"Aku mau ngomong sama kamu," kata Atama dengan tatapan tajam dan dalam."Ngomong apa? Di sini aja!" pinta si lelaki yang saat itu sedang menikmati sebatang rokok."Nggak bisa!" Atama menarik lengan Aljabar dan berkata pada teman-temannya. "Pinjem Al, teman-teman.""Ada apa, sih? Bentar lagi ada kuliah, Ta.""Kita bolos hari ini.""Ta, satu semester kita udah bolos dua belas kali, ntar bisa-bisa kita di DO.""Penting, Al," putus gadis bersuara lembut itu. Atama menggenggam tangan Aljabar erat-erat. Mengajak Aljabar pergi dari kampus dan keduanya berjalan menuju taman, tak peduli hari masih pagi.Mereka duduk berdampingan, mata Atama yang penuh kecemasan menatap Aljabar dengan nanar. Aljabar membelai wajah Atama santai."Kenapa? Mau main ke kost-an lagi? Aku juga udah pengen!" ucap lelaki itu dengan wajah mesum.Atama meremas jemarinya sendiri, wajah tertekur dan hati hancur. Apa yang harus dia katakan pada kedua orang tuanya?"Kamu tau, aku bukan cewek yang suka bolos mata kuliah seb
"Bajingan, kamu, Al!"Atama bangkit dari tempat duduk setelah kembali melayangkan tamparan di pipi Aljabar lantas mendorong tubuh Aljabar sekuat yang dia bisa ketika lelaki itu ikut berdiri.Kekecewaannya memburai. Dia tak menyangka Aljabar akan mengatakan semua itu padanya.Aljabar terhuyung ke belakang akibat tak mengantisipasi serangan Atama. Atama yang hilang kendali tanpa pertimbangan memukul perutnya berulang kali. Dia berpikir sebaiknya bayi itu harus mati, kalau pun Atama harus mati bersama bayi itu, dia tak peduli. Atama benar-benar sudah kehilangan akal, saking putus asanya dia."Ka... kamu jahat, Al. Kamu bilang... kamu bilang... kamu sayang sama aku. Aku nggak nyangka kamu sejahat ini!" seru Atama terbata-bata.Aljabar memegangi pipinya yang merah, lantas menahan aksi Atama saat itu."Bukannya gitu, Ta. Aku cuma belum siap. Aku mesti ngomong apa sama mama-papaku? Aku harus apa? Aku bingung, Ata.""Kamu pikir aku siap, gitu? Pikir, Al. Masa depan aku, semuanya aku korbankan
Gaun pernikahan berwarna putih gading dan tampilan dengan make up agak tebal tampak menjadi pemandangan yang menarik pagi itu.Gadis itu terlihat cantik dengan bulu mata lentiknya. Akan tetapi, sayangnya, Atama beberapa kali malah mengumpat."Ck Sialan! kenapa wanita dewasa betah menyiksa diri dengan memakai riasan wajah laknat seperti ini?" Ucapnya membatin. Mengenakan make up tebal bukanlah kebiasaannya.Tidak ada acara besar, hanya keluarga kecil kedua mempelai yang menghadiri pernikahan itu. Juga Nando yang tampak gagah dengan baju yang dia kenakan.Nando terus menatap Atama sampai membuat gadis itu sedikit tidak nyaman. Acara memang belum dimulai, karena itu juga Atama masih santai duduk- duduk di ruang tengah sambil memainkan ponsel walau pun sebenarnya Atama sedikit bosan.Saat itu, Nando terlihat menghampiri Atama, hal yang tidak pernah dia lakukan seumur hidupnya sekali pun dia sering datang ke rumah gadis itu untuk sekedar 'jalan bareng' dengan Arlan sebagaimana mereka bersa
Atama POV*****Aljabar berkali- kali menyulut rokoknya di tepi jendela tanpa menoleh ke arahku. Lalu dia mengambil jaketnya, memakainya buru-buru dan bergerak untuk keluar dari jendela.Aku menarik tangannya. Siapa yang rela ditinggalkan oleh suaminya pada malam pertama pernikahan?"Al, kamu mau ke mana?" Tanyaku cepat."Jalan ama temen-temen. Kenapa? Nggak suka?" Ucapannya beriringan dengan tatapan sinis. Matanya yang dingin terasa tajam menusuk indraku. Suaranya yang penuh ketidaksukaan terasa merusak pendengaran. Aku merasa terbunuh oleh keadaan ini. Aku benci kenapa tidak pernah bisa berkutik di hadapannya."Ini malam pernikahan kita, Al." Aku tertunduk, sadar bahwa Aljabar memang tidak menginginkanku."Pernikahan kita? Pernikahan kamu kali, Ta. Kan kamu yang mau nikah sama aku? Aku nggak kan?"Aku tidak melepaskan tangannya, memejamkan mata yang memanas oleh luka yang menderaku tanpa belas kasihan. Sikapnya yang dingin terasa membekukan jiwa. Cinta memang indah hanya diawal saja
Atama POV*****Kesulitan perekonomian menjadi permasalahan kompleks bagiku meski baru menikah beberapa bulan belakangan.Aljabar sok-sokan tak mau menerima bantuan dari orang tuanya, maupun mertuanya. Sementara dia pun belum mendapatkan pekerjaan.Sebagai seorang istri yang baik, aku tentu berinisiatif ingin membantunya, walau pun keadaanku sedang hamil, toh aku bisa bekerja apa saja yang ringan-ringan.Seperti lowongan pekerjaan di fotokopian dekat kontrakan kami.Aku mencoba bicara baik-baik, tapi dia tidak pernah menanggapinya dengan baik-baik pula. Itulah Al, aku tidak tahu bagaimana harus menilainya. Yang aku tahu rasa cintaku padanya tak pernah ternilai banyaknya dan semua itu selalu saja mampu menutupi kesalahannya."Al, aku boleh nggak kerja? Ada lowongan pekerjaan di fotokopian Bang Yusuf. Gajinya nggak seberapa sih, cuma dari pada nggak ngapa-ngapain, kan bosen di rumah terus." Ucapku mengungkapkan keinginan."Nggak!" Jawabnya singkat, padat, dan jelas."Kan deket, Al?""Ak
Awalnya Atama berpikir semua baik-baik saja.Kesabarannya akan mampu melunakkan hati Aljabar seiring waktu. Ternyata semuanya tak semudah yang dia pikirkan.Seandainya Atama tidak pernah menjawab telepon itu mungkin dia akan selamanya menjadi istri yang bodoh, yang tidak tahu apa-apa mengenai perselingkuhan suaminya."Ini siapa, ya?" ucapnya saat itu dengan telepon genggam menempel di telinga."Kamu yang siapa?" Di ujung saluran telepon, perempuan lain bersuara. Membuat hati Atama dirambati retakan-retakan tak kasatmata. "Aku pacarnya Al!"Sejenak kalimat itu mampu membuat hati Atama melebur lalu hancur. Mimpi burukkah itu?"Aku istrinya!" Jawab Atama tegas dan dominan."Jangan bercanda, ya!" Nada wanita di ujung saluran telepon itu terdengar sumbang. Jelas sepertinya dia tak senang."Jauhi Al! Aku lagi hamil," ucap Atama dengan dada yang bergerak naik turun bersamaan dengan napasnya yang kian memburu. Menahan sakit."Ini siapa sih? Nggak jelas banget! Nggak usah sok ngaku-ngaku ya! A
Atama POV*****Cukup sudah.Aku sudah tidak sanggup membayangkannya. Jika Aku tidak secinta ini padanya, tentu rasa yang aku tanggung tidak akan sesakit ini.Cinta, Aku tidak yakin apakah kata itu anugerah atau kutukan. Terlalu menyakitkan untuk ditelan."Mungkin, kalau aja kamu nggak hamil aku juga nggak akan nikahin kamu. Nikah sama kamu tuh mimpi buruk! Kamu hidup sama aku tapi kamu cuma jadi perempuan gampangan. Penyesalan terbesarku dalam hidup ini adalah, menikahi kamu, Atta!""Pulangkan aku, Al." Kaki ini terasa tak lagi mampu menopang tubuh, gravitasi seakan meninggalkanku.Hanya tangis pilu yang mampu aku suarakan. Aku berharap hidup sialan ini segera selesai. Berharap kematian membuat diriku sedikit berharga. Karena hidup tidak pernah membuatku merasa dibutuhkan."Nggak usah drama. Kamu tau dengan jelas siapa antagonisnya!"Kepercayaan, adalah sebuah hal yang sangat mustahil Aku dapatkan dari suamiku. Aljabar adalah sosok kasar dan arogan. Dan Aku berharap keajaiban akan me
Atama POV*****Aku memesan minum, sebotol Wishkey mungkin bisa menghangatkan hatiku yang beku. Atau setidaknya aku bisa melepaskan kepedihanku walaupun sesaat, dan tentu saja aku belum pernah menyentuh minuman beralkohol sebelumnya.Kutuang minuman berwarna pekat itu ke dalam gelas model Serry copita yang berlekuk, menggoyangkannya sampai isinya teraduk.Aku meminumnya, tidak peduli minuman ini memiliki rasa yang kuat, pahit, dan aroma tajam yang terasa tabu bagi lidahku. Namun, aku tidak mencari rasa. Aku hanya ingin lupa jika hari ini pernah ada.Selama Whiskey masih di mulut, minuman ini dapat berganti rasa. Unik memang. Bisa manis, sedikit pahit, sedikit rasa buah, dan sebagainya yang sulit kudefinisikan.Aku menyulut sebatang rokok. Menikmatinya, tidak peduli aku bagaikan perempuan jalang hari ini. Aku hanya ingin melupakan sejenak saja sakit hati, sejenak saja tanpa air mata.Jujur aku lelah.Perkataan Wahyu semakin membuatku berantakan, apakah benar semua yang dia katakan, dan