Share

6. DI SINI, DIA MENYENTUHKU!

Awalnya Atama berpikir semua baik-baik saja.

Kesabarannya akan mampu melunakkan hati Aljabar seiring waktu. Ternyata semuanya tak semudah yang dia pikirkan.

Seandainya Atama tidak pernah menjawab telepon itu mungkin dia akan selamanya menjadi istri yang bodoh, yang tidak tahu apa-apa mengenai perselingkuhan suaminya.

"Ini siapa, ya?" ucapnya saat itu dengan telepon genggam menempel di telinga.

"Kamu yang siapa?" Di ujung saluran telepon, perempuan lain bersuara. Membuat hati Atama dirambati retakan-retakan tak kasatmata. "Aku pacarnya Al!"

Sejenak kalimat itu mampu membuat hati Atama melebur lalu hancur. Mimpi burukkah itu?

"Aku istrinya!" Jawab Atama tegas dan dominan.

"Jangan bercanda, ya!" Nada wanita di ujung saluran telepon itu terdengar sumbang. Jelas sepertinya dia tak senang.

"Jauhi Al! Aku lagi hamil," ucap Atama dengan dada yang bergerak naik turun bersamaan dengan napasnya yang kian memburu. Menahan sakit.

"Ini siapa sih? Nggak jelas banget! Nggak usah sok ngaku-ngaku ya! Aku tahu Aljabar itu belum menikah! Nggak tau malu!"

"KAMU YANG NGGAK TAU MALU!" Atama setengah berteriak. Rasanya dia ingin meneriaki apa saja dan siapa saja.

Wanita itu mematikan sambungan teleponnya secara sepihak.

Kinanta.

Nama itu yang tertera di layar ponsel milik suaminya.

Hati Atama terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya wanita itu?

Jemarinya mengepal erat, dia sedang hamil empat bulan dan suami yang dia cintai bermain di belakangnya dengan wanita lain?

Lelucon macam apa ini?

Dia tak ingin guling-gulingan saking sakit hatinya. Namun sungguh, rasa sakit itu menggelitik dengan sangat estetik di rongga dada. Menyesakkan.

"Ata, aku beliin pizza kesukaan kamu. Aku ambil piring buat pisahin pinggirannya, ya," ucap Aljabar manis saat dia baru saja pulang bekerja.

Ya, saat ini Aljabar sudah bekerja menjadi waiter di salah satu restoran elit di pusat Jakarta. Gaji yang Aljabar terima memang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama satu bulan. Bahkan jika sedang ramai, Aljabar seringkali mendapat uang jatah lembur yang lumayan.

"Siapa Kinanta?" cetus Atama langsung ke inti saat suaminya pulang dengan bungkusan di dalam kantong plastik transparan.

Aljabar tidak menjawab sepatah kata pun. Meletakkan makanan yang dia bawa itu ke atas meja.

"JAWAB! Siapa Kinanta?" serang Atama lagi, penuh murka.

"Apa sih, Ta? Dia temen! Temen yang nawarin aku kerja." Aljabar tak tahu harus menjawab apa. Wajahnya merah dan dia tak sanggup menyembunyikan rasa gugup.

"Merangkap sebagai teman kencan kamu? Atau teman tidur?"

"Dia temen. Tau artinya temen?" tegas Aljabar kasar. Sebenarnya dia tak ingin melukai hati Atama karena hadirnya Kinanta, tapi Atama selalu saja menjadi hal paling memuakkan baginya. Dia lelah dengan pernikahan tak direncana ini. Dia memang ingin menikah, tapi bukan sekarang. Dan Atama seolah telah menjebaknya dengan rumah tangga jahanam ini. Itulah yang membuat Aljabar pada akhirnya memutuskan untuk mencari kesenangan di luar, bersama Kinanta.

"Kamu nggak perlu alesan apa-apa lagi, Al. Dia sudah mengakui hubungan kalian." Air mata Atama berjatuhan. Dia tidak sanggup meredam kekecewaan yang begitu dalam di dadanya. Aljabar terlalu dalam mencetak rasa sakit di hatinya. Hingga Atama kesulitan untuk menutupinya.

"Ini tuh nggak kayak yang kamu pikirin, Ta. Ini cuma salah paham," ucap Aljabar membela diri.

Entahlah, Aljabar sendiri tak mengerti akan jalan pikirannya. Dia mencintai Atama, tapi di sisi lain dia membencinya. Gadis sialan itu yang telah membuat masa mudanya hilang sia-sia. Itulah satu hal yang selalu berputar dalam benak Aljabar sejauh ini.

"Atau lebih dari yang aku pikirin? Jadi, apa yang harus aku pikirin? Bahkan aku tau pernikahan ini nggak pernah kamu inginkan!"

"Ta, plis ya. Jangan kekanakan! Susah ya nikah sama anak kecil!" seru Aljabar sambil mengokohkan rahang.

"Aku emang anak kecil kalo kamu lupa. Aku cuma anak kecil yang nggak tau apa-apa sampai kamu bikin aku tahu segalanya. Kamu, Al... yang jadi jendela buat aku keluar dari ketidakbebasan lalu tau gimana hidup liar. Kamu Al, kamu alesannya." Mata Atama memejam. Darahnya mendidih oleh kemarahan tak tertahankan.

Sementara Aljabar hanya diam. Ingin rasanya memecahkan kepala Atama untuk memastikan apakah kepala itu ada isinya. Seharusnya Atama tahu bagaimana Aljabar mencintainya. Bahkan dia rela terkungkung pada pernikahan ini dengannya di usia yang masih sebelia itu. Karena apa kalau bukan cinta? Dan kenapa hal semudah itu saja dibikin rumit jika kepala Atama Lovenia yang sedang berperan?

"Kamu mau nyalahin aku atas kita?" Aljabar menyerang balik. Atama tak akan peka pada perasaannya. Jadi untuk apa menjelaskan kepada orang dungu perihal kecamuk di hatinya tentang cinta dan benci itu? Toh semuanya sulit dijelaskan. Tampak seperti lukisan abstrak atau surealism yang sulit dipahami maknanya.

Atama tersenyum getir. Masih dengan air mata yang tidak berhenti mengalir. Setiap kata yang keluar dari mulut Aljabar setajam belati yang seakan mengulitinya hidup-hidup.

"Ya, atas hadirnya dia. Asal kamu tau aku nggak pernah nyalahin kamu karena hubungan kita, atas keberadaan anak kita. Kesalahan-kesalahan kita..."

"Iya, dia pacar aku! Puas kamu?" Aljabar tidak tau kenapa kalimat itu lolos begitu saja dari mulunya. Kalimat yang tentu sangat menyakiti Atama. Bahkan menyakiti dirinya sendiri.

"Dan kamu bersikap begitu posesif untuk menutupi kebusukan kamu sendiri? Playing victim yang luar biasa hebat. Kamu sempurna dalam memberiku rasa sakit," ucap wanita bersurai panjang itu. Dia nyaris tak percaya pada apa yang terjadi. Atama meneguk ludah kasar. Dadanya terasa terbakar dan membakar.

"Aku cape tiap pulang pasti ribut terus sama kamu, kamu mikir nggak sih? aku stres tau nggak, ama kehidupan kita yang penuh drama!"

"Kalu begitu ceraikan aku." Rasanya Atama hampir mati saat mengucapkan kalimat itu, hidupnya terlalu menyedihkan untuk tidak ditangisi. Kakinya terasa lunglai dan kehilangan kekuatan.

"Kamu maksa aku buat nikahin kamu dan tiba-tiba kamu minta diceraikan?" Aljabar menoyor kepala Atama seiring rasa sakit yang Atama berikan lagi. "Aku udah pegang kartu kamu, Ata. Aku tau kamu itu siapa!" Tudingnya dengan suara bernada sinis.

Bukan tanpa alasan Aljabar bersikap begini, bukan hanya kecurigaan. Aljabar tahu betul bahwa dia bukan satu-satunya lelaki di hidup sang istri. Dan sialnya dia mulai meragukan bayi siapa yang sedang Atama kandung. Dia tak akan percaya jika perselingkuhan itu hanya gosip, tapi Denira---sepupunya----yang mengatakan kepada Aljabar, bahwa dia pernah melihat Atama keluar dari motel bersama seorang pria. Mustahil Aljabar tak mempercayai Denira.

"Al, kenapa kamu tega sama aku?

Kenapa aku nggak cukup buat kamu? sementara sudah kuberikan seluruh hidupku buat kamu! Apalagi yang harus kulakukan demi mempertahankan cinta rumit yang menghukum ini?" Atama masih mencoba mengungkapkan isi hati, meskipun dia tahu Aljabar tak akan mengerti.

Atama menuduk lesu, suaminya memang serumit Aljabar, yang tidak mampu dia pahami rumusnya seperti dalam pelajaran matematika.

Terlalu rumit.

Terlalu sulit untuk dipecahkan.

"Jangan drama kalo kamu sendiri antagonis sesungguhnya, Atama," tuding Aljabar menghakimi. Jemari Aljabar mengepal. Sedalam apa pun dia mencoba membalas rasa sakit di hatinya, rasanya dia seperti lebih terluka. Dia telah mencoba mati-matian membunuh perasaan itu pada Ata. Agar dia bisa leluasa memberi Ata rasa sakit yang sama dan membalas dengan cara yang sama, yakni melalui perselingkuhannya dengan Kinanta.

Sementara Atama terdiam. Menjelaskan apa pun tak ada gunanya. Aljabar yang ketahuan tapi dia playing victim. Seolah Atama yang paling bersalah. Yang jelas keduanya selalu terlibat pertengkaran sengit tak berujung.

"Kamu cinta sama dia?" tanya Atama lirih dan dalam, sedikit rasa iba menyelusup di hati Aljabar mendengar suara Atama yang melemah.

Tidak!

Dia tahu Atama pantas mendapatkan ini setelah apa yang dia lakukan!

Aljabar kembali diam, sampai sang istri menggoncangkan tubuhnya.

"Jawab, Al!"

"Ya." Dia menjawab tanpa menatap mata istrinya.

Mendengar hal itu, Atama jadi tertegun.

Rasanya dia sudah kehilangan separuh dari nyawanya saat mendengar jawaban Aljabar.

"Tinggalin dia, atau aku!" pinta Atama.

Brengsek!

Atama yang bodoh!

Seandainya dia tahu apa yang sedang Aljabar rasakan kini!

"Aku nggak bisa tinggalin dia setelah aku tau perbuatan kamu di belakangku, Ata. Aku nggak bisa," jawabnya mantap lalu mulutnya mengatup rapat.

"Apa yang aku lakukan? Apa?" tantang Atama tak ingin dikalahkan oleh argumentasi konyol Aljabar.

Aljabar mengepalkan tangan, melayangkan kepal tinjunya dan mata sang istri memejam rapat. Debam suara tembok dipukul membuat Atama berjengit sesaat.

Atama menghela napas berat. Tak boleh ada rasa takut menyelusup di hatinya sedikit pun. Tak boleh.

Jika Aljabar kejam, maka dia harus melawan dengan kuat. Atama berusaha membangun dirinya agar dia tidak lemah di depan suami brengseknya itu.

"Apa yang sudah kalian lakukan? Hm?" Atama pejamkan mata rapat-rapat sekali lagi. Berharap semua yang terjadi hanya mimpi buruk.

Namun, tidak.

"Apa yang bikin kamu nggak bisa ninggalin dia? Apakah kecantikannya? Atau sentuhannya?"

Sekali lagi ada batu besar tak kasat mata yang menindih di dada Atama. Terlalu sakit untuk digambarkan.

"Apakah dia nyentuh kamu di sini? Di mana lagi, Al?" Menyentuh pipinya, lalu Atama usap bibir suaminya.

Aljabar menahan napas, jemari sang istri terasa begitu lembut mengusap bibirnya. Seandainya semuanya terjadi dengan benar. Seandainya ucapan Denira tak pernah Aljabar dengar, maka wanita ini adalah segalanya dalam hidup.

Bukan Kinanta.

Aljabar mengangkat satu sudut bibir, menuntun jemari Ata menyusuri dada dan membawanya turun ke bawah sambil berkata,"di sini, dia menyentuhku, di semua bagian."

Atama melepas cepat genggaman tangan Aljabar yang membawa tangannya pada bagian di antara apitan selangkangan sang suami. Lalu kembali menangis.

Melihat hal itu, harusnya Aljabar senang, mungkin kalimat itu sudah cukup membuat Atama merasa tersakiti.

Namun sayangnya, rasa sakit itu justru ikut dia nikmati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status