Share

Bertemu Ipar

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2023-02-03 17:02:26

Jantungku berdegup kencang saat melihat sebuah mobil berhenti di halaman. Tidak lama kemudian kendaraan roda empat berwarna silver itu terbuka persamaan dengan keluarnya sang pemilik yaitu Mas Akbar, Mbak Nirma serta seorang gadis kecil berusia kira-kira 5 tahun yang menggelayut manja di lengan sang ibu.

Menyusul di belakangnya sebuah mobil berwarna putih dan itu adalah mobil Mbak Divya bersama keluarga kecilnya.

Mereka adalah pasangan yang keluarga yang bahagia dan cukup secara materi.

Aku yang sedang mengamatinya dari dalam rumah di balik kaca jendela hanya menghela napas panjang. Di antara kami hanya Mas Ramzi yang belum memiliki mobil. Entah kapan kami bisa memilikinya.

Seketika rumah Ibu jadi heboh. Rupanya Bu Mila sudah menunggu kedatangan anak-anaknya itu. Momen seperti memang sudah dinantikan sejak lama. Para anak yang sudah memiliki keluarga masing-masing itu tentu jarang mengunjungi ibunya.

"Mas Akbar dan Mbak Mbak Divya sudah datang, ya?" tanya Mas Ramzi. Suamiku itu baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah. Aroma sabun serta sampo menguar dari tubuhnya.

"Iya, Mas." Aku mengulas senyum. Kuraba dadaku yang mendadak tidak karuan. Jantungku berdegup kencang.

"Kenapa masih di situ?" tanya Mas Ramzi. "Ayo kita ke rumah ibu. Sambut kakak-kakakku. Aku juga sudah kangen mereka," ujarnya seraya meletakkan handuk biru di tembok yang sudah ditempelkan paku.

"A--aku?" Aku meringis dan menggigit bibir bawah. Jujur aku belum siap untuk bertemu dengan mereka. Apalagi saat melihat aku dan mereka yang bak langit dengan bumi. Bagaimana jika para kakak ipar itu tidak mau bicara denganku. Bagaimana jika aku hanya dianggap angin lalu dan bukan bagian dari mereka?

Bagaimana jika di sana aku hanya menjadi bahan perbandingan? Seperti ibu kandungku yang selalu membandingkan aku dengan Mbak Ulfa. Pun dengan kakak perempuanku yang tidak mau menyapaku setelah ia mendapat suami kaya.

"Mas aja yang menemui mereka, ya!" ujarku sambil berdiri lalu mengambil sapu. Sengaja menyibukkan diri padahal lantai sudah bersih.

Aku melirik Mas Ramzi yang menghela napas berat melihatku yang bertingkah aneh.

Mas Ramzi mengambil alih sapu dari tanganku lalu mengembalikan ke tempat semula. "Ines, mereka itu kakakku artinya kakak kamu juga. Nggak pantas lah kalau kamu sampai nggak mau menemui mereka?"

Bukannya aku nggak mau menemui dan menyambut para kakak ipar itu, tetapi aku minder. Sungguh.

Aku menggeleng lemah.

"Mau aku gendong biar kamu mau kesana?" Mas Ramzi mendekat dan mengambil ancang-ancang siap mengangkat tubuhku.

"Ih, apaan kamu, Mas? Aku bisa jalan sendiri." Aku menepis tangannya.

"Ya udah. Ayo!"

"Harus, ya?"

"Wajib."

"Baiklah aku mandi dulu kalau begitu."

"Eh, bukannya tadi udah?" tanya Mas Ramzi dengan dahi berkerut.

"Lagi."

Aku berdiri di depan cermin setelah berganti pakaian terbagus yang kupunya. Berulang kali aku cium badanku sendiri untuk memastikan tidak bau. Tidak lupa meletakkan telapak tangan di depan mulut lalu menghembuskan napas dan menciumnya. Lega saat napasku terasa segar dan wangi. Kalau sudah begini aku sekarang percaya diri.

Kuhela napas berat. Ya Allah, begini amat mau bertemu kakak ipar.

Langkahku terasa berat saat kaki ini mulai memasuki rumah ibu. Terdengar suara riuh di dalam. Mereka sedang menumpahkan rasa rindu pada orang tersayang.

Keringat dingin mulai membasahi tubuhku saat tangan Mas Ramzi menyentuh pegangan pintu. Aku gemetar, aku takut.

"Cie, pengantin baru. Sampai nggak mau pisah. Nempel terus kayak perangko," kata Mbak Divya begitu kami berdua muncul.

Pipiku menghangat karena malu. Aku baru sadar kalau dari tadi terus menempel di lengan Mas Ramzi.

Perasaanku buncah saat Mas Akbar dan Mas Faris--suami Mbak Divya memeluk Mas Ramzi secara bergantian. Betapa hangatnya keluarga ini.

"Salim sama Tante Ines dan Om Ramzi." Suruh Mbak Divya pada anak kecil di pangkuannya.

Bocah kecil berambut panjang yang diikat itu mengulurkan tangan dan meraih tanganku lalu menciumnya dengan takzim. Lalu bergantian dengan gadis kecil yang lain. Iya, masing-masing dari mereka sudah punya seorang anak, dan semuanya perempuan. Setelah mencium tanganku, lalu melakukan hal yang sama dengan Mas Ramzi.

Oh, bahkan para kakak ipar bahkan mengajarkan anak-anak memanggilku Tante. Terharu sekali aku.

Aku ingin menangis. Ponakanku--anak Mbak Ulfa tidak pernah mau menyalamiku bila datang, apalagi mencium sebagai bentuk rasa hormat dari yang muda kepada yang lebih tua. Kakak kandungku itu melarangku untuk menyentuhnya.

Entah bagaimana cara Mbak Nirma dan Mbak Divya dalam mendidik anak-anak sehingga mereka begitu manis dan sopan.

Aku kaget saat Mbak Nirma menarik tanganku yang berlanjut dengan cipika-cipiki lalu memelukku erat. Mataku terasa berat, aku yang tadinya ragu untuk mengulurkan tangan karena takut mendapat penolakan, tetapi malah mendapat pelukan hangat dari kakak ipar.

Bukan hanya Mbak Nirma, Mbak Divya juga melakukan hal yang sama. Kakak Mas Ramzi itu berbisik saat dalam pelukanku. "Terima kasih, ya, Nes, sudah mau menjadi bagian dari keluarga ini. Terima kasih sudah menemani ibuku."

Ya Allah, air mataku tidak dapat kutahan lagi. Aku terharu begitu dihargai di keluarga ini.

"Kita foto-foto, yuk, mumpung kumpul semua," kata Mbak Nirma seraya mengeluarkan ponselnya.

"Ayuk!"

"Eh, tetapi ada yang kurang. Nella nggak ada,"

"Nggak apa-apa. Nanti biar dia nyusul,"

Lalu mereka bersiap berfoto dengan berjejer dan Mas Akbar bertindak sebagai fotografer.

"Aku ke belakang dulu, ya," ucapku canggung. Aku malu jika harus foto bareng mereka.

Akan tetapi Mbak Divya menahan tanganku dan mengajakku bergabung untuk foto bersama mereka.

Bulir bening ini tidak dapat kutahan lagi saat melihat status WA Mbak Divya yang berupa foto dengan keterangan 'Harta yang paling berharga adalah keluarga' di dalam foto itu ada aku dan juga Mas Ramzi.

Mereka benar-benar sudah menganggapku sebagai keluarga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kado untuk Ibu Mertua   Akhir dari Semuanya

    Ririn mundur beberapa langkah hingga menyentuh tembok. Tatapan matanya tidak berkedip melihat Candra yang menatapnya seolah hendak menelannya bulat-bulat. "Ayolah, Rin. Selama dua tahun ini aku sudah begitu sabar menunggumu untuk bisa kusentuh. Kita ini suami istri, tetapi kenapa aku tidak pernah mendapatkan hakku? Kesabaran seorang lelaki ada batasnya. Aku seorang lelaki normal yang tidak akan sanggup menahan hasrat yang bergejolak ini," kata Candra dengan tatapan memelas. Brak! Pintu terbuka lebar bersamaan dengan masuknya Yani--ibunya Candra. "Apa maksudmu, Ndra?" "Ibu?" Ririn dan Candra berbarengan. "Apa maksudmu tidak pernah menyentuh Ririn? Pernikahan macam apa ini?" tanya Yani dengan nada tinggi. Mau tidak mau Candra bercerita pada ibunya kalau selama menikah dengan Ririn, ia sama sekali tidak pernah merasakan indahnya surga dunia. Ririn selalu menolak saat diajak melakukan hubungan suami istri. Bahkan, selama ini mereka tidak pernah tidur dalam satu ranjang. Candra tidu

  • Kado untuk Ibu Mertua   Terima kasih

    "Romi, bolehkah aku kembali padamu?" kata Indy dengan mulut bergetar. Romi mengurai rangkulannya pada Ulfa lalu menatap tajam Indy yang berusaha tersenyum semanis mungkin. "Apa? Ingin kembali?" Indy mengangguk. "Iya, boleh kan? Aku yakin tidak mudah bagimu melupakan diriku yang sangat cantik ini. Bukankah kamu dulu begitu tergila-gila padaku?" Romi tertawa sumbang. "Romi yang dulu bukanlah yang sekarang. Kalau dulu dia suka main dengan banyak wanita, sekarang tidak lagi. Sekarang hanya ada satu wanita yang aku cintai di dunia ini yaitu Maria Ulfa." Indy melengos ketika Romi menatap Ulfa penuh cinta lalu mencium keningnya. "Jadi, kamu nolak aku?" tanya Indy dengan nada tinggi. "Hal seperti ini tidak usah ditanyakan lagi. Jawabannya sudah pasti. Sekarang silakan kamu pergi dari sini dan biarkan aku hidup tenang bersama istriku tercinta." Romi menatap Ulfa dan mengedipkan mata. Ia merasa dari hari ke hari rasa cinta pada wanita yang dulu pernah disia-siakannya itu semakin bertamba

  • Kado untuk Ibu Mertua   Dia Datang Kembali

    "Kau tahu kenapa aku sangat ingin mendonorkan sebagian hatiku ini untukmu?" tanya Ulfa setelah mereka pulang dari rumah sakit seminggu kemudian dan saat ini mereka berada di rumah Ines. Ines tersenyum. "Kenapa?" Ines mengambil air putih dan menyesapnya. "Sampai saat ini aku masih mencintai Ramzi dan dengan adanya sebagian hati di tubuhmu itu aku harap secuil hati itu bisa mendapatkan cinta dari orang yang aku cintai." Ines melotot, tetapi Ulfa malah tertawa. "Enggak, Nes. Aku bercanda. Sebenarnya yang mau mendonorkan hati untukmu itu adalah Ibu, tetapi setelah diperiksa dokter ternyata kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. Saat dalam pemeriksaan tensi darah Ibu drop sementara untuk menjadi pendonor harus dalam keadaan prima. Lagi pula usia Ibu yang sudah 56 tahun sudah tidak diperbolehkan menjadi pendonor karena maksimal berusia 55." "Iya, Nes. Waktu itu Ibu berniat memberikan secuil hati ini untukmu, tetapi Ibu tidak memenuhi syarat untuk menjadi pendonor. Maafkan Ibu." Murni

  • Kado untuk Ibu Mertua   Sembuhlah, Adikku

    "Astagfirullah."Dunia Ramzi dan Ines seakan berhenti berputar saat mendengar pendengar penjelasan dokter bahwa organ hati Ines bermasalah. Ines memang sudah lama merasa badannya kurang sehat, tetapi ia berpikir mungkin itu efek dari sering begadang karena punya bayi. Ia juga sering mual dan muntah, tetapi ia tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Ramzi memejamkan mata. Belakangan ini, ia merasa nafas Ines sangat bau tidak seperti biasanya. Lelaki itu ingin mengatakan pada sang istri akan hal itu, tetapi ia takut wanita yang sangat ia cintai itu tersinggung. Iya, siapa yang tidak malu dan tersinggung jika disebut mulutnya bau padahal baru saja gosok gigi. Tidak tahunya itu adalah salah satu tanda jika organ hatinya bermasalah. Ines juga merasa tubuhnya semakin kurus. Hal itu ia rasakan saat celana maupun rok yang biasanya pas atau ketat, kini terasa longgar, tetapi wanita itu menganggap hal itu biasa terjadi karena ia sedang menyusui. Nanti kalau Alifa sudah berhen

  • Kado untuk Ibu Mertua   Ines Sakit?

    "Ibu bilang juga apa, Ul?" Murni mengusap pundak Ulfa dengan lembut. "Buang jauh-jauh rasa benci yang menumpuk dalam hatimu itu. Hidup rukun bersama saudara itu lebih menyenangkan." Saat ini mereka sedang berada di rumah sakit menunggu Ramzi yang sedang diperiksa dokter. Lelaki yang sudah menyelamatkan Zanna itu perlu dilakukan rontgen karena ia mendapat pukulan di bagian perut berulang kali. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika Ramzi sampai kenapa-napa. Dia menjadi begini karena aku lalai sebagai orang tua dalam menjaga anak." Romi mengacak rambut frustrasi. Ia tatap kakinya yang hanya tinggal sebelah sehingga membuat ia sulit bergerak. "Doakan saja semoga Ramzi tidak apa-apa," kata Murni. "Iya, Bu. Semoga dia baik-baik saja." Romi tergugu membayangkan Ramzi yang berjuang sendiri melawan penjahat itu. Pukulan demi pukulan ia dapatkan, sementara ia sendiri tidak bisa melakukan apa pun. Semua orang bernapas lega saat hasil rontgen keluar dan Ramzi dinyatakan baik-baik saja

  • Kado untuk Ibu Mertua   Kita adalah Keluarga

    Ines tersenyum sendiri melihat status WA kakaknya. Dalam diam, dia bersyukur akhirnya Ulfa mendapat kebahagiaan dengan caranya sendiri. Tiba-tiba terbersit dalam benaknya untuk datang berkunjung ke rumah Ulfa.Semenjak Ulfa menikah, sekali pun ia belum pernah berkunjung ke rumahnya karena selalu dilarang dengan alasan tidak level menerima tamu seperti Ines, tetapi sekarang Ines yakin, kakaknya itu pasti akan memberi izin.Untungnya Ramzi tidak keberatan diajak ke rumah kakak ipar. Mereka berdua telah sampai di sebuah rumah megah berlantai dua dengan halaman luas dan terlihat asri dengan tanaman rumput jepang. Ulfa yang sedang memasak, gegas mematikan kompor begitu mendengar pintu depan ada yang mengetuk. Wanita itu mengintip dari balik jendela siapa yang datang. Ia memekik saat melihat Ines dan Ramzi sudah berdiri di depan rumahnya. Dengan bibir mengerucut, wanita yang saat ini sedang hamil muda itu membuka sedikit daun pintu dan melongokkan kepala. "Mau ngapain kalian ke sini?"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status