Share

4. SENTUHAN YANG TAK LAGI SAMA

Atama POV

*****

Aljabar berkali- kali menyulut rokoknya di tepi jendela tanpa menoleh ke arahku. Lalu dia mengambil jaketnya, memakainya buru-buru dan bergerak untuk keluar dari jendela.

Aku menarik tangannya. Siapa yang rela ditinggalkan oleh suaminya pada malam pertama pernikahan?

"Al, kamu mau ke mana?" Tanyaku cepat.

"Jalan ama temen-temen. Kenapa? Nggak suka?" Ucapannya beriringan dengan tatapan sinis. Matanya yang dingin terasa tajam menusuk indraku. Suaranya yang penuh ketidaksukaan terasa merusak pendengaran. Aku merasa terbunuh oleh keadaan ini. Aku benci kenapa tidak pernah bisa berkutik di hadapannya.

"Ini malam pernikahan kita, Al." Aku tertunduk, sadar bahwa Aljabar memang tidak menginginkanku.

"Pernikahan kita? Pernikahan kamu kali, Ta. Kan kamu yang mau nikah sama aku? Aku nggak kan?"

Aku tidak melepaskan tangannya, memejamkan mata yang memanas oleh luka yang menderaku tanpa belas kasihan. Sikapnya yang dingin terasa membekukan jiwa. Cinta memang indah hanya diawal saja. Itu yang kutahu dan kurasakan saat ini.

"Denger ya, Ta. Mentang-mentang kamu istriku kamu pikir bisa seenaknya mengatur hidupku? Jangan banyak nuntut aku. Masih baik aku mau nikahin kamu!"

"Kamu bilang kamu cinta sama aku, kenapa semua kata-kata busuk itu keluar dari mulut kamu?" balasku mencoba bersabar, meski aku tahu menghadapi sikap Aljabar yang kian berubah tak cukup hanya dengan kesabaran saja.

"Iya, cinta. Bukan menginginkan komitmen. Aku masih mau bebas. Dan pernikahan ini pasti akan mengaturku! Jangan merasa memiliki hidupku hanya karena aku udah nikahin kamu. PAHAM?"

Ucapan itu membuat gemuruh di dadaku seolah semakin bergolak. Rasanya duniaku berhenti berputar. Aku kehilangan waktu untuk menghirup udara. Terasa sesak bagaikan tanpa napas. Membekukan aliran darahku sampai aku kesulitan bergerak.

Tetesan air mata tidak lagi mampu aku bendung. Jika ada kalimat yang paling bisa mewakili hatiku, aku ingin mati, sepertinya kalimat itu yang paling tepat.

"Jangan pergi, Al. Aku mohon. Hari ini saja, Al. Aku mau kamu di sini," ucapku lirih.

"Kamu drama banget sih? Ini dunia nyata. Makanya enggak usah kebanyakan nonton drakor, biar otak kamu bisa warasan dikit!"

Aku tetap memegang erat lengannya, tak ingin dia pergi. Aku ingin dia memberi sedikit waktu. Waktu untuk membunuh kebencian di hatinya yang entah kapan bertumbuh. Dan entah atas alasan apa?

Tangan yang semakin erat menggenggamnya membuat Aljabar semakin gusar, di dorongnya tubuh ringkihku sampai aku terjatuh dan lutut ini berdarah membentur kerasnya lantai kamar.

Saat itu, dia tidak membantuku bangun tapi malah melepas jaketnya, membuangnya sembarang arah lalu keluar dari kamar melalui pintu.

Dia tidak peduli, pikirku saat itu.

Tapi ternyata, dugaanku salah, karena sejenak kemudian, Aljabar terlihat masuk kembali ke kamar kami dengan kotak obat di tangannya.

Aku mendapatkan kemenangan kecil. Kupikir dia keluar untuk meninggalkanku. Kupikir dia benar- benar tak peduli, tapi ternyata tidak.

Aku tersenyum dalam hati. Terlebih saat kedua tangan kokoh Aljabar mengangkat tubuhku lalu mendudukkanku di bibir ranjang. Tak sampai di situ, dia pun mengobati luka di lututku yang berdarah.

Memang, tidak ada yang terucap dari bibirnya saat itu, dia hanya melakukannya dengan diam. Tapi aku bisa merasakan pancaran kekhawatiran dalam tatapannya, terlebih rasa bersalah.

"Tidur gih!" Hanya kalimat itu yang dia ucapkan begitu selesai mengobatiku. Nada bicaranya terdengar lembut.

"Kamu nggak akan ke mana-mana kan?" Tanyaku memastikan bahwa dia tidak akan pergi malam ini.

Aljabar tampak mengacak-ngacak rambutnya, sedikit berteriak. Kelihatannya dia sangat frustrasi. Tanpa aku tahu bagian mana yang membuat dia sefrustrasi itu?

"Ya Tuhan! Nggak, Ta! Aku nggak akan kemana-mana!" Ucap Aljabar yang seperti terpaksa mengucapkannya.

Setelah yakin bahwa Aljabar tidak akan meninggalkanku, aku pun berbaring di tempat tidur dan dia mengambil tempat di sisiku, tidur dengan posisi memunggungiku. Rupanya aku sebegitu tak diinginkannya.

"Al," Aku bangkit dan mendekat ke arahnya. Meraih tubuhnya dalam dekapan.

Saat itu, Aljabar hanya diam dan memejamkan mata, saat aku menengok wajahnya sekilas, tanpa sengaja aku melihat setetes air meluncur dari ekor matanya.

Hatiku memang sakit mendapati perlakuan Aljabar yang buruk dan kata-katanya yang kasar, hanya saja, rasa sakit itu tak lebih parah dari rasa sakit yang aku rasakan ketika melihat Aljabar sepertinya menderita karena aku.

Dan aku sadar, pernikahan ini menyakitinya.

"Udah, tidur!" Ucap Aljabar kemudian seraya melepaskan tanganku yang masih melingkar di perutnya.

Aku mengusap rambutnya, menyematkan sebuah ciuman hangat di pelipisnya. Namun Aljabar tetap diam.

Bagaimana pun dia memperlakukanku, dia tetap orang yang pernah membuat hidupku terasa sangat manis. Dia menyakitiku, tetapi dia juga mengobatiku. Selalu seperti itu. Dan rasa cinta membuatku tak merasa keberatan atas itu. Sampai luka di hati ini membusuk dan aku tidak ingin lagi mencintainya, sejauh itulah aku akan berusaha bertahan di sisi Aljabar, suamiku.

*****

Seminggu setelah pernikahan, dengan alasan supaya kami bisa belajar mandiri, Tante Widya menyewakan sebuah kontrakan untuk kami tempati.

Ide yang cukup bagus bagiku, karena aku tidak nyaman jika harus tetap tinggal di kediaman Aljabar, di mana aku harus bertemu dan bertatapan dengan Nando setiap hari. Tatapan anehnya membuatku takut, takut terjebak dalam hubungan kurang sehat. Aku adik iparnya, bukankah aneh menatapku seperti itu?

Setelah kami tinggal di kontrakan, Aljabar semakin bebas dengan hidupnya, keluar malam dan pulang pagi dalam keadaan mabuk, rutinitasnya selalu begitu dan itu membuatku jengah.

Dia hanya menyentuhku saat dia sedang mabuk, atau sedang dalam keadaan membutuhkan sentuhan dan itu pun, dia tak pernah melakukannya dengan cara menyenangkan. Seolah aku hanya pemuas nafsu tak berperasaan baginya.

Dia memintaku melenguh seperti seekor sapi saat menikmati tubuhku dan saat aku memenuhi permintaan itu dia akan berkata, "bercinta sama kamu itu seperti bercinta dengan jalang, bedanya aku nggak perlu bayar kamu!"

Dan saat aku menjadi pasif ketika dia menyentuhku, dia akan memaki, "Bangke! Bercinta ama kamu itu sama dengan meniduri sebatang pohon, bedanya kamu punya sesuatu yang basah dan mereka nggak!"

Namun, lagi-lagi cinta selalu menjadi alasan untuk bisa menerima semua sikap kasar dan arogannya.

"Kamu nggak boleh keluar malam ini, atau aku pulang ke rumah mama," ancamku pada suatu malam saat Aljabar hendak pergi.

"Kamu maunya apa sih, Ta? Jangan mulai ngatur-ngatur aku, ya?"

"Aku istri kamu apa kamu lupa?" Balasku dengan dagu terangkat. Entah mendapat keberanian darimana, malam itu aku benar-benar tidak mau Aljabar pergi lalu pulang dalam keadaan mabuk lagi. Aku muak melihatnya.

"Iya-iya, seluruh dunia udah tau kali kamu istri aku," katanya sinis.

"Pokoknya aku mau pulang kalau kamu ngotot perg malam ini!" Ancamku lagi berharap Aljabar mengerti perasaanku.

Tapi yang terjadi saat itu adalah, Aljabar malah mendorong tubuhku ke tembok, tangan kanannya diletakkan di samping wajahku dan tangan yang lain mencengkram rahangku.

"Kamu tahu, kenapa aku kayak gini sama kamu? Aku tuh cinta sama kamu. Tapi pernikahan kita emang udah sakit dari awal. Kamu tau kan kalau aku nggak mau buru-buru nikah!"

"Kamu yang sakit! Kita bisa mulai semuanya kalau aja kamu mau. Nggak ada cinta yang nggak ingin memiliki!" Balasku meski agak kesulitan bicara.

"Memulai? Kamu yang bikin aku nggak punya masa muda, kamu yang bikin aku putus kuliah dan merelakan impianku buat jadi fotografer terkenal. Kamu yang bikin aku ngelakuin kesalahan terbesar dalam hidup. Kamu petaka buat aku, Ta! Terus kamu minta aku memulainya seolah semuanya baik-baik aja?" Aljabar tertawa hambar. Mengusap hidung dengan punggung tangan secara kasar.

Saat dia lengah, aku melepas cengkraman tangannya di rahangku. Menatapnya dengan tatapan marah. "Siapa yang mulai ngerayu aku dengan alasan ragu sama status virginku? Setelah semua yang kamu lakukan sekarang kamu nyalahin aku? Setelah semuanya aku kasih ke kamu, kamu bahkan masih aja berpikir kalau aku ini cewek nggak bener..."

Belum selesai aku bicara, Aljabar kembali mencengkeram rahangku kali ini lebih kuat, dengan raut wajah marah yang menakutkan dia mencium bibirku penuh emosi, mengunci tubuhku dan memepetnya ke dinding sampai aku tak bisa bergerak.

"Wajah sialan ini yang selalu godain aku dan bikin aku nggak bisa nahan diri. Salah kamu kenapa kamu selalu bikin aku lupa diri! Salah kamu kenapa kamu punya wajah secantik ini, Ta! Salah kamu karena kamu selalu bikin aku terangsang dengan pakaian-pakaian kamu yang seksi itu! Pokoknya semuanya salah kamu, Atama!" Cecar Aljabar setelah melumat kasar bibirku lalu dia melempar cengkramannya, seperti melempar sebuah bola.

"Emang dasar kamu aja yang nafsuan!" Balasku sengit.

BUGH!

Tangan Aljabar memukul dinding dengan sangat keras di samping wajahku, menimbulkan dengung nyaring di telinga. Aku memejamkan mata penuh rasa takut. Rasanya harga diriku telah dilucuti.

"PELACUR!" umpatnya kasar lalu kemudian menarik tubuhku dan mendorongnya ke tempat tidur.

Aljabar lagi-lagi membawaku pada sentuhannya setelah dia memakiku. Sentuhan yang rasanya tak lagi sama, penuh murka. Sentuhan antara menginginkan atau menghina. Dan dia menyentuhku ketika air mata ini tak bisa lagi terbendung. Sakit bukan main.

Salahkah aku memilih dia?

Kenapa selalu salahku?

Aku ingin menertawakan diri sendiri karena memilih dia, mempertahankan dia yang begitu egois. Dan aku selalu menertawakan diriku sendiri tanpa henti.

Selucu inikah takdirku?

Aljabar adalah luka bagiku, tapi dia bisa sekaligus menjadi obat terbaik. Terkadang dia mampu bersikap semanis madu, terkadang mampu berubah menjadi racun yang membunuhku tanpa peringatan.

Madu dan racun itu bertolak belakang, tapi dalam diri Aljabar hal itu berjalan beriringan.

Anggap saja, ini konsekuensi yang harus aku tanggung karena sudah mencintainya.

Dan aku tidak tahu, sejauh mana aku sanggup bertahan dengan keadaan ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status