Sebuah mobil pribadi mewah baru saja terparkir di sebuah Restoran terkenal bernama Resto Bunga Mawar Putih.Seorang wanita dengan penampilannya yang anggun dan elegan tampak keluar dari mobil dan berjalan tergesa memasuki kawasan Resto. Mencari keberadaan seseorang."Ki," sapa sebuah suara dari arah kiri. Seorang lelaki dengan rambutnya yang setengah gondrong dikuncir kuda, tampak melambaikan tangan ke arah si wanita yang langsung menghampirinya.Karena posisi resto yang bersekat, jadilah tiap-tiap meja di area VIP itu memiliki privasi masing-masing.Wanita itu menduduki kursi di sisi si lelaki yang memilih sekat paling belakang, karena lokasinya yang memang lebih privasi di banding meja lainnya.BRAK!Kinan membanting tas tangannya ke meja, menjatuhkan bokongnya dengan cukup keras ke kursi. Menandakan bahwa dia kini sedang marah."Wow, santai nona cantik," ucap Lexi dengan gayanya yang terlihat menyebalkan di mata Kinan. Lexi hendak meraih tangan Kinan namun Kinan cepat mengelak."Ng
Aljabar mengusap nisan istrinya, membelainya pelan."Ras, bisa tinggalkan saya sebentar? Saya mau bicara sama istri saya. Dan saya nggak ingin ada orang lain di sini. Kembalilah ke mobil, nanti saya akan menyusul!" Suara Aljabar terdengar rendah. Tampak jelas dari suara itu, bagaimana pemiliknya sedang di dera rasa sakit luar biasa menghujam dada. Seolah ada luapan kesedihan yang mengganjal memenuhi kerongkongan.Rassi mengangguk, tak ada bantahan berarti meskipun sebenarnya dia ingin melihat dan mendengar lebih banyak apa yang ingin Aljabar utarakan di sana.Rassi mengeja langkahnya, perlahan meninggalkan Aljabar dengan hati penuh keingintahuan. Rassi mengenal betul seperti apa Aljabar. Sepertinya Aljabar benar-benar sudah berubah saat ini.Terlihat lebih tenang. Lebih dewasa.Lebih bisa mengontrol emosi. Berbeda sekali dengan saat masih bersamanya dulu.Rassi mengingat betul, bagaimana pria ini meledak-ledak. Akan tetapi, yang dia lihat saat ini membuktikan seberapa jauh Aljabar bi
"Ab, sebaiknya kita tunda rencana kedua," ucap Rassi tegas saat Abraham menemuinya di apartemen malam ini.Abraham dan Rassi sudah berhasil membuka mata Aljabar atas kebusukan Kinan juga Lexi di belakang lelaki itu selama ini, dan itu artinya rencana awal mereka telah berjalan sukses.Kini, harusnya mereka masuk pada rencana kedua, namun permintaan Aljabar pada Rassi membuat Rassi perlu menunda rencana kedua yang telah dia susun bersama Abraham untuk menghancurkan Aljabar.Itulah sebabnya, Rassi meminta Abraham datang ke apartemennya malam ini, karena dia ingin memberitahu Abraham mengenai permintaan Aljabar untuk berpura-pura menjadi kekasih lelaki itu.Mendengar penjelasan Rassi, hati Abraham berontak, terlihat jelas dari tatapannya bahwa dia tidak setuju, hanya saja, Abraham tidak memiliki kekuatan apapun untuk menunjukkan rasa ketidaksetujuannya itu."Baiklah, lakukan apa yang menurutmu lebih baik, aku akan tetap mendukungmu, Rassi," ucap Abraham pada akhirnya.Lalu lelaki itu moh
Rassi POV*****Roda empat itu menggilas jalanan kota Jakarta. Sejenak lantunan merdu lagu Cristhina Perry yang berjudul Jar of Heart memenuhi telinga. Aljabar yang menyalakan perangkat musik di mobilnya. Dia berencana mengajakku makan makan siang bersama ketika jeda jam kantor hari ini."Besok apa aja agenda saya?" tanya Aljabar memecah kebekuan yang terjadi antara aku dan dia. Entah kenapa kami selalu merasa canggung saat berdekatan seperti ini. Seolah ada sekat yang menjadi penghalang untuk benar-benar dekat.Tepatnya sejak Aljabar yang memintaku untuk berpura-pura menjadi kekasihnya, hubunganku dengan Aljabar memang semakin dekat.Sebuah rencana sudah tersusun rapi di antara kami, di mana Kinan dan Lexi menjadi target utamanya."Besok Bapak ada pertemuan dengan investor dari perusahaan P&C. Proposal minggu lalu disetujui," balasku formal."Oke, sepertinya kita akan memenangkan job desk kita dengan beberapa perusahaan pesaing. P&C itu perusahaan di bidang informasi dan periklanan ya
Rassi POV*****"Mama, Althair besok mau jalan-jalan dari sekolah, kata Bu Guru,"Kalimat itu seketika membuyarkan fokusku. Pikiranku tak tentu arah.Entahlah, pertemuan dengan perempuan yang mengaku bernama Marfuah itu cukup membuatku bingung dan penasaran. Siapa dia sebenarnya?Kenapa dia seolah sangat mengenalku sementara aku sendiri tak sama sekali mengenalnya?"Mama!" Althair menarik lengan blouseku, membuat perhatianku seketika tertuju padanya."Mau jalan-jalan ke mana, sayang? Kok dadakan sekali?" Tanyaku kemudian."Kata Bu guru, besok akan ada kunjungan ke museum. Sebenernya Bu Guru udah dari minggu lalu kasih tau, tapi Althair lupa terus kasih tau Mama. Habis, Mama sibuk melulu sih," oceh Althair seraya mendengkus. Bibir mungilnya mengerucut, maju lima centi."Iyakah? Ya ampun, maaf ya sayang. Soalnya akhir-akhir ini kerjaan Mama di kantor sangat banyak. Sekali lagi Mama minta maaf ya, Al maukan maafin Mama?" Pintaku memelas. Perasaan bersalah seketika merayapi benakku. Sadar
Sejak dirinya mengetahui kebusukan Kinan dan Lexi, satu hal yang membuat Aljabar kerap merasa malas di rumah dan harus berhadapan dengan Kinan.Harus memulas senyum manis seolah semuanya benar. Seakan tak pernah terjadi apa-apa.Muak!Aljabar muak untuk berpura-pura baik di hadapan Kinan.Aljabar tak habis pikir, bagaimana bisa, Kinanta bersikap seolah tanpa dosa? Bahkan setelah bertahun-tahun lewat setelah kematian Atama?Wanita bermuka dua itu tak pernah tahu bahwa sang suami sudah mulai mengikuti permainannya dan mencoba memberikan serangan balik dengan alur yang sudah Aljabar susun bersama Rassi."Mas, udah pulang?" Kalimat itu menyambut Aljabar sepulangnya lelaki itu bekerjaHari ini Aljabar tidak pergi dengan Rassi, karena Rassi bilang, dia sudah berjanji pada Althair untuk pulang lebih cepat minggu-minggu ini.Dan itu artinya, Aljabar kini memiliki lebih banyak waktu di rumah bersama Kinan.Aljabar menghela napas berat. Perasaannya begitu tertekan setiap kali dia berada di deka
"Sayang, udah dong nangisnya. Nanti mata Al bengkak kalau nangis terus," bujuk Rassi untuk kesekian kali agar Althair sang anak mau diam.Ini sudah hampir empat jam lewat sejak dirinya sampai di rumah tadi, tapi Althair masih saja menangis. Bahkan setelah Rassi membujuknya dengan berbagai cara, bocah itu tetap saja tidak mau berhenti menangis."Mama tahu, Al kecewa atau bahkan marah sama Chelsea karena udah kasih tau teman-teman di kelas bahwa Al nggak punya Papa. Tapi mungkin maksud Chelsea bilang begitu karena dia nggak mau berbohong. Makanya Chelsea bilang jujur. Jadi, Al nggak boleh marah," ucap Rassi lagi mencoba untuk menjelaskan. Berharap hati Althair akan luluh.Memang, ini bukan kali pertama Althair diejek teman-temannya hanya karena dia yang tidak memiliki Ayah. Tapi, sejauh ini belum pernah Althair selemah ini dengan menangis tersedu-sedu dalam dekapan Rassi sambil menceritakan apa yang baru saja dia alami. Biasanya, Althair itu tegar. Berani. Bahkan tak jarang dia melawan
Setelah mendapat wejangan dari Aljabar tadi, kini Althair pun bisa mengerti dan kembali ceria.Bocah itu tampak asik bermain bersama Chelsea di kamarnya, sementara Aljabar dan Rassi asik menikmati cemilan sambil menonton TV."Terima kasih banyak ya Pak, udah mau repot-repot datang dan bujukin Al supaya berhenti menangis," ucap Rassi membuka percakapan.Acara televisi yang mereka tonton padahal adalah acara lawak, tapi, nyatanya tak juga mampu mencairkan kecanggungan di antara mereka yang saat itu duduk berdampingan dengan jarak mereka yang bisa dibilang cukup dekat.Mungkin saking fokus menonton mereka jadi tidak sadar akan hal itu."Panggil saya, Al, Rassi. Kita kan nggak lagi di kantor," ujar Aljabar yang merasa risih setiap kali Rassi memanggilnya dengan sebutan Pak."Eh iya, Al..." Rassi terkekeh kecil."Jujur aja ya, saya tuh setiap kali melihat Althair, atau Chelsea, pasti keinget sama anak saya yang dulu meninggal di dalam kandungan istri pertama saya, Atama. Mungkin jika anak