Share

9. LEXI BABAK BELUR!

Atama POV

*****

"Contoh tuh, Wulan. Anaknya Papa, adik aku tuh. Nggak kayak kamu. Bisanya cuma bikin malu keluarga doang. Anak haram!" Dia menunjuk-nunjuk wajahku dengan tatapan penuh kebencian.

Saat itu, Kak Arlan hendak pergi tapi aku menahan lengannya dengan cepat. Tak terima dengan ucapannya yang menyebut aku sebagai anak haram.

"Salahku, Kak? Semuanya salahku Papa sama Mama bertengkar terus? Salahku punya kakak yang kasar dan suka mukul? Salahku punya adik yang hampir sempurna? Salahku, Kak? Salahku juga kenapa aku harus lahir?" Ucapku dengan air mata yang mengumpul di pelupuk mata. Menahan gejolak sesak yang seakan merampas oksigen dari paru-paruku.

"Ya, semua salah kamu! Kamu bikin aku sadar, ada yang salah sama keluarga kita!" Tekan Kak Arlan sama sengitnya.

Aku bergeming, satu pertanyaan yang selama ini tersimpan rapat di hati seolah meluncur bergitu saja dalam pikiranku.

Lantas, jika aku hanya anak haram, siapa ayah biologisku?

"Kalo otak kamu di kepala, pasti nggak bakal kejadian kamu hamil, nikah pas kamu masih ingusan dan bego! Susah ya, ngomong sama anak pelacur, kamu sama Mama tuh nggak ada bedanya! Apa? Mau ngelawan lagi?" Rahang Kak Arlan mengeras sampai tampak urat-urat lehernya. Matanya berlarian tanpa tahu kemana hendak bermuara.

Cukup!

Aku lelah!

"Maaf, Kak. Ata nggak maksud ngelawan, tapi Kakak udah kelewatan... " Air mataku kembali memenuhi kelopak, luruh bulir demi bulir, namun ucapanku tak lagi berapi-api. Suaraku melemah. Selemah tubuhku saat ini.

"Sudah, sudah!" timpal Papa yang datang tiba-tiba. Entah sejak kapan Papa berada di sini.

"Masuk kamar, Ata," ucap Papa sambil mengusap kepalaku.

Tanpa bicara aku pun menuruti perintah Papa.

"Kamu ini kenapa sih, susah dibilangin. Biar bagaimana pun Ata itu adikmu. Nggak bosan kamu merundungnya terus?" Omel Papa pada Kak Arlan yang masih terdengar meski derap langkahku mulai menjauh menuju kamar.

Tidak adakah satu saja manusia di dunia ini yang mencintaiku sepenuh hati? Yang menganggap aku penting dan memiliki sedikit saja rasa empati, secuil saja! Atau taruhlah sedikit saja rasa iba jika cinta atau simpati tidak pantas melekat pada diriku.

Kenop pintu kuputar, menutup daun pintu dan memutar pula anak kuncinya. Kemudian aku rebah di atas tempat tidur.

Aku menatap langit-langit ruangan, berharap air mata yang menggenang dan kutahan agar tidak jatuh, tetapi sekuat apa pun aku berusaha air mata itu tetap meronta dan menjatuhkan diri satu persatu.

Penghakiman, sebuah kata yang paling sulit kuterima, kenapa tidak ada seorang pun yang mengusap pundakku lalu berkata, tenanglah, semua akan baik-baik saja. Bukankah kalimat itu lebih mudah diucapkan dari pada hujatan dan caci maki?

Di kamar ini aku terdiam dalam kebekuan dan mengunci diri.

Ada tangan mengetuk pintu dan segera kupersilakan masuk. Kubuka daun pintu. Ada Papa berdiri di sana dan seketika Papa meraihku dalam pelukannya.

"Ada apa sampai kamu sekacau ini, Ata?"

"Al selingkuh, Pah," jawabku sambil memeluk Papa dengan manja.

"Kalau kamu udah nggak kuat sama dia, maka tinggalkan dia. Bukankah Papa udah pernah bilang itu sama kamu?"

Aku menatap mata Papa lekat-lekat, dia mengusap air mata yang meleleh di pipiku dengan ujung jari.

"Sama seperti Papa nggak bisa kehilangan Mama? Ada lubang dalam di dada, Pa," jawabku sambil tergugu. Membongkar fakta yang ada tentang sosok Papa yang kini memelukku. Bukan, dia bukan laki-laki yang sudah menanam benih di rahim Ibuku hingga benih itu tumbuh menjadi diriku, dia hanya seorang lelaki dengan hati seluas samudra yang bisa memberi maaf meski sudah dikhianati dengan sangat.

"Kamu mencintai Al?" Tanya Papa lagi.

Aku mengangguk.

"Bagaimana dengan Papa? Bagaimana jika pertanyaan itu Ata kembalikan pada Papa? Apa Papa mencintai Mama?"

Dia mengangguk mantap, menyematkan ciuman di dahiku lalu menjawab, "Sangat, sama seperti Papa mencintaimu walau kamu bukan anak kandung Papa, Ata,"

Jantungku memompa darah dengan cepat. Tak bisa kukendalikan vibrasinya. Secara visual tampak kesedihan di hati Papa saat mengatakan itu padaku. Kenapa Papa tak jujur dari dulu?

"Jadi aku anak siapa, Pa?"

Geming sejenak.

"Jawab, Papa!" tuntutku.

"Papa minta maaf, Ata. Semuanya terasa nggak adil jika kamu melewati hidup dengan tanda tanya. Sebaiknya kamu tahu alasan kenapa Kakak membencimu, agar kamu nggak perlu menebak-nebak apa yang terjadi."

"Sebenernya apa yang Ata nggak tau, Papa?"

Papa menuntunku, kami duduk di bibir ranjang dan berbicara hati ke hati.

"Papa dan Mama menikah karena perjodohan. Mamamu nggak pernah mencintai Papa. Dan ketika Kak Arlan berusia sembilan tahun, Mamamu mengandung kamu. Tapi bukan dengan Papa."

Objek pandangku menyebar ke seluruh ruangan. Air mata lagi-lagi mengaburkan penglihatanku. Apa lagi ini? Kau mau apa lagi, Tuhan?

"Mamamu hamil ketika Papa sedang sakit liver dan terbaring di rumah sakit selama 6 bulan lamanya. Dan kami pernah bercerai selama tiga tahun. Kakakmu menganggap kamulah penyebab Mama menelantarkannya. Semua karena kesalahan Papa kandungmu, Ramond. Dia mantan kekasih Mamamu."

Aku mendengarkannya dengan seksama. Meski ada sesal begitu besar menggeliat di dadaku. Sejauh ini aku hanya sebatas tahu bahwa aku ini anak haram yang terlahir dari hasil perselingkuhan Mama tanpa pernah tau seperti apa kronologi kisah masa lalu kedua orang tuaku.

Aku menjatuhkan diri di pelukan Papa, laki-laki ini yang seharusnya membenciku, tapi dialah yang justru menjadi ayah yang paling mencintaiku.

"Ata nggak mau dengar. Papa Ata cuma satu. Papa... Papa dan cukup Papa saja," ungkapku meluapkan semua rasa sayang.

"Maafkan Papa. Seharusnya Papa bisa mengajarkan Arlan agar bersikap lebih baik sama kamu, tapi Papa gagal." Dia mengusap suraiku. Lagi-lagi mencium dahiku dengan sayang.

"Maafin Ata jika selama ini sering bersikap nggak hormat sama Papa. Ata seperti hilang respect saat Papa nggak mau menceraikan Mama dan kalian selalu ribut. Sekarang Ata paham, Ata tau rasanya. Ata nggak tau diri karena sempat merasa kecewa sama Papa. Ata sayang Papa," ucapku di tengah isak.

*****

Aku menyambar tas slempang kecil yang kubawa kemarin, membawa kakiku pergi setelah puas bercerita kepada Papa.

Pulang?

Aku tidak punya tempat untuk pulang. Tidak ada rumah yang menjadi surga untukku.

Bohong, jika orang mengatakan rumahku adalah surga, nyatanya aku sama sekali tidak pernah memiliki itu.

Al, dialah satu-satunya rumah bagiku, rumah yang begitu kudambakan kedamaian darinya, yang akhirnya juga membuat kata 'rumah' menjadi terlalu menakutkan bagiku. Al, aku mencintai dia dengan sepenuh jiwa dan raga. Meski dia tak pernah menyadari itu semua.

Memasuki rumah kontrakan yang kutinggali beberapa bulan belakangan, aku tidak mendapati siapa-siapa di sana, apakah artinya Aljabar juga tidak pulang?

Mengedarkan pandangan, mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk. Hingga kutemukan baju Al di dalam keranjang pakaian kotor, dan noda percikan darah.

Hatiku semakin bimbang, apa yang terjadi semalam?

Apakah Al sedang dalam bahaya?

Dari mana percikan darah ini berasal?

Kenapa aku tidak mampu mengingatnya, apakah Al sempat bertemu Lexi dan terjadi perkelahian?

Demi Tuhan, jika dia pulang aku akan meminta maaf dan memeluknya karena aku telah membuat satu kesalahan.

Aku yang salah, seharusnya kubiarkan dia berselingkuh. Apa harus begitu?

Aku tahu tidak seharusnya aku menyentuh minuman beralkohol. Walau aku tahu sebenarnya ini bukan sepenuhnya salahku. Seharusnya aku tahu konsekuensinya.

Aku hanya wanita biasa yang butuh tempat untuk menyandarkan diriku yang terlalu rapuh menghadapi dunia. Kutuklah aku jika memang sikap bucinku ini salah, asal Aljabar tetap baik-baik saja. Tetap di sisiku.

Sampai memasuki pukul tiga sore berikutnya, aku sama sekali tidak bisa menghubungi Aljabar, kucoba menelepon Ibu mertuaku dan beberapa teman-temannya, tapi hasilnya nihil.

Bunyi dering telepon membuyarkan pikiranku yang sedang berkelana, nomor baru. Mungkinkah suamiku?

"Al, apa ini kamu?" Todongku penuh harap.

"Bukan, ini Mamanya Lexi, Tante cuma mau ngasih tau kamu Ata, jauhi Lexi. Tante nggak mau anak Tante mati konyol gara-gara kamu! Ngerti?"

Seketika keningku berkerut, menahan bingung.

"Maksud Tante?"

"Lexi babak belur! Dia ada di rumah sakit sejak kemarin dan belum sadarkan diri sampai sekarang! Dan setelah Tante cari informasi lebih jauh mengenai penyebabnya, semua ini ulah Al. Suami kamu, Ata! Tapi sayangnya, dia kabur sekarang!"

Jantungku berdesir.

Nggak!

Nggak mungkin!

Ini pasti salah paham!

"Nggak mungkin, Tante," Ulangku menyangkal ucapan Tante Dayu meski pun aku belum mengetahui lebih pasti kejadian yang sebenarnya. Setidaknya, aku mencoba untuk berpikir positif bahwa Aljabar tidak mungkin melakukan tindak kekerasan pada Lexi.

"Apanya yang tidak mungkin? Banyak saksi yang melihat kebrutalan suami kamu itu, Ata! Biar hukum yang menjelaskan nanti!"

Hukum?

Kenapa harus ada kata hukum?

"Tante! Tante!" Panggilku namun sambungan telepon telah terputus.

Hukum?

Apakah itu artinya Aljabar akan masuk penjara?

Tidak aku tidak ingin itu terjadi!

Kumohon, jangan penjarakan Aljabarku!

Untuk itu, aku harus mencari tahu, apa yang sebenarnya terjadi pada Lexi dan di mana Aljabar sekarang!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status