Share

5. DIA, SUAMIKU!

Atama POV

*****

Kesulitan perekonomian menjadi permasalahan kompleks bagiku meski baru menikah beberapa bulan belakangan.

Aljabar sok-sokan tak mau menerima bantuan dari orang tuanya, maupun mertuanya. Sementara dia pun belum mendapatkan pekerjaan.

Sebagai seorang istri yang baik, aku tentu berinisiatif ingin membantunya, walau pun keadaanku sedang hamil, toh aku bisa bekerja apa saja yang ringan-ringan.

Seperti lowongan pekerjaan di fotokopian dekat kontrakan kami.

Aku mencoba bicara baik-baik, tapi dia tidak pernah menanggapinya dengan baik-baik pula. Itulah Al, aku tidak tahu bagaimana harus menilainya. Yang aku tahu rasa cintaku padanya tak pernah ternilai banyaknya dan semua itu selalu saja mampu menutupi kesalahannya.

"Al, aku boleh nggak kerja? Ada lowongan pekerjaan di fotokopian Bang Yusuf. Gajinya nggak seberapa sih, cuma dari pada nggak ngapa-ngapain, kan bosen di rumah terus." Ucapku mengungkapkan keinginan.

"Nggak!" Jawabnya singkat, padat, dan jelas.

"Kan deket, Al?"

"Aku bilang nggak, ya nggak!" Aljabar menatapku sinis.

"Emang aku harus ngapain di rumah? Aktifitasku monoton. Aku agak bosan," keluhku lagi.

"Belajar masak, beresin rumah. Masa iya kamu mau makan beli mulu, mana peran kamu sebagai seorang istri? Aku tuh masih nganggur, Ta. Mikir dong! Aku malu apa-apa di fasilitasi Mama terus,"

"Ya makanya aku mau bantu kamu biar ada penghasilan. Biar nggak di fasilitasi Mama kamu terus."

"Kamu mau nyindir aku ya? Mau ngatain aku nggak kerja gitu? Pengangguran, pemalas? Emang kamu udah merasa hebat banget ya? Bisa kerja duluin aku?" Tuturnya sinis.

"Apaan sih? Kamu gitu aja ngegas, kan aku cuma minta izin, kalo nggak boleh juga nggak apa-apa kok."

"Harusnya kamu tau jawaban aku!"

"Aku berusaha jadi istri yang baik, Al."

"Dengan cara apa?"

"Ngertiin kamu."

"Ya elah... belajar masak sana! Jangan drakor mulu. Bikin kopi yang enak!"

"Kan, aku bikinin kamu kopi tiap hari."

"Nih ya, asal kamu tau aja, kopi bikinan kamu tuh rasanya ancur, cuma aku minum aja karena aku nggak ada pilihan selain ngehargain kamu. Lagian ngapain kerja, nih aku juga masih cari kerja kok. Tau entar dapetnya kerja apa. Mulung sampah kek! Apa kek, Orang nggak ada keahlian gini." Katanya sembari memetik sinar gitarnya dan berkencrang-kencring sumbang.

Aku mengusap pundaknya. "Jangan nyerah, aku tau kamu bisa."

"Kamu nggak tau gimana susahnya cari kerja, lapangan pekerjaan yang makin sempit. Belum lagi aku yang nggak ada skill. Di mana-mana nyarinya yang berpengalaman. Lah, aku pengalaman apa? Kita udah beberapa bulan nikah, masa mau dicukupin keluarga terus. Ngerasa nggak ada harga diri aku tuh."

"Masa sih? Buktinya kamu tiap hari jalan sama temen-temen kamu?" Aku mengalihkan pembicaraan agar tidak terfokus pada keluhan-keluhannya.

"Maen? Boro-boro, kan aku udah bilang aku cari kerja, karna aku bawa gitar kemana-mana makanya kamu pikir aku maen? Itu juga sambil ngamen buat beli bensin. Emangnya kamu, cuma main sosmed doang? Otak kamu tuh nggak ada satu persen pun mikir gimana perjuangan aku di luar buat nyukupin kebutuhan hidup kita, Ta!"

Aku terdiam, menghela napas berat.

"Coba siniin Hp kamu!" pintanya kemudian.

Tanpa ragu-ragu kuberikan ponselku ke tangannya. Aku sedikit heran apa yang sedang dia lakukan, setelah sibuk dengan ponselku, lalu dia mengembalikannya.

"Aku udah hapus aplikasi sosmed kamu. Aku juga hapus akun nggak penting kamu, awas kamu bikin lagi!"

"Kok gitu, sih?" protesku sambil mengerucutkan bibir.

"Aku nggak suka kamu upload foto-foto kamu di sosmed. Aku nggak suka kamu interaksi ama temen-temen dunia maya kamu. Ngapain sih, ganjen banget! Udah laku juga! Alay tau nggak."

"Kan kamu pakai sosial media juga?" Balasku tidak terima.

Aljabar menunjukkan ponselnya, menghapus beberapa akun sosal medianya dan menunjukkannya padaku.

"Nih, satu sama kan? Udah aku mau ke rumah Mama. Nggak usah ikut, aku cuma sebentar. Jangan kemana-mana, denger?"

Aku hanya mengangguk paham.

"Keluar rumah diam-diam, aku injak-injak tuh perut biar keluar semua isinya," tekannya sambil mengenakan jaket jeans-nya dan berlalu.

Lelah, sebulan ini aku merasa seperti hidup di dalam sangkar, tidak boleh kemana-mana dan aturan terakhirnya tidak boleh bersosial media?

Ya Tuhan, ini bukan jaman batu!

Namun, entah kenapa aku malah tersenyum saat melihat punggung Aljabar menjauh.

Dia mencintaiku, entah itu kenyataannya, atau mungkin hanya utopia yang kubangun sendiri. Buktinya dia ingin aku tetap di rumah. Dia posesif, pasti karena takut kehilanganku. Itu yang aku pikirkan sekarang.

Rona di wajah ini kutanggalkan. Saat mengingat hal gila yang paling membuatku semakin pusing adalah sikapnya.

Ya, SIKAPNYA!

Apakah dia tidak pernah belajar bagaimana caranya bersikap?

Aku hampir gila dibuatnya.

Ke mana pun langkahku pergi, dia selalu mengikutiku. Ke mana pun aku selalu di antar. Dan suatu hari, ketika aku bertemu dengan seorang pemuda sebaya dan kami saling menyapa, hal sekecil itu saja mampu membuatnya marah. Dia mudah sekali marah. Entahlah, sebentar dia manis, sebentar dia marah. Aku tak mengerti jalan pikirannya.

"Apa, Mas liat-liat? Istri saya, nih!" Dia menggenggam tanganku erat-erat sampai tanganku terasa sakit. Memperlakukanku begitu posesif.

Laki-laki yang baru saja ditegur Aljabar hanya tersenyum menggeleng samar, lalu pergi. Pasti dia berpikir sikap Aljabar berlebihan.

"Siapa dia? Kenapa kamu senyumin dia?" Tanya Aljabar padaku dengan ekspresi sangat datar. Dan aku sadar satu hal, semakin hari, dia semakin galak. Semakin posesif, semakin otoriter.

"Itu tetangga, Al. Rumah dia jaraknya nggak jauh dari rumah Mama. Memangnya kamu nggak kenal? Masa aku nggak boleh sapa, entar dikira sombong."

"Pilih dikira sombong apa gampangan?" serangnya.

"Aku cuma senyum dan sapa, kok."

"Tebar pesona kamu!" Matanya menatapku tajam dan seperti biasa itu mampu membuatku tak berkutik.

"Ya ampun, Al. Kamu kayak anak kecil banget sih! Lagian kan aku sekarang lagi sama kamu."

"Sama aku aja kamu kayak gitu, apalagi kalau nggak? Murahan banget sih!"

"Dia tetangga, Al. Lagian kita jalan bareng ini." Aku tetap bersikeras. Tak mau disalahkan.

"Jalan sama aku aja banyak tingkah. Nggak ada hormatnya sama suami!"

"Aku selalu hormatin kamu, kok. Ngapain sih hal kayak gini dipermasalahin?"

"Kayak hormatin bendera? Untung aja aku cukup sabar buat nggak nonjok dia." Geramnya sambil mengetatkan rahang.

Ya Tuhan...

Apakah Aljabar adalah spesies langka di bumi ini?

Aku lupa dia makhluk jenis apa.

Aku hanya ingat, dia suamiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status