Jaka terkejut saat pulang ke rumah mendapati rumah dalam keadaan gelap gulita. padahal tidak mati listrik. Suasananya pun sepi seolah tak berpenghuni. Dia heran kemana pergi istrinya? Namun hal tak terduga terjadi saat ia menemukan sebuah kado cantik berwarna biru dengan pita di atasnya bertuliskan namanya tergeletak di atas nakas di dalam kamar. awalnya dia senang karena dikira kado dari istrinya meskipun bukan hari spesial untuknya. Namun semua berubah saat melihat isinya yang tak lazim dijadikan hadiah. Jaka segera memanggil istrinya tapi sayangnya tak pernah muncul, bahkan ia tak tahu kemana keberadaan istrinya tersebut. Lalu apakah hadiah dari istrinya Jaka? kenapa tiba-tiba Jaka sangat bersedih dan merasakan penyesalan seumur hidupnya?
View MoreKado Biru Istriku
"Dek, ini uang bulanan buat kamu. Ingat, digunakan sebaik mungkin. Jangan belanja yang nggak perlu." Andin menerima pemberian uang dariku tanpa suara. Uang itu segera diletakkannya di atas nakas begitu saja tanpa menyimpannya dalam dompet seperti biasanya. Bahkan ia tidak menghitung berapa jumlah uang tersebut. Aneh, biasanya selalu ia hitung di hadapanku dan lalu mengeluh kalau uangnya kurang. "Kamu tidak menghitungnya?" tanyaku penasaran. Ia menggeleng. Lalu mengambil handuk yang kuletakkan sembarang setelah mandi di atas tempat tidur tanpa suara pula. Keningku mengernyit. Biasanya ia akan protes dan ngedumel panjang lebar hingga memekikkan gendang telinga. Kali ini tidak, ada apa dengannya?Kuperhatikan ia dengan seksama. Ada yang berbeda. Ia lebih kurusan. Kukucek mata dan mengerjapkannya beberapa kali.Iya, benar. Ia memang kurus. Apa diet? Sepertinya. Mungkin teguranku seminggu yang lalu itu manjur, kena di hatinya, makanya dia memutuskan untuk diet. Syukurlah. "Din, kamu diet?" Andin diam seperti tidak mendengar."Din …!" Kupanggil ulang. "Hah?" Ia melongo seolah baru dengar. Bisa-bisanya melamun di saat aku mengajaknya bicara. "Kamu diet? Abang lihat badanmu agak kurusan." Bibirnya terbuka ingin mengucapkan sesuatu, tapi gegas kupotong. "Syukurlah, setidaknya uang belanja tidak akan berkurang banyak karena kebiasaanmu yang jajan di luar. Ibu sering bilang kamu selalu memanggil penjual makanan yang lewat di depan rumah kita.""Berhematlah sedikit, Din. Ibu benar menyuruhku mengurangi jatah bulananmu. Setidaknya kamu nggak boros lagi. Uang bulan lalu masih ada sisa kan?" imbuhku melanjutkan. Andin terdiam. Ia terpaku memandangku tanpa berkedip, kuharap apa yang barusan kuucapkan masuk ke telinga kiri dan langsung terkirim ke otaknya untuk direnungkan."Hei, kok bengong?" Kujentikkan tangan di depan wajahnya, baru ia mengerjap. Kugelengkan kepala dengan sedikit. Kesal. "Ya sudah, Abang pergi kerja dulu nggak sarapan, takut telat," ucapku pamit setelah tidak ada sahutan apapun darinya. Kulangkahkan kaki berjalan menuju pintu, baru beberapa langkah kutolehkan kepala ke arahnya. Dia hanya diam memandangku datar. Tanpa suara, tanpa senyuman. Ia bahkan lupa mencium tanganku seperti biasanya, ritual saat kupamit kerja. Ada apa dengan istriku? Dia terlihat aneh. Sebenarnya dari seminggu yang lalu sudah tampak perubahan darinya. Namun kali ini sikapnya beda, lebih dingin, sedingin es kutub Utara. Tidak seperti biasanya cerewet dan berbicara banyak hal kepadaku.Apa mungkin yang kuucapkan seminggu lalu itu keterlaluan?*** "Dek, bisa nggak badanmu itu dikurusin? Capek aku, dijadikan bahan tertawaan keluarga kalau lagi ngumpul. Kamu dijuluki gendut lah, kulkas dua pintu, gajah bengkak. Lama-lama aku malu kalau hadir di acara keluarga. Belum lagi tetangga dan teman kantor Abang bilang istrinya Jaka gendut." "Abang malu, memangnya kamu nggak malu apa dibilang begitu?" imbuhku lagi menyinggungnya. Andin diam. Gestur tubuh dan ekspresinya datar saja. Tidak ada keterkejutan atau sangkalan darinya. "Din?" panggilku. "Oh …, Abang malu?" Ia tersenyum tipis sembari tangannya sibuk melipat pakaian. "Tentu saja malu, Din. Orang-orang memanggil kamu begitu dan Abang terkena imbasnya juga. Seluruh orang memanggil Abang--Jaka suaminya si Andin gendut," jawabku mengeluh. "Mau gimana lagi Bang emang bentukannya kayak gini, disyukuri aja. Yang penting istrimu ini sehat," sahutnya berkilah tampak santai menyahutku. "Nggak, pokoknya kamu harus kurus. Kalau nggak, Abang akan cari istri yang kurus dan lebih cantik darimu." Andin melongo mendengar ancamanku barusan tapi tak kupedulikan. "Sabtu ini kamu nggak perlu hadir di acara arisan keluarga. Biar Abang wakilin. Kurusin dulu badan bengkak itu baru boleh pergi," ancamku memperingatkannya lagi. Padahal sengaja karena aku berencana hadir membawa orang lain, bukan dia. *** "Jak, kamu kenapa? Kok makannya melamun gitu? Masakannya nggak enak, ya?" Ibu bertanya dengan netra menelisik. "Enak, kok, Bu," jawabku dengan tersenyum tipis menatapnya. "Kalau enak kenapa makannya malas-malasan, Mas?" Erika ikut bersuara. Nada bicaranya terdengar kesal. "Enak, kok," jawabku sembari memasukkan makanan ke dalam mulut dengan lahap. "Kamu ada masalah sama Andin? Dia kenapa? Sakit?" "Ibu tahu Andin sakit?" tanyaku terkejut. Jangan-jangan Andin memang sakit. Makanya dia terlihat lebih kurus. Entah kenapa aku jadi kepikiran Andin. "Seminggu yang lalu kan Ibu ada datang ke sana, minta dijahitkan baju. Badannya agak kurusan kayak orang sakit. Waktu Ibu tanya, katanya magh-nya kambuh." "Kok Andin nggak ada cerita ya? Biasanya dia paling susah nahan sakit dan memaksaku membelikannya obat. "Mas, kok bengong? Pasti mikirin Andin, ya?" Erika tampak merajuk. Wajahnya cemberut. Ibu mengkodeku supaya membujuk Erika. "Ini kamu yang masak? Enak. Mas habisin ya," pujiku berbohong berusaha membuatnya senang. Senyum Erika kembali merekah."Kapan kamu ceraikan Andin, Ibu sudah eneg lihat mukanya. Kemarin saja dia sudah berani menolak menjahitkan baju Ibu. Pake alasan sakit magh. Nggak perlu nunggu lama, menantu nggak guna dan memalukan itu secepatnya saja dicerai." Kuhembuskan napas pelan menanggapi perkataan Ibu barusan. Berat rasanya menceraikan Andin. Selama ini walaupun cerewet dan gendut, ia adalah istri yang baik, pengertian dan penurut. Masalah utama kami hanyalah soal anak. Sampai sekarang di usia pernikahan yang ketiga, Andin belum juga hamil. Sudah segala hal kami lakukan. Bahkan mungkin karena pengaruh suntik, obat dan sebagainya itulah yang membuatnya jadi gendut seperti sekarang. Aku tidak jadi menginap di rumah Ibu. Padahal sudah kukirim pesan pada Andin tidak akan pulang karena alasan lembur, tapi setelah mendengar cerita Ibu, perasaanku jadi tidak enak. Kuputuskan pulang cepat untuk memastikan Andin dalam keadaan baik-baik saja. *** Kutekan bel berulang kali tapi belum juga terdengar derap langkah kaki Andin ke depan pintu. Bahkan kupanggil namanya pun masih tidak ada sahutan. Aku ingat membawa kunci cadangan. Dengan kunci cadangan itu, pintu berhasil dibuka. Kaget. Saat pintu kubuka, di dalam keadaannya gelap, tapi lampu teras menyala. Aneh, apa lampu di dalam yang rusak? Tambah kaget setelah kutekan saklar di dinding, lampunya menyala. Artinya Andin yang lupa menghidupkan lampu di dalam rumah ini, tapi dimana dia? Kenapa main gelap-gelapan?Kupanggil dari tadi tidak ada sahutan darinya. Bahkan di kamar pun tidak kutemukan keberadaannya. Lampu kamar juga dalam keadaan mati. Ini sangat aneh. Aku duduk di tepi ranjang mengambil ponsel dan segera menghubunginya. Nomornya tidak aktif. Ponselnya mati? Ini makin tidak masuk diakal. Berulang kali mencoba menghubungi, tetap tidak bisa. Kemana dia pergi? Apa terjadi sesuatu padanya?Saat ingin beranjak pergi mataku tidak sengaja melihat sebuah kotak persegi dengan kertas kecil diatasnya. Terletak di atas nakas. Aku terpaku, apa itu? Kenapa baru sadar ada benda itu di sana? Untuk Bang Jaka. Di kertas kecil tersebut tertulis seperti itu. Apa ini kado dari Andin? Sudut bibirku tertarik ke atas. Sepertinya, Andin ingin memberikan sebuah kejutan, tapi bukankah sekarang bukan hari ulang tahunku? Jadi ini untuk apa?Kado ini sangat ringan saat kuangkat. Apa isinya, hingga tidak terasa berat. Penasaran segera kubuka kado tersebut. Mataku memicing saat melihatnya. Kosong. Hanya ada selembar kertas dengan tulisan tangan Andin. Ini pasti surat untukku. Tunggu, kukira kosong, ternyata ada benda lain. Seketika mataku melebar melihatnya. Bukankah ini testpack? Benda ini pernah kubeli di supermarket untuk mengecek kehamilan Erika. Untuk apa Andin memberikanku testpack dengan dua garis merah? Apa jangan-jangan ….Aku tidak menjawab permintaan Ibu untuk melepaskan Andin. Sulit untuk menjawab iya. Nyatanya hati ini masih menginginkannya. Hubunganku dengan Ibu sedikit renggang. Bukan maksud menjauhinya. Hanya sedikit menjaga jarak, dengan tidak mengajaknya banyak bicara, seperti yang biasanya kami lakukan. Aku tidak mungkin memusuhinya. Bagaimanapun ia orang yang paling berarti dalam hidupku. Diam-diam aku mengikuti Andin. Namun sayangnya ia lebih sering beraktivitas di dalam rumah. Dari cerita Ibu memang Andin menjadikan sebuah ruangan untuk tempat bisnisnya, dan memang berkembang pesat. Kuakui jiwa bisnis Andin dari dulu memang tinggi. Teknik marketing yang ia kuasai sangat menunjang usaha bisnis yang sedang ia geluti sekarang. *** "Abang tahu kenapa kuajak bertemu di luar?" Andin tiba-tiba menghubungiku untuk meminta bertemu. Aku senang, tapi di satu sisi juga tak tenang kenapa harus di luar? Kenapa tidak dibicarakan di rumahnya saja, karena aku akan kesana bersama Ibu pada hari ini, yai
"Namanya Albiru Fauzan. Umur 32 tahun." Aku tidak begitu mendengarkan apa yang dikatakan Karyo, orang suruhanku untuk memata-matai lelaki yang bernama Al. Yang kuingat nama lengkapnya saja. Albiru Fauzan. "Pak!" "Pak!" panggil Karyo membuyarkan lamunanku. "Ya," jawabku terkaget. "Bapak dengar saya kan?" tanyanya menyelidik, menatapku lekat."I--iya. Saya dengar. Lalu apa lagi?" Kuletakkan kembali gelas kopi yang sudah kosong. Kami melakukan pertemuan di sudut cafe, di pinggir jalan. "Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal sejak setahun yang lalu." Karyo melanjutkan ceritanya. "Mempunyai tiga tempat gym dan satu kantor." "Kantor? Kantor apa?" Keningku mengerut mendengarnya. Ternyata banyak juga bisnis yang ia geluti. Salut, semuda ini dia sudah mempunyai banyak usaha. Bisa jadi karena bantuan orang tua. "Oh, itu Pak Jaka. Kantor yang khusus untuk bertemu klien atau apa ya …." Karyo tampak berpikir. "Sudahlah, tidak penting. Terus apa lagi?" selaku memotong ucapannya. Rasa
Astaga … aku baru ingat kalau laki-laki itu adalah orang yang bertengkar denganku di depan rumah Lola. Sebenarnya bukan bertengkar, hanya saja waktu itu aku tidak suka dia ikut campur dan sok mengurusi urusan kami, hingga Lola merasa benar waktu itu dan memojokkanku di hadapan warga sana. Waktu itu dia ngaku tetangganya Lola? Kalau dia memang tetangga Lola, tapi kenapa bisa akrab dengan Andin? Apa jangan-jangan …. Dengan cepat kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan menekan nomor Lola. "Lol, siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Andin?" Aku sampai lupa mengucap salam ketika panggilanku disambut olehnya di seberang sana. Bukan jawaban yang kudapat malah tawa terbahaknya yang ia semburkan. Sialan, dia paling suka mengejekku. "Puas!" serangku ketika tawanya mereda.Lola masih terkekeh kecil di ujung sana. "Lagian kamu menelepon langsung bertanya seperti itu, ya aku tertawa jadinya," jawabnya tidak mau disalahkan. "Seperti itu apanya?" tanyaku tidak paham maksud pertan
"An, aku pulang dulu," ucapnya memandangi wajah Andin dengan seulas senyum tipis. Ada yang berbeda dari tampilan Andin. Badannya lebih kurus dari sebelumnya dan dia semakin cantik walau tanpa polesan make up. Sudah lama tidak ketemu membuatku sedikit pangling melihatnya. "Iya Mas, hati-hati ya, dan terima kasih hadiahnya untuk Ghaffar dan Ghani," balas Andin. Ghaffar dan Ghani adalah nama kedua anak kembarku. Siapa laki-laki itu dan apa hubungannya dengan Andin? Aku dan Ibu masih terpaku di depan rumahnya. Andin sama sekali belum menyapa kami. Genggaman tangan Ibu begitu erat di lenganku. Kucoba mengusapnya sebagai upaya menenangkan. "Masuklah!" titah Andin tanpa senyum setelah lelaki itu pergi. Aku dan Ibu masuk dengan ragu. Kami berjalan beriringan dengan Andin yang memimpin di depan. Rangkulan tangan Ibu belum lepas dari lenganku. "Duduklah, saya ke kamar dulu menjemput Ghaffar dan Ghani. Mau minum apa?" Aku dan Ibu saling pandang. "Air putih saja," ucapku diaminkan Ibu de
Lagi aku membujuknya berharap sangat ia mau membantu. Hanya Lola harapanku satu-satunya. "Iya, tunggu saja kabar baik dariku. Kali ini kucoba percaya. Sudah ya, kututup." Lola mematikan teleponnya lebih dulu, obrolan kami pun berakhir. *** Hari ini Ibu sudah bisa pulang. Wajah Ibu masih pucat khas orang sakit. Ini pun terpaksa membawa pulang atas permintaannya. Bujukan untuk memaksanya tetap tinggal sehari lagi, sesuai rekomen dokter ditolaknya dengan alasan sudah bosan. "Jangankan Ibu, Jaka pun sama Bu, bosan ke rumah sakit terus. Bolak-balik kantor, rumah sakit, tapi kalau pulang sekarang, lalu Ibu sakit lagi gimana? Itu malah memperpanjang masa Ibu dirawat di sini." "Kamu sudah bosan ya urus Ibu? Iya, Ibu bisanya nyusahin kamu saja, sudah hancurin rumah tang--" "Hussstttt! Bukan itu, Bu. Bukan salah Ibu, tapi Jaka. Kalau Jaka bisa teguh sama prinsip Jaka, mau dibujuk bagaimanapun harusnya nggak akan goyah. Jadi stop menyalahkan diri sendiri. Ibu juga salah paham, Jaka nggak
Ibu dimasukkan ke IGD, dan sekarang dalam penanganan dokter. Aku terduduk lemas di kursi depan ruangan, menunggu dengan harap cemas. Ada penyesalan yang teramat dalam, karena ulahku Ibu sampai begini. Seharusnya tidak perlu kutanyakan pertanyaan yang bakal menyakiti hatinya, membuka tabir pesakitannya. "Bagaimana keadaan Ibu saya, dok?" Kuhampiri dengan cepat saat pintu ruangan UGD terbuka. Tampak seorang dokter keluar dari sana. "Anda anaknya Bu Menik?" Kuanggukkan kepala. "Syukur Ibu Menik cepat dibawa kemari. Kalau terlambat sedikit saja maka …." Dokter di depanku menggelengkan kepala dengan membuang napas pelan. "Lalu bagaimana kondisinya, dok?" ulangku karena ingin memastikan keadaannya, kuharap Ibu baik-baik saja. "Alhamdulillah masih bisa diselamatkan, tapi beliau masih dalam pantauan. Kita lihat perkembangannya. Kalau sudah membaik, maka bisa kita pindahkan segera ke ruang perawatan." Aku bernapas lega mendengarnya. Syukurlah Ibu tertolong. Aku tidak boleh ceroboh dan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments