"Syukurlah kandungannya masih bisa diselamatkan. Erika harus banyak istirahat, kata dokter ia harus bed rest total. Jangan terlalu banyak beraktivitas yang berat di masa trimester pertama karena masih rawan," ujar Ibu mengulang penjelasan dokter. "Untung saja cuma flek kecil, Ibu kaget waktu dia bilang ada darah, kira Ibu pendarahan," lanjutnya dengan mengelus dada. Kutarik napas perlahan dan membuangnya kasar setelah mendengar informasi dari Ibu. Lega, syukurlah Erika dan kandungannya masih dilindungi Tuhan, dan apa yang kuduga tidak terjadi. "Jak, tenanglah, Erika dan bayinya baik-baik saja. Sekarang kita harus ekstra menjaga Erika, biar kandungannya sehat." Ibu menepuk bahuku pelan mencoba menenangkan. Mungkin Ibu menyadari mataku yang menerawang dengan pikiran kosong seperti orang banyak pikiran. Ibu pikir masih mencemaskan Erika, padahal bukan, melainkan Andin. "Ingat, Jak. Secepatnya kamu urus perceraianmu dengan Andin. Ibu rasa faktor lain yang membuat Erika mengalami flek
Alunan nada menggema dari benda pipih yang berada di atas nakas. Entah sudah berapa berapa lama benda tersebut berdering, tapi tidak kuhiraukan. Pikiran kacau, bahkan setelah sampai di rumah Ibu, aku hanya merebahkan diri di kasur tidak ingin beranjak kemanapun. Masih dengan pakaian sama yang sudah tidak jelas bentuknya. Tanganku menggapai ke atas nakas mencari benda yang masih berdering tersebut. Suaranya memekakkan telinga, terlalu bising untukku yang saat ini butuh ketenangan. "Jaka, kamu kemana saja? Tidur? Ibu lama nungguin kamu hampir sejam kenapa tidak datang?" Omelan Ibu menyadarkanku yang lupa untuk kembali ke rumah sakit. Beringsut kuturuni ranjang dengan malas. "Iya, Bu. Maaf Jaka ketiduran," jawabku berbohong sembari melepas baju bersiap ke kamar mandi. "Jaka … Jaka. Benar dugaan Ibu kamu pasti tidur. Ya sudah, cepat ke sini, Ibu tunggu!" Telepon dimatikan Ibu sepihak. Sepertinya beliau marah. Aku sudah tidak peduli. Kulempar sembarang ponsel ke atas tempat tidur dan
POV Andin Sudah berapa lama aku berdiri di depan jendela. Menikmati gemericik air hujan yang turun membasahi bumi pertiwi. Buliran air bening hangat juga ikut merembes di pelupuk mata membasahi kedua pipi. Sudah sekian kali dihapus, jejaknya tetap masih ada. Kusibak gorden jendela, berharap sosok yang kutunggu itu hadir, tapi kenyataan tak seindah harapan. Lelaki yang sudah membersamaiku selama tiga tahun ini belum juga menampakkan batang hidungnya. Janjinya untuk pulang malam ini sepertinya hanya tinggal janji. Mungkin benar kabar itu kalau saat ini ia sedang bersenang-senang dengan wanita lain, seperti yang telah dilaporkan oleh seseorang kepadaku.*** "Andin, suamimu mana?" Dahiku mengernyit saat ditanya Lola seperti itu. Dia meneleponku bukan salam yang diucapkannya terlebih dahulu, melainkan sebuah pertanyaan yang mengherankan. "Salam dulu zheyenk, assalamualaikum," tegurku mengingatkan. "Iya, assalamualaikum. Waalaikumsalam," ujarnya menjawab sendiri salamnya. Aku hanya m
POV Andin. "Harus begini Lol?" Dahiku mengernyit diminta Lola membuat surat ucapan perpisahan. Menurutku, kita sekarang hidup di era teknologi yang berkembang pesat. Bukan jamannya lagi menggunakan surat sebagai alat komunikasi. Bisa saja kan langsung berkirim pesan lewat ponsel atau bikin video. "Ini biar lebih dramatis, Ndin. Biar Jaka itu tersayat hatinya. Kalau perlu menangis darah," sahut Lola dengan ekspresi wajah berlebihan. "Iya kalau dibaca. Kalau nggak? Sia-sia Lol," bantahku kurang yakin dengan ide Lola. Kami sekarang berada di rumahku mendiskusikan sebuah rencana yang dibuat Lola untuk membuat Bang Jaka menyesal. Lagipula Bang Jaka tidak akan pulang karena dia lagi bersenang-senang di rumah Ibu. Izinnya denganku ada kerjaan dinas ke luar kota. Padahal bohong belaka. Aku tahu semua ini dari informasi yang diberikan Lola. Orang suruhan Lola selalu cepat memberikan info terkini tentang Bang Jaka dan segala aktivitas yang dilakukannya. "Pasti dibaca, percaya sama aku. Le
Kucoba membuka tirai lebih lebar dari sebelumnya, tapi tetap saja wajahnya masih kurang jelas. Mungkin cuma perasaanku saja. Namun entah kenapa wajah itu sangat familiar bagiku. Kenapa juga tadi sok kenal, Padahal wajahnya saja tidak jelas terlihat. Sudahlah, lebih baik menunggu Lola masuk. Sekarang sakit kepalaku kambuh lagi. Mualnya pun ikutan juga. Sepaket. Jadi begini rasanya hamil? Nggak apa, aku harus kuat. Demi dia yang telah lama kunantikan. "Sehat-sehat ya Nak. Mama akan berusaha fighting untukmu." Kuelus lembut perut yang sudah mengembang sebelum hamil. Orang yang mengenalku sebelumnya pasti tidak mengira kalau sekarang perut gendutku ini ada isinya."Nyebelin. Suamimu itu nyebelin Ndin." Masuk ke dalam rumah, Lola marah-marah sambil berjalan menghentakkan kaki. . "Tadi pasti kamu ngintip kan?" tebaknya dengan muka kesal dan jawabannya benar. Aku menganggukkan kepala dengan tersenyum malu. "Memangnya Bang Jaka bilang apa?" Kucoba bertanya. "Dia bersikeras ingin berte
Rintik hujan mengawali status baru yang kusandang, duda. Status itu tidak akan kusandang lama, karena setelah ini aku telah mengajukan berkas untuk melegalkan pernikahanku dengan Erika. Artinya aku tetaplah berstatus pria beristri. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, kalau akhirnya aku harus berpisah dengan Andin. Dulu kami berjanji akan setia sampai mati. Mungkin itu yang membuat Andin tidak bisa menerima keputusanku menikahi wanita lain, dan menggugat cerai. Aku pun akan bertindak demikian andai dia yang lebih dulu mengkhianati pernikahan kami. Egois, iya. Itu sifat lelaki. Kami yang berkhianat, tapi kami tidak suka dikhianati.*** Hening. Hanya suara rintik hujan yang menemani perjalanan kami pulang ke rumah. Ibu mendadak jadi pendiam setelah mengetahui keadaan Andin. Ia tidak banyak bicara lagi. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Sebelumnya ia sangat bawel. Aku ingat selama sidang berlangsung, Ibu selalu mencuri pandang pada Andin. Bola matanya yang cokelat tidak pernah le
Ibu menangis dalam pelukanku. Ia sangat terpukul mengetahui cucu yang dinantikan kehadirannya telah tiada. Ya, anakku dalam kandungan Erika ternyata sudah meninggal, dan Erika tidak menyadarinya. *** "Anak bapak-ibu berkelamin laki-laki, ya." Bibirku mengulas senyum saat mendengarnya. Padahal sudah tahu dari USG lima bulan lalu yang dilakukan Erika. Itu adalah momen pertama dan terakhir menemaninya periksa. Seketika kening dokter di depanku ini mengernyit. Ia sangat serius menatap layar monitor. "Detak jantungnya tidak terdeteksi. Suaranya pun tidak terdengar." Matanya masih fokus ke layar segi empat tersebut."Frekuensi denyut jantung tidak terlihat di layar," lanjutnya lagi."Bahkan janin Ibu tidak bergerak. Lihatlah?" Dokter di depanku yang bernama Dokter Risa ini menunjuk gambar janin yang hanya diam tanpa gerakan apapun. Aku dapat melihatnya. Deg. Dadaku terasa nyeri."Dok, tolong cek lagi. Siapa tahu alatnya yang rusak!" Perasaanku sudah tidak enak. Aku harap alatnya meman
Motor segera kutepikan di parkiran khusus roda dua setelah memasuki halaman rumah sakit. Berjalan dengan langkah cepat menuju ruangan perawatan Erika. Belum juga hilang rasa lelah yang mendera, ada lagi yang menambahkan, Erika. Entah kenapa istriku itu selalu membuat masalah. Tidak bisakah ia tenang sebentar tanpa membuat kehebohan. Mengamuk? Apa lagi yang harus diamukkan? Mataku memicing melihat pemandangan di depan mata ketika membuka pintu kamar inap. Erika, ia tertidur lelap dengan Mama Sisil yang duduk di sebelahnya. Tidak ada keributan yang dibuat istriku seperti yang diberitakan Ibu, lalu apa maksudnya meneleponku seperti itu hingga membuatku terdesak menuju kemari? Mataku juga mengerling ke arah Ibu mencari jawaban. Ia menganggukkan kepala seakan paham dengan apa yang kumaksud. "Kita bicara di luar, Jak," ajaknya. Kuikuti langkahnya yang lebih dulu berjalan keluar dan duduk di kursi yang berada di depan ruangan Erika. "Tadi Erika ngamuk teriak-teriak nggak bisa ditenangka