Share

Dukungan

Auteur: Siti Aisyah
last update Dernière mise à jour: 2023-02-03 17:03:37

Matahari sudah mulai bergerak ke arah barat. Terdengar deru sepeda motor dari arah depan. Seorang gadis berjilbab merah turun dari kendaraan roda dua berwarna biru itu.

"Ibu?" Setelah membuka helm, gadis itu berteriak dan berlari lalu menuburuk ibu mertua yang sudah menghadangnya di depan pintu.

Ada rasa yang aneh menjalar di hati kala melihat pertemuan antara ibu dan anak yang begitu mengharukan itu. Aku dan ibu kandungku tidak pernah sampai berpelukan meski sudah lama tidak bertemu.

Setelah melepas rasa rindu yang membuncah pada sang ibu, Nella menyalami dan mencium tangan dengan takzim para kakaknya secara bergantian. Denganku juga tidak ketinggalan.

Sejak aku tinggal di sini, ini untuk pertama kalinya Nella pulang. Dia duduk di bangku SMA kelas tiga dan tinggal di kost-an. Saat ini jarang pulang karena sedang persiapan ujian kelulusan.

Suasana di rumah ibu semakin ramai setelah ada Nella. Gadis itu ternyata juga sangat menyenangkan.

"Kata Ibu, kamu dan Ramzi jualan bakso, ya?" tanya Mbak Divya.

Kuhentikan gerakan tanganku yang sedang mengumpulkan piring dan gelas kotor lalu menatap wanita yang juga melakukan hal yang sama denganku itu. "Iya, Mbak."

Kepalaku terasa berat untuk mengangguk. Aku malu untuk mengakuinya, tetapi mau bagaimana lagi, pada kenyataanya memang hanya itu sumber penghasilan kami.

Aku sudah menyiapkan telinga untuk mendengar ucapan Mbak Divya yang meremehkan mata pencaharian kami. Seperti yang diucapkan Mbak Ulfa saat pertama kali kuberi tahu kalau aku dan Mas Ramzi mulai berjualan bakso sekaligus meminta do'a agar usaha kami lancar.

Mbak Ulfa menatapku sinis. "Jualan bakso? Ya ampun, Nes. Cari suami itu yang punya pekerjaan berkelas, masa' jadi tukang bakso, sih?"

Aku menelan ludah mendengar ucapan wanita yang dilahirkan dari rahim yang sama denganku itu.

"Berjualan bakso juga halal, Mbak." Aku membela diri.

Mbak Ulfa tertawa sumbang. "Halal, sih, halal, tetapi kapan jadi kaya. Aku dong punya suami kerja kantoran, punya rumah mewah, dan mobil mewah. Kamu? kapan bisa beli? Nunggu sampai hari raya kucing baru bisa kebeli tu mobil."

Aku mengelus dada mendengar ucapan kakakku yang cukup menggores di relung hati ini. Betapa tega dia berkata seperti itu pada orang yang dalam tubuhnya mengalir darah yang sama.

Ayah ibu pun tidak mau kalah dengan Mbak Ulfa. Kedua orang tuaku itu juga sering memandang rendah pekerjaan kami. Saat kami kumpul bersama, pasti selalu memuji Mbak Ulfa dan suaminya yang orang kaya.

"Keren, Nes."

Aku mendongak mendengar ucapan Mbak Divya yang sukses membuyarkan lamunanku tentang Mbak Ulfa. Aku menggeleng, kenapa bayangan wanita bermulut pedas itu tidak mau enyah dari pikiranku?

"Apanya yang keren, Mbak?" tanyaku seraya mengangkat nampan berisi piring kotor dan membawa ke wastafel.

"Jualan bakso itu yang keren," sahut Mbak Nirma yang sedang mengupaskan buah mangga untuk anaknya.

Dahiku berkerut. "Keren dari mana? Mbak Nirma dan Mbak Divya tuh yang keren. Gajinya besar nggak kayak jualan bakso yang hasilnya receh."

Mbak Divya tersenyum. "Jangan bilang begitu, Nes. Banyak pedagang bakso yang sukses, lho. Justru pedagang bakso itu keren karena bisa buka usaha sendiri. Jadi boss dan bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain."

"Iya, Nes. Kamu nggak boleh minder meski hanya jadi tukang bakso. Itu halal, kok. Aku doakan semoga usaha kamu sukses, semakin besar dan punya banyak cabang di mana-mana. Hasilnya pasti bisa mengalahkan yang bekerja kantoran," sahut Mbak Nirma tulus.

"Aamiin," ucap kami serempak.

Lagi-lagi dadaku menghangat. Kepalaku seolah ditimpa es. Mendengar ucapan para kakak ipar itu hati rasanya adem ayem tidak seperti saat bersama Mbak Ulfa yang membuat kepalaku seolah berasap dan mengeluarkan tanduk seperti monster.

"Aku jadi penasaran dengan bakso buatan kamu, Nes. Pasti enak," ucap Mbak Divya seraya fokus mengusap piring dengan spons basah yang sudah diberi cairan khusus.

Aku tidak menyangka jika Mbak Divya yang cantik dan tangannya halus itu mau mencuci piring juga.

Aku menerima piring yang sudah dipenuhi busa sabun itu lalu meletakkan di bawah air yang mengalir.

"Mbak Divya doyan bakso?" tanyaku tak percaya.

"Kenapa? Bakso, kan enak? Apalagi kalau sore hari dan cuaca dingin kayak gini. Kuah bakso panas dan pedas serta bakso yang gurih begitu menggoda. Duh, jadi ngiler aku." Mbak Divya tertawa.

"Oh." Aku hanya ber-oh ria mendengar ucapan kakak ipar yang begitu bersemangat bahkan air liurnya sampai menetes. Ia pasti sedang membayangkan makan bakso dengan aromanya yang menggoda. Sayang, hari ini Mas Ramzi sengaja libur jualan karena ingin berkumpul bersama kakaknya.

Jualan masih bisa ada hari besok, tetapi kesempatan berkumpul bersama keluarga adalah momen langka mengingat para kakaknya orang sibuk semua.

Aku pikir Mbak Divya yang cantik dan modis itu sama dengan Mbak Ulfa yang menganggap bakso adalah makanan yang hanya untuk kalangan menengah ke bawah.

"Jangan sekali-kali membawanya ke sini. Aku dan ibu bisa sakit perut kalau makan makanan yang biasa dijual di pinggir jalan itu," kata Mbak Ulfa sinis.

Aku menghela napas panjang. Kenapa bayangan Mbak Ulfa dengan segala ucapannya terus mengikuti.

Duh, Mbak. Kau sudah meracuni pikiranku. Gara-gara kamu aku jadi berprasangka buruk terus pada para kakak iparku padahal mereka sangat baik.

"Oh, ya, tahu nggak, Nes, kalau bakso adalah makanan favoritku dan juga Ibu. Makanya aku senang kalau Ramzi jualan bakso. Ibu bisa makan bakso setiap hari secara gratis," kata Mbak Divya.

Aku tersedak mendengar ucapan kakak ipar. Ibu suka bakso? Ya Allah, seingatku baru tiga kali aku memberinya makanan yang kami jual itu. Lagi-lagi dengan alasan takut ibu nggak suka.

Oh, menantu macam apa aku yang tidak tahu makanan kesukaan mertuanya padahal kami tinggal berdekatan. Kenapa Mas Ramzi tidak memberi tahu aku?

Ibu ... maafkan menantumu yang keterlaluan ini.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
sekarang tau dong kesukaan mertua
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Kado untuk Ibu Mertua   Akhir dari Semuanya

    Ririn mundur beberapa langkah hingga menyentuh tembok. Tatapan matanya tidak berkedip melihat Candra yang menatapnya seolah hendak menelannya bulat-bulat. "Ayolah, Rin. Selama dua tahun ini aku sudah begitu sabar menunggumu untuk bisa kusentuh. Kita ini suami istri, tetapi kenapa aku tidak pernah mendapatkan hakku? Kesabaran seorang lelaki ada batasnya. Aku seorang lelaki normal yang tidak akan sanggup menahan hasrat yang bergejolak ini," kata Candra dengan tatapan memelas. Brak! Pintu terbuka lebar bersamaan dengan masuknya Yani--ibunya Candra. "Apa maksudmu, Ndra?" "Ibu?" Ririn dan Candra berbarengan. "Apa maksudmu tidak pernah menyentuh Ririn? Pernikahan macam apa ini?" tanya Yani dengan nada tinggi. Mau tidak mau Candra bercerita pada ibunya kalau selama menikah dengan Ririn, ia sama sekali tidak pernah merasakan indahnya surga dunia. Ririn selalu menolak saat diajak melakukan hubungan suami istri. Bahkan, selama ini mereka tidak pernah tidur dalam satu ranjang. Candra tidu

  • Kado untuk Ibu Mertua   Terima kasih

    "Romi, bolehkah aku kembali padamu?" kata Indy dengan mulut bergetar. Romi mengurai rangkulannya pada Ulfa lalu menatap tajam Indy yang berusaha tersenyum semanis mungkin. "Apa? Ingin kembali?" Indy mengangguk. "Iya, boleh kan? Aku yakin tidak mudah bagimu melupakan diriku yang sangat cantik ini. Bukankah kamu dulu begitu tergila-gila padaku?" Romi tertawa sumbang. "Romi yang dulu bukanlah yang sekarang. Kalau dulu dia suka main dengan banyak wanita, sekarang tidak lagi. Sekarang hanya ada satu wanita yang aku cintai di dunia ini yaitu Maria Ulfa." Indy melengos ketika Romi menatap Ulfa penuh cinta lalu mencium keningnya. "Jadi, kamu nolak aku?" tanya Indy dengan nada tinggi. "Hal seperti ini tidak usah ditanyakan lagi. Jawabannya sudah pasti. Sekarang silakan kamu pergi dari sini dan biarkan aku hidup tenang bersama istriku tercinta." Romi menatap Ulfa dan mengedipkan mata. Ia merasa dari hari ke hari rasa cinta pada wanita yang dulu pernah disia-siakannya itu semakin bertamba

  • Kado untuk Ibu Mertua   Dia Datang Kembali

    "Kau tahu kenapa aku sangat ingin mendonorkan sebagian hatiku ini untukmu?" tanya Ulfa setelah mereka pulang dari rumah sakit seminggu kemudian dan saat ini mereka berada di rumah Ines. Ines tersenyum. "Kenapa?" Ines mengambil air putih dan menyesapnya. "Sampai saat ini aku masih mencintai Ramzi dan dengan adanya sebagian hati di tubuhmu itu aku harap secuil hati itu bisa mendapatkan cinta dari orang yang aku cintai." Ines melotot, tetapi Ulfa malah tertawa. "Enggak, Nes. Aku bercanda. Sebenarnya yang mau mendonorkan hati untukmu itu adalah Ibu, tetapi setelah diperiksa dokter ternyata kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. Saat dalam pemeriksaan tensi darah Ibu drop sementara untuk menjadi pendonor harus dalam keadaan prima. Lagi pula usia Ibu yang sudah 56 tahun sudah tidak diperbolehkan menjadi pendonor karena maksimal berusia 55." "Iya, Nes. Waktu itu Ibu berniat memberikan secuil hati ini untukmu, tetapi Ibu tidak memenuhi syarat untuk menjadi pendonor. Maafkan Ibu." Murni

  • Kado untuk Ibu Mertua   Sembuhlah, Adikku

    "Astagfirullah."Dunia Ramzi dan Ines seakan berhenti berputar saat mendengar pendengar penjelasan dokter bahwa organ hati Ines bermasalah. Ines memang sudah lama merasa badannya kurang sehat, tetapi ia berpikir mungkin itu efek dari sering begadang karena punya bayi. Ia juga sering mual dan muntah, tetapi ia tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Ramzi memejamkan mata. Belakangan ini, ia merasa nafas Ines sangat bau tidak seperti biasanya. Lelaki itu ingin mengatakan pada sang istri akan hal itu, tetapi ia takut wanita yang sangat ia cintai itu tersinggung. Iya, siapa yang tidak malu dan tersinggung jika disebut mulutnya bau padahal baru saja gosok gigi. Tidak tahunya itu adalah salah satu tanda jika organ hatinya bermasalah. Ines juga merasa tubuhnya semakin kurus. Hal itu ia rasakan saat celana maupun rok yang biasanya pas atau ketat, kini terasa longgar, tetapi wanita itu menganggap hal itu biasa terjadi karena ia sedang menyusui. Nanti kalau Alifa sudah berhen

  • Kado untuk Ibu Mertua   Ines Sakit?

    "Ibu bilang juga apa, Ul?" Murni mengusap pundak Ulfa dengan lembut. "Buang jauh-jauh rasa benci yang menumpuk dalam hatimu itu. Hidup rukun bersama saudara itu lebih menyenangkan." Saat ini mereka sedang berada di rumah sakit menunggu Ramzi yang sedang diperiksa dokter. Lelaki yang sudah menyelamatkan Zanna itu perlu dilakukan rontgen karena ia mendapat pukulan di bagian perut berulang kali. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika Ramzi sampai kenapa-napa. Dia menjadi begini karena aku lalai sebagai orang tua dalam menjaga anak." Romi mengacak rambut frustrasi. Ia tatap kakinya yang hanya tinggal sebelah sehingga membuat ia sulit bergerak. "Doakan saja semoga Ramzi tidak apa-apa," kata Murni. "Iya, Bu. Semoga dia baik-baik saja." Romi tergugu membayangkan Ramzi yang berjuang sendiri melawan penjahat itu. Pukulan demi pukulan ia dapatkan, sementara ia sendiri tidak bisa melakukan apa pun. Semua orang bernapas lega saat hasil rontgen keluar dan Ramzi dinyatakan baik-baik saja

  • Kado untuk Ibu Mertua   Kita adalah Keluarga

    Ines tersenyum sendiri melihat status WA kakaknya. Dalam diam, dia bersyukur akhirnya Ulfa mendapat kebahagiaan dengan caranya sendiri. Tiba-tiba terbersit dalam benaknya untuk datang berkunjung ke rumah Ulfa.Semenjak Ulfa menikah, sekali pun ia belum pernah berkunjung ke rumahnya karena selalu dilarang dengan alasan tidak level menerima tamu seperti Ines, tetapi sekarang Ines yakin, kakaknya itu pasti akan memberi izin.Untungnya Ramzi tidak keberatan diajak ke rumah kakak ipar. Mereka berdua telah sampai di sebuah rumah megah berlantai dua dengan halaman luas dan terlihat asri dengan tanaman rumput jepang. Ulfa yang sedang memasak, gegas mematikan kompor begitu mendengar pintu depan ada yang mengetuk. Wanita itu mengintip dari balik jendela siapa yang datang. Ia memekik saat melihat Ines dan Ramzi sudah berdiri di depan rumahnya. Dengan bibir mengerucut, wanita yang saat ini sedang hamil muda itu membuka sedikit daun pintu dan melongokkan kepala. "Mau ngapain kalian ke sini?"

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status