Share

Dukungan

Matahari sudah mulai bergerak ke arah barat. Terdengar deru sepeda motor dari arah depan. Seorang gadis berjilbab merah turun dari kendaraan roda dua berwarna biru itu.

"Ibu?" Setelah membuka helm, gadis itu berteriak dan berlari lalu menuburuk ibu mertua yang sudah menghadangnya di depan pintu.

Ada rasa yang aneh menjalar di hati kala melihat pertemuan antara ibu dan anak yang begitu mengharukan itu. Aku dan ibu kandungku tidak pernah sampai berpelukan meski sudah lama tidak bertemu.

Setelah melepas rasa rindu yang membuncah pada sang ibu, Nella menyalami dan mencium tangan dengan takzim para kakaknya secara bergantian. Denganku juga tidak ketinggalan.

Sejak aku tinggal di sini, ini untuk pertama kalinya Nella pulang. Dia duduk di bangku SMA kelas tiga dan tinggal di kost-an. Saat ini jarang pulang karena sedang persiapan ujian kelulusan.

Suasana di rumah ibu semakin ramai setelah ada Nella. Gadis itu ternyata juga sangat menyenangkan.

"Kata Ibu, kamu dan Ramzi jualan bakso, ya?" tanya Mbak Divya.

Kuhentikan gerakan tanganku yang sedang mengumpulkan piring dan gelas kotor lalu menatap wanita yang juga melakukan hal yang sama denganku itu. "Iya, Mbak."

Kepalaku terasa berat untuk mengangguk. Aku malu untuk mengakuinya, tetapi mau bagaimana lagi, pada kenyataanya memang hanya itu sumber penghasilan kami.

Aku sudah menyiapkan telinga untuk mendengar ucapan Mbak Divya yang meremehkan mata pencaharian kami. Seperti yang diucapkan Mbak Ulfa saat pertama kali kuberi tahu kalau aku dan Mas Ramzi mulai berjualan bakso sekaligus meminta do'a agar usaha kami lancar.

Mbak Ulfa menatapku sinis. "Jualan bakso? Ya ampun, Nes. Cari suami itu yang punya pekerjaan berkelas, masa' jadi tukang bakso, sih?"

Aku menelan ludah mendengar ucapan wanita yang dilahirkan dari rahim yang sama denganku itu.

"Berjualan bakso juga halal, Mbak." Aku membela diri.

Mbak Ulfa tertawa sumbang. "Halal, sih, halal, tetapi kapan jadi kaya. Aku dong punya suami kerja kantoran, punya rumah mewah, dan mobil mewah. Kamu? kapan bisa beli? Nunggu sampai hari raya kucing baru bisa kebeli tu mobil."

Aku mengelus dada mendengar ucapan kakakku yang cukup menggores di relung hati ini. Betapa tega dia berkata seperti itu pada orang yang dalam tubuhnya mengalir darah yang sama.

Ayah ibu pun tidak mau kalah dengan Mbak Ulfa. Kedua orang tuaku itu juga sering memandang rendah pekerjaan kami. Saat kami kumpul bersama, pasti selalu memuji Mbak Ulfa dan suaminya yang orang kaya.

"Keren, Nes."

Aku mendongak mendengar ucapan Mbak Divya yang sukses membuyarkan lamunanku tentang Mbak Ulfa. Aku menggeleng, kenapa bayangan wanita bermulut pedas itu tidak mau enyah dari pikiranku?

"Apanya yang keren, Mbak?" tanyaku seraya mengangkat nampan berisi piring kotor dan membawa ke wastafel.

"Jualan bakso itu yang keren," sahut Mbak Nirma yang sedang mengupaskan buah mangga untuk anaknya.

Dahiku berkerut. "Keren dari mana? Mbak Nirma dan Mbak Divya tuh yang keren. Gajinya besar nggak kayak jualan bakso yang hasilnya receh."

Mbak Divya tersenyum. "Jangan bilang begitu, Nes. Banyak pedagang bakso yang sukses, lho. Justru pedagang bakso itu keren karena bisa buka usaha sendiri. Jadi boss dan bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain."

"Iya, Nes. Kamu nggak boleh minder meski hanya jadi tukang bakso. Itu halal, kok. Aku doakan semoga usaha kamu sukses, semakin besar dan punya banyak cabang di mana-mana. Hasilnya pasti bisa mengalahkan yang bekerja kantoran," sahut Mbak Nirma tulus.

"Aamiin," ucap kami serempak.

Lagi-lagi dadaku menghangat. Kepalaku seolah ditimpa es. Mendengar ucapan para kakak ipar itu hati rasanya adem ayem tidak seperti saat bersama Mbak Ulfa yang membuat kepalaku seolah berasap dan mengeluarkan tanduk seperti monster.

"Aku jadi penasaran dengan bakso buatan kamu, Nes. Pasti enak," ucap Mbak Divya seraya fokus mengusap piring dengan spons basah yang sudah diberi cairan khusus.

Aku tidak menyangka jika Mbak Divya yang cantik dan tangannya halus itu mau mencuci piring juga.

Aku menerima piring yang sudah dipenuhi busa sabun itu lalu meletakkan di bawah air yang mengalir.

"Mbak Divya doyan bakso?" tanyaku tak percaya.

"Kenapa? Bakso, kan enak? Apalagi kalau sore hari dan cuaca dingin kayak gini. Kuah bakso panas dan pedas serta bakso yang gurih begitu menggoda. Duh, jadi ngiler aku." Mbak Divya tertawa.

"Oh." Aku hanya ber-oh ria mendengar ucapan kakak ipar yang begitu bersemangat bahkan air liurnya sampai menetes. Ia pasti sedang membayangkan makan bakso dengan aromanya yang menggoda. Sayang, hari ini Mas Ramzi sengaja libur jualan karena ingin berkumpul bersama kakaknya.

Jualan masih bisa ada hari besok, tetapi kesempatan berkumpul bersama keluarga adalah momen langka mengingat para kakaknya orang sibuk semua.

Aku pikir Mbak Divya yang cantik dan modis itu sama dengan Mbak Ulfa yang menganggap bakso adalah makanan yang hanya untuk kalangan menengah ke bawah.

"Jangan sekali-kali membawanya ke sini. Aku dan ibu bisa sakit perut kalau makan makanan yang biasa dijual di pinggir jalan itu," kata Mbak Ulfa sinis.

Aku menghela napas panjang. Kenapa bayangan Mbak Ulfa dengan segala ucapannya terus mengikuti.

Duh, Mbak. Kau sudah meracuni pikiranku. Gara-gara kamu aku jadi berprasangka buruk terus pada para kakak iparku padahal mereka sangat baik.

"Oh, ya, tahu nggak, Nes, kalau bakso adalah makanan favoritku dan juga Ibu. Makanya aku senang kalau Ramzi jualan bakso. Ibu bisa makan bakso setiap hari secara gratis," kata Mbak Divya.

Aku tersedak mendengar ucapan kakak ipar. Ibu suka bakso? Ya Allah, seingatku baru tiga kali aku memberinya makanan yang kami jual itu. Lagi-lagi dengan alasan takut ibu nggak suka.

Oh, menantu macam apa aku yang tidak tahu makanan kesukaan mertuanya padahal kami tinggal berdekatan. Kenapa Mas Ramzi tidak memberi tahu aku?

Ibu ... maafkan menantumu yang keterlaluan ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
sekarang tau dong kesukaan mertua
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status