Share

Bertemu Ipar

Jantungku berdegup kencang saat melihat sebuah mobil berhenti di halaman. Tidak lama kemudian kendaraan roda empat berwarna silver itu terbuka persamaan dengan keluarnya sang pemilik yaitu Mas Akbar, Mbak Nirma serta seorang gadis kecil berusia kira-kira 5 tahun yang menggelayut manja di lengan sang ibu.

Menyusul di belakangnya sebuah mobil berwarna putih dan itu adalah mobil Mbak Divya bersama keluarga kecilnya.

Mereka adalah pasangan yang keluarga yang bahagia dan cukup secara materi.

Aku yang sedang mengamatinya dari dalam rumah di balik kaca jendela hanya menghela napas panjang. Di antara kami hanya Mas Ramzi yang belum memiliki mobil. Entah kapan kami bisa memilikinya.

Seketika rumah Ibu jadi heboh. Rupanya Bu Mila sudah menunggu kedatangan anak-anaknya itu. Momen seperti memang sudah dinantikan sejak lama. Para anak yang sudah memiliki keluarga masing-masing itu tentu jarang mengunjungi ibunya.

"Mas Akbar dan Mbak Mbak Divya sudah datang, ya?" tanya Mas Ramzi. Suamiku itu baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah. Aroma sabun serta sampo menguar dari tubuhnya.

"Iya, Mas." Aku mengulas senyum. Kuraba dadaku yang mendadak tidak karuan. Jantungku berdegup kencang.

"Kenapa masih di situ?" tanya Mas Ramzi. "Ayo kita ke rumah ibu. Sambut kakak-kakakku. Aku juga sudah kangen mereka," ujarnya seraya meletakkan handuk biru di tembok yang sudah ditempelkan paku.

"A--aku?" Aku meringis dan menggigit bibir bawah. Jujur aku belum siap untuk bertemu dengan mereka. Apalagi saat melihat aku dan mereka yang bak langit dengan bumi. Bagaimana jika para kakak ipar itu tidak mau bicara denganku. Bagaimana jika aku hanya dianggap angin lalu dan bukan bagian dari mereka?

Bagaimana jika di sana aku hanya menjadi bahan perbandingan? Seperti ibu kandungku yang selalu membandingkan aku dengan Mbak Ulfa. Pun dengan kakak perempuanku yang tidak mau menyapaku setelah ia mendapat suami kaya.

"Mas aja yang menemui mereka, ya!" ujarku sambil berdiri lalu mengambil sapu. Sengaja menyibukkan diri padahal lantai sudah bersih.

Aku melirik Mas Ramzi yang menghela napas berat melihatku yang bertingkah aneh.

Mas Ramzi mengambil alih sapu dari tanganku lalu mengembalikan ke tempat semula. "Ines, mereka itu kakakku artinya kakak kamu juga. Nggak pantas lah kalau kamu sampai nggak mau menemui mereka?"

Bukannya aku nggak mau menemui dan menyambut para kakak ipar itu, tetapi aku minder. Sungguh.

Aku menggeleng lemah.

"Mau aku gendong biar kamu mau kesana?" Mas Ramzi mendekat dan mengambil ancang-ancang siap mengangkat tubuhku.

"Ih, apaan kamu, Mas? Aku bisa jalan sendiri." Aku menepis tangannya.

"Ya udah. Ayo!"

"Harus, ya?"

"Wajib."

"Baiklah aku mandi dulu kalau begitu."

"Eh, bukannya tadi udah?" tanya Mas Ramzi dengan dahi berkerut.

"Lagi."

Aku berdiri di depan cermin setelah berganti pakaian terbagus yang kupunya. Berulang kali aku cium badanku sendiri untuk memastikan tidak bau. Tidak lupa meletakkan telapak tangan di depan mulut lalu menghembuskan napas dan menciumnya. Lega saat napasku terasa segar dan wangi. Kalau sudah begini aku sekarang percaya diri.

Kuhela napas berat. Ya Allah, begini amat mau bertemu kakak ipar.

Langkahku terasa berat saat kaki ini mulai memasuki rumah ibu. Terdengar suara riuh di dalam. Mereka sedang menumpahkan rasa rindu pada orang tersayang.

Keringat dingin mulai membasahi tubuhku saat tangan Mas Ramzi menyentuh pegangan pintu. Aku gemetar, aku takut.

"Cie, pengantin baru. Sampai nggak mau pisah. Nempel terus kayak perangko," kata Mbak Divya begitu kami berdua muncul.

Pipiku menghangat karena malu. Aku baru sadar kalau dari tadi terus menempel di lengan Mas Ramzi.

Perasaanku buncah saat Mas Akbar dan Mas Faris--suami Mbak Divya memeluk Mas Ramzi secara bergantian. Betapa hangatnya keluarga ini.

"Salim sama Tante Ines dan Om Ramzi." Suruh Mbak Divya pada anak kecil di pangkuannya.

Bocah kecil berambut panjang yang diikat itu mengulurkan tangan dan meraih tanganku lalu menciumnya dengan takzim. Lalu bergantian dengan gadis kecil yang lain. Iya, masing-masing dari mereka sudah punya seorang anak, dan semuanya perempuan. Setelah mencium tanganku, lalu melakukan hal yang sama dengan Mas Ramzi.

Oh, bahkan para kakak ipar bahkan mengajarkan anak-anak memanggilku Tante. Terharu sekali aku.

Aku ingin menangis. Ponakanku--anak Mbak Ulfa tidak pernah mau menyalamiku bila datang, apalagi mencium sebagai bentuk rasa hormat dari yang muda kepada yang lebih tua. Kakak kandungku itu melarangku untuk menyentuhnya.

Entah bagaimana cara Mbak Nirma dan Mbak Divya dalam mendidik anak-anak sehingga mereka begitu manis dan sopan.

Aku kaget saat Mbak Nirma menarik tanganku yang berlanjut dengan cipika-cipiki lalu memelukku erat. Mataku terasa berat, aku yang tadinya ragu untuk mengulurkan tangan karena takut mendapat penolakan, tetapi malah mendapat pelukan hangat dari kakak ipar.

Bukan hanya Mbak Nirma, Mbak Divya juga melakukan hal yang sama. Kakak Mas Ramzi itu berbisik saat dalam pelukanku. "Terima kasih, ya, Nes, sudah mau menjadi bagian dari keluarga ini. Terima kasih sudah menemani ibuku."

Ya Allah, air mataku tidak dapat kutahan lagi. Aku terharu begitu dihargai di keluarga ini.

"Kita foto-foto, yuk, mumpung kumpul semua," kata Mbak Nirma seraya mengeluarkan ponselnya.

"Ayuk!"

"Eh, tetapi ada yang kurang. Nella nggak ada,"

"Nggak apa-apa. Nanti biar dia nyusul,"

Lalu mereka bersiap berfoto dengan berjejer dan Mas Akbar bertindak sebagai fotografer.

"Aku ke belakang dulu, ya," ucapku canggung. Aku malu jika harus foto bareng mereka.

Akan tetapi Mbak Divya menahan tanganku dan mengajakku bergabung untuk foto bersama mereka.

Bulir bening ini tidak dapat kutahan lagi saat melihat status WA Mbak Divya yang berupa foto dengan keterangan 'Harta yang paling berharga adalah keluarga' di dalam foto itu ada aku dan juga Mas Ramzi.

Mereka benar-benar sudah menganggapku sebagai keluarga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status