Share

11. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Atama POV

*****

Dua hari sejak hari itu, Aljabar sama sekali tidak kembali ke rumah.

Perasaan takut, khawatir, semuanya bercokol kuat di hatiku. Terlebih, dia benar. Aku takut kehilangannya.

Aku lelah berkutat dengan gelisah itu tiap waktu. Butuh tempat bercerita kuputuskan datang pada keluargaku. Menceritakan semuanya dan berharap mereka akan menguatkan atau menenangkanku.

"Aljabar adalah pilihan kamu, Ata. menikah dengannya adalah konsekuensi dari perbuatan kamu sendiri, jadi buat apa ditangisin?"

Itu yang Mama ucapkan dengan acuhnya saat aku bercerita sambil menangis mengenai perselingkuhan Aljabar.

"Udah mau jadi janda aja, nih? kasian bener tuh bayi."

Itu yang Kak Arlan ucapkan dengan entengnya.

"Aku nggak ngerti urusan orang dewasa, Mbak. Bukan karena aku nggak peduli. Sungguh."

Setidaknya benar, adikku memang belum mengerti.

"Papa udah bilang, lepasin kalo itu berat. Papa sibuk, Ata. Hari ini banyak masalah di tempat kerja. Belajarlah mengatasi masalah kamu sendiri. Papa pusing!"

Setidaknya Papa masih sempat mengusap kepalaku dan memelukku. Tak adakah yang mau meluangkan waktu?

Rasa sedih, tak dibutuhkan, diacuhkan, sendiri, tidak berharga, putus asa, terhina semuanya berputar seperti gasing di kepalaku. Aku merasa diriku hanya sampah tak berguna. Rasa sakit itu menghimpitku sampai aku kesulitan bernapas. Aku lelah, aku hanya butuh sebuah istirahat sejenak.

Sampai di rumah kontrakan, Aku merasa kalut. Sadar tak punya siapa-siapa untuk berkeluh kesah. Dan aku tak ingin ada perceraian.

Salahkah aku mengharapkan sebuah keajaiban, berharap aljabar akan benar-benar berubah seiring waktu. Mencintaiku seperti saharusnya, seperti sebelum kami menikah.

Sikap apatis keluargaku membuatku bertekad untuk memperbaiki hubungan dengan aljabar. Aku tidak boleh kehilangan dia. Hanya dia yang kupunya. Dia.

Namun, harapanku pupus, kala dia pulang dengan kemarahan yang meledak dan menghancurkan. Dia menggenggam dua lambar foto, yang menjadi bukti bahwa aku berselingkuh.

Satu lembar berisikan foto ketika aku sedang berada dalam pelukan Catur, seorang teman dari suamiku sendiri. Dan satu lembar lainnya menunjukkan gambar ketika aku sudang berada dalam sebuah kamar hotel dengan keadaan telanjang bulat bersama Edrick Lexio Ganindra, sahabatku.

"Kamu selingkuh!" tudingnya berapi-api.

"Aku nggak selingkuh!" Mati-matian aku mengelak. Namun tak membuahkan hasil.

"Sudah kegep masih ngelak? Mulut pelacur emang busuk!"

"Stop, Al. Bisa nggak memanusiakan aku sekali aja?"

"Manusia? Kupikir kamu bukan lagi manusia, Atama! JAWAB! ANAK SIAPA YANG KAMU KANDUNG?" Aljabar mencengkeram rahangku kuat-kuat hingga terasa olehku nyerinya. Suaranya bagaikan petir menggelegar di siang hari, pertanyaan memuakkan yang seharusnya tak pernah kudengar. Aljabar tahu jawabannya. Dia tahu siapa yang menghuni hatiku dan siapa yang menggauliku.

Dia! Hanya dia...

Jadi kenapa pertanyaan hina itu bisa keluar begitu saja dari mulutnya?

Siapa orang yang sudah meracuni pikirannya?

Aku meneguk ludah kasar, seandainya Aljabar tahu perasaanku.

Tubuhnya menghimpit raga kurus ini di dinding kamar, jemarinya mencengkeram rahangku kuat hingga aku merasakan sakit mencapai jantung. Rasa sakit melampaui ambang batas yang mampu kunalar.

"Ini an-nak kam-mu! Demi Tuhan a-ku nggak seling-kuh. Dem-mi Tuhan, Al," ucapku memelas dan terbata. Genangan air mata tak henti menetes.

Kecemburuan Aljabar yang tanpa dasar itu membutakan hati dan pikirannya. Perilaku posesifnya seakan membunuhku dan aku merasa seperti hampir mati menanggung cinta.

Bodoh! Aku merasa begitu naif, ketika berharap keajaiban mampu mengubah pribadi dan cara pandang Aljabar.

"Aku nggak pernah selingkuh, dengan siapa pun, Al. Sungguh..." Aku menggigit bibir bagian dalam, ada yang meremas ulu hatiku hingga lebam lalu hancur.

"Lexi? Catur? Siapa ayahnya? JAWAB!" Aljabar menunjukkan dua lembar foto yang dari semula datang telah dia genggam. Melemparkannya ke wajahku dengan begitu kasar. Tak peduli melukai, hatinya sudah terlalu buta dan tak mampu membaca rasa sakitku. Dan malam ini suamiku meluapkan segala amarah membara dan membakarku. Aku jadi arang. Mengabu oleh pilu.

"Siapa Ayahnya?" tekannya sekali lagi.

"Aljabar Wiratama," jawabku cepat, suaraku bergetar dan bahu ini berguncang oleh tangisan.

Walau pun aku telah melihat dua lembar foto itu, aku tetap berusaha menjelaskan bahwa foto itu hanya rekayasa. Meski aku tak tahu pasti siapa dan untuk apa seseorang tega melakukan hal menjijikan semacam itu kepadaku dan menjelaskan apa pun pada Aljabar saat ini hanya akan menjadi hal yang percuma, karena sampai mulutku berbusa sekali pun, Aljabar tak akan mendengarnya.

Hingga akhirnya, aku memilih untuk diam dan tenggelam dalam tangisanku.

Aku benar-benar lelah dan ingin semua ini lekas berakhir.

Nyatanya, di luar dugaan, keterdiamanku justru dianggap sebagai pengakuan oleh Aljabar yang semakin membuat amarahnya meledak-ledak.

Sepertinya, apa pun yang kulakukan saat ini semua salah di matanya.

"Cukup lama aku mendengar perselingkuhan kamu, dan aku mencoba diam. Tapi saat bukti sudah aku genggam, aku nggak akan lagi tinggal diam. Jangan harap, Atama Lovenia!" Katanya lagi dengan teriakan keras tepat di depan wajahku.

Dia menggeram marah. Sementara kubingkai remuk redamku dengan air mata berceceran.

"Kita cerai! Kehidupan setelah perceraian mungkin akan sangat menyenangkan, Ata." Mata Aljabar memerah. Rahangnya mengeras. Aku tak menyangka suamiku bisa mengatakan hal itu. Tidakkah dia tahu betapa aku menanggung sakit luar dan dalam? Apalagi saat satu tamparan menyakiti pipiku dan meninggalkan bekas kemerahan. Aku hanya bisa menangis sesenggukkan.

Mataku memejam rapat. Kubasahi bibir yang kering kerontang dengan lidahku. Rasa asin darah kucecap dimulut akibat gusiku yang terluka akibat tamparan Aljabar tadi.

Aku telah lama memilih menderita hanya untuk tetap bersamamu, sialan! Apa kamu tahu itu, hah?

Seandainya kalimat itu bisa kucapkan secara terang-terangan.

Aljabar menyentak rahangku lagi, kemudian melayangkan tamparan sekali lagi hingga tubuh kurus yang ringkih ini terlempar ke lantai. Kali ini, bukan hanya darah yang kurasa dari mulutku, tapi dari sudut bibirku yang lecet.

Tuhan, kau apakan aku?

Batinku menjerit. Jerit paling lantang yang hanya mampu kudengar sendiri. Menyalahkan Tuhan atas keadaan, padahal semua yang terjadi sekarang, akibat ulah kebodohanku sendiri!

Namun, semua permohonanku sia-sia. Tuhan tak mau mengambil peran. Kepercayaan di hati Aljabar telah mati. Hanya karena aku anak haram, dia selalu memandangku begitu rendahnya. Aku tak ubahnya bagai pelacur di matanya.

Ya, dia tak mempercayaiku, Foto itu menjadi sebuah bukti konkret baginya, yang seolah membuatnya begitu yakin bahwa aku dan Ibuku sama.

Sama-sama pelacur!

Aku berusaha bangkit, meraih jemarinya dan mempertanyakan masihkah ada sisa cinta di hati Aljabar seperti dulu, tanpa dominasi, tanpa perilaku abusive yang membuat hati ini setengah mati hancur berkeping. Aku butuh sebuah kepercayaan. Aku butuh sebuah kasih sayang. Aku butuh suamiku.

"Anak pelacur biasanya emang brengsek, membungkus rapi perselingkuhannya dengan memasang tampang sok memelas kayak gitu, kamu pikir aku percaya? Foto itu bukti perselingkuhan kamu, Atama Lovenia!"

"Kamu boleh rendahin aku, tapi jangan hina keluargaku," sanggahku pilu dengan sedikit luapan amarah.

"Omong kosong, emang kenyataannya begitu!"

"Baiklah, aku terima kata cerai darimu!" Putusku tegas.

Dan ternyata, kata-kataku itu membuat Aljabar semakin kalap. Dia menyeret tubuhku, kemudian menghempaskan aku ke tempat tidur, tangannya tak henti bergerak teratur, melayangkan pukulan ke wajahku hingga mataku lebam.

"Bunuh saja aku biar kamu puas!" Erangku pilu. "Lebih baik aku mati daripada terus menerus dihina suami sendiri!" imbuhku dalam ketidakberdayaan.

"Omong kosong, emang kenyataannya begitu!"

Tak puas memukuli wajahku, kini Aljabar menarik bagian kerah daster warna mauve yang kupakai, mencengkeramnya kuat lalu membanting tubuhku hingga membentur dinding. Bahkan dia seperti kesetanan dan seolah tak ingat bahwa aku sedang mengandung anaknya.

"Al, aku lagi hamil, kumohon, berhenti!" jeritku lagi. Tubuhku sudah benar-benar remuk.

"Bangs*t! Itu bukan anak aku! Perempuan gatel!" Sentak Aljabar sambil menjambak rambutku, menunjuk di depan wajahku lalu kembali berkata, "aku pastikan hidup kamu dan anak selingkuhan kamu itu akan menderita, camkan itu!"

Saat itu, Aljabar belum berhenti, tangannya terulur dan mencekikku hingga paru-paru ini megap-megap kehabisan oksigen. Tahu aku dalam bahaya dia melepaskan cekikannya hingga tubuhku jatuh merosot lunglai di lantai, lemas.

Aku meremas dada yang berdenyut nyeri. Masih hidupkah aku saat pria yang paling kucintai ini melakukan hal keji seperti ini saat aku berbadan dua?

Masih tegaskah langit membingkai dunia?

Tidak, langit runtuh dan aku tertimpa hingga sekarat.

Hingga aku babak belur seperti ini.

Aku mencoba bangkit, tak adakah yang bisa kuperbaiki? Kutarik jemarinya, kugenggam erat-erat.

Tangan kekarnya mengelak, kemudian mendorongku lagi sembari membanting pintu.

Malam itu, Aljabar meninggalkan aku begitu saja, dalam keadaan yang bisa dibilang cukup mengenaskan.

Suaraku yang serak berusaha memanggilnya, namun tak ada jawaban.

Aljabar benar-benar telah meninggalkanku dengan tubuh babak belur hasil karyanya.

Aku tersenyum, menatap luar jendela dan lamat-lamat menjatuhkan air mata. Selucu inikah takdirku?

Aku tak punya tempat pulang lagi. Kemana kini aku harus mengadu? Pulang ke keluarga pun percuma. Mereka tak peduli.

Kalut, lalu kukemasi beberapa pakaian yang perlu kubawa pada ransel warna sanguine. Kalau aku bertahan di sini, bisa-bisa aku akan mati disiksa lagi oleh Aljabar.

Tidak, anakku butuh lingkungan sehat tanpa kekerasan.

Itulah sebabnya, lebih baik aku pergi.

Dengan bermodal uang seadanya yang kupikir cukup untuk bisa membawaku pergi jauh dari kota ini, malam itu aku pergi menuju terminal dan menaiki salah satu bus antarkota.

Entah kemana jurusan Bus ini aku bahkan tak tahu.

Karena yang terlintas dalam benakku saat ini hanyalah, aku ingin memberi Aljabar pelajaran atas apa yang telah dia lakukan terhadapku malam ini.

Berharap rasa kehilangan akan diriku menyiksanya seumur hidup.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tary Aie Sitompul
Ya ampun sekejam ini ternyata Aljabar kepada atama......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status