannya. Seandainya dia percaya.

Tak ada gunanya mempertahankan argumentasi seperti itu, pembuktian apa pun tak akan berpengaruh pada hati batu.

Sayangnya, aku sangat mencintai arca tanpa hati yang berbentuk manusia dengan nama Aljabar Wiratama itu.

*****

Setelah kecemburuannya kemarin membuat Aljabar gelap mata sampai membuat Lexi babak belur, semuanya berjalan seperti biasa. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Aku bersyukur, Lexi tak benar-benar mengambil langkah hukum untuk memenjarakan Al.

Beberapa hari lalu Aljabar ada kegiatan touring dengan komunitas motor kegemarannya. Dan seharusnya dia sudah pulang kemarin malam. Aku tak ingin banyak berspekulasi. Mungkin saja ada sesuatu yang membuatnya harus pulang terlambat.

Semalaman terjaga, tanpa mampu memejamkan mata barang sebentar. Sampai lingkaran bawah mata ini kembali menghitam. Entahlah, nama Kinan masih jadi bayang-bayang meski sudah kucoba untuk melupakannya. Feelingku tidak enak.

Dia pulang pagi itu, kusambut dengan senyum meski gejolak di hatiku terasa membakar.

Aku sudah mati-matian mencoba memupuk harga diriku, harga diri yang tak pernah lagi kumiliki semenjak aku menikah dengan Aljabar. Harga diri yang selalu ia gunakan sebagai alas kaki.

Demi Pluto yang sudah dihapus dari kategori planet, aku membencinya. Membencinya dengan semua sisa cinta yang masih melekat dalam diriku. Aku tidak akan memaafkannya jika feelingku tentang Kinan adalah benar.

Sudah cukup. Hatiku terlalu sakit untuk terus diludahi dengan penghinaan dan pengkhianatannya.

Aku membawa ranselnya menuju kamar, membongkarnya untuk menaruh pakaian kotor. Dan benar saja, insting seorang istri tidaklah pernah keliru.

Ketika dia mandi dan aku membuka tas ranselnya, ada celana dalam renda-renda berwarna pink. Seperti bom atom yang meledakkan kota Hiroshima, aku juga merasakan ledakan yang dahsyat dalam diriku. Sakit yang hebat.

Dia keluar dari kamar mandi, dengan wajah datar seperti biasa, dia menatapku yang hanya diam. Satu tanganku menyembunyikan celana dalam itu di balik punggung.

Aljabar mendekat padaku, menggosok-gosok rambutnya yang basah, masih dengan bertelanjang dada.

"Liatinnya biasa aja!" serunya ngegas.

"Ini apa?" ucapku sembari menunjukkan benda laknat yang membuatku hampir gila itu.

"I ... itu dari mana?" tanyanya gugup.

"Udah dipakai?" serangku tajam.

"Apanya?"

"Isinya!" jawabku penuh dengan penekanan.

Aku mendelik dan mendekat padanya, jarak wajah kami kurang dari sejengkal sampai aroma napasnya tercium jelas menyapa indra penciumanku.

"Ceraikan aku!" ucapku mantap.

"Nggak, kamu akan tetap berada di sisiku sampai kapan pun," ucapnya tak kalah kukuh.

"Bertahan di sisi kamu untuk terus kamu sakitin? Aku udah nggak sanggup lagi, Al. Kalo emang nggak ada satu pun di antara kita yang bahagia atas pernikahan ini, tolong lepaskan aku. Mungkin cara bikin kita bahagia yang Tuhan gariskan bukan dengan kita sama-sama. Mungkin dengan dia kamu bakal bisa lebih bahagia."

"Kamu juga ada main sama Lexi, dan aku ragu anak itu anak aku. Kita impas, Atama Lovenia," ucapnya tanpa tedeng aling-aling. Dia tersenyum merendahkan kemudian kembali berujar," kamu nggak akan pernah ninggalin aku, Ata. Kamu itu cinta mati sama aku."

"Lalu kenapa kamu masih meragukan tubuhku untuk siapa? Bukankah kamu bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu?"

Dia tertawa mengejek. "Jangan munafik, Atama. Kamu tahu bahwa bagi sebagian orang s*ks bukan perkara tabu. Bukan tentang perasaan. Melainkan tentang kepuasan," tuturnya dengan sorot mata penuh konfrontasi.

"Aku bukan kamu!" ucapku cepat.

"Aku memang sayang sama kamu. Tapi aku cuma ngerasa jadi boneka, nggak berhak marah atas apa pun yang kamu lakukan di luar sana. Kalo kamu di sini mempertahankan rumah tangga kita dan nasib bayiku cuma karena kasihan, pergi! Aku nggak butuh dikasihani. Lagian aku juga lelah tinggal bersama suami yang memperlakukanku layaknya boneka s*ks," imbuhku.

"Coba aja kalo bisa, Ata." Mengangkat satu sisi sudut bibir. Aljabar mampu membuat hatiku teriris dan akalku terkikis.

"Bisa, aku juga bisa kehilangan kamu meskipun aku harus terbaring lebih dulu di rumah sakit. Waktu nanti yang bakal membantuku sembuh jika harus sembuh. Aku akan buktiin aku nggak akan mati karena kehilangan laki-laki brengsek seperti kamu."

"Lakukan apa yang kamu inginkan, aku nggak peduli."

Degh....

Jantungku tertikam oleh tajamnya ucapan itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Noorhied
satu kata Atama Murahan. gadis remaja anak kuliahan, hamil duluan, dugem alkohol bersama pria bukan suami... kecewa dengan sifat Atama. bodoh...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status