Share

Mimpi Buruk

Wajah Bu Mila berbinar. Dengan antusias ia membuka kotak kado yang dibungkus kertas bermotif bunga itu. Sebuah jam tangan mewah yang menurut perkiraanku harganya jutaan terpampang nyata di depan mata.

"Terima kasih, Sayang," ujarnya seraya menatap Mbak divya.

"Ibu suka?" tanya Mbak Divya.

Bu Mila mengangguk. Ia mengulurkan tangan dan tidak lama kemudian jam tangan berwarna hitam itu melingkar di pergelangan tangannya. Wanita itu tersenyum lebar. " harganya pasti mahal ya, Vi?"

"Untuk Ibu yang aku sayang, tidak ada kata mahal," kata Mbak divya. Lalu keduanya berpelukan.

Tangan Ibu beralih mengambil kotak kado yang lain yang setelah dibuka ternyata berisi cincin dengan berlian mungil cantik. Itu adalah kado dari Mas Akbar. Raut kebahagiaan tidak dapat disembunyikan di wajahnya.

"Terima kasih, ya. Kalian memang anak-anak yang baik." Ibu merentangkan tangan untuk memeluk Mas Akbar dan istrinya.

Setelah adegan pelukan antara ibu, anak, dan menantu itu usai, Ibu kembali membuka kado yang tersisa yaitu kado dariku.

Mata ibu mertuaku itu melotot saat melihat gamis yang kubelikan.

"Ya ampun, apa-apaan ini. Jelek sekali gamisnya. Warnanya nggak cerah, modelnya juga kuno, dan bahannya kasar. Pasti harganya murah," kata Mbak Nirma.

Istri Mas Akbar itu meraih gamis dari tangan Ibu lalu mengamatinya dengan saksama, setelah itu giliran Mbak Divya yang meneliti gamis berwarna hijau tua itu.

"Ines memang keterlaluan. Masa iya ibu kita disuruh memakai gamis seperti itu? Bisa gatal-gatal nanti," ucap Mbak divya dengan tatapan sinis.

"Wah padahal Ibu udah ngasih uang Rp500.000 untuk membeli gamis tapi malah dapatnya kayak gini," kata Bu Mila.

Semua mata kini tertuju padaku seolah mengintimidasi. "Apa maksud ibu memberi uang pada Ines?" tanya Mas Akbar dengan tahapan menyelidik.

"Ibu tahu kalau Ramzi dan istrinya tidak punya uang makanya ibu memberinya uang agar ia bisa membeli kado seperti kalian tapi pada kenyataannya malah dibelikan gamis seperti itu sepertinya gamis itu harganya tidak sampai segitu." Bu Mila menjelaskan panjang lebar.

Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa lebar seraya menatapku. Aku merasa seperti sampah di sini.

"Lagi pula Ibu yang berulang tahun tapi Ibu yang ngasih uang? Sungguh tidak masuk akal." Mbak Divya tatapannya sinis padaku.

Aku gak kuat lagi mendengar hinaan dari mereka apalagi saat melihat gamis itu dilempar begitu saja. Aku memilih untuk menepi meninggalkan mereka.

Aku berlari dengan hati hancur. Air mataku bercucuran. Aku membanting tubuh di kasur dengan posisi bertelungkup. Kubiarkan bulir bening ini membasahi bantal. Aku sesenggukan.

"Ada apa, Nes? Kenapa nangis?" suara mas Ramzi disertai tepukan di pundak sukses membuyarkan lamunanku.

Aku mengusap pipi yang basah. "Aku nggak mau hadir di acara ulang tahun Ibu mas,"

"Kenapa?" tanya Mas Ramzi dengan dahi berkerut.

"Aku belum siap untuk bertemu dengan para kakak ipar. Aku takut aku hanya akan menjadi bahan olokan nanti," ucapku. Lalu dengan malu-malu kukatakan tentang lamunanku tadi.

Lelaki yang membuatku jatuh hati itu tertawa kecil. "Kamu pasti kebanyakan nonton sinetron tentang mertua jahat dan ipar julid ya?"

Aku meringis. Bukan tanpa sebab jika aku se-parno ini pada mertua dan juga ipar. Aku sering mendengar kalau mertua dan ipar itu menyeramkan, horor.

"Sebaik-baiknya mertua itu tetap serem, Nes. Apalagi dengan posisi kamu yang nggak banget seperti itu. Nanti kamu pasti akan selalu dibandingkan dengan ipar yang lain," kata Mbak Ulfa--kakak kandungku yang juga sudah menikah. Setiap kali datang berkunjung yang dibahas pasti tentang ibu mertuanya yang super galak, namun ia tetap bertahan dengan alasan orang kaya.

"Ines, dengarkan aku." Mas Ramzi meraih pundakku dan kini kami saling berhadapan. Tangannya terulur mengusap jejak-jejak air mata yang masih tertinggal di pipi. "Mertua jahat dan ipar julid itu tidak ada di keluarga ini. Semuanya baik. Percaya lah."

Aku mengangguk.

"Dari dulu Ibu dan almarhum ayah tidak pernah membandingkan antara anak satu dengan yang lainnya. Mas Akbar selalu dapat rangking satu saat sekolah, pun dengan Mbak Divya, tetapi sekali pun tidak pernah menghina atau pun memandangku remeh meski aku tidak pernah dapat ranking."

Aku mendongak menatapnya yang tersenyum manis.

"Kalau dengan anak-anak saja tidak pernah membandingkan, aku yakin dengan para menantu pun begitu. Percayalah." Mas Ramzi kembali menepuk pundakku. "Sudah, jangan nangis lagi, nanti jadi jelek."

Aku tersenyum. Ya Allah, tolong enyahkan prasangka buruk tentang mertua dari pikiranku ini.

Kuhela napas panjang. Mertuaku baik ... Mertuaku baik ... itu yang harus kutanamkan dalam hati ini.

***

Aku menghampiri Bu Mila yang sedang menyiram tanaman bunga kesayangannya. Aku akan mengajak membeli gamis agar ia bisa memilih sendiri. Aku takut tidak sesuai harapan jika aku yang memilihnya.

Wanita berjilbab instan itu meletakkan ember dan tersenyum. "Ines, yang namanya kado itu, ya, kejutan. Kalau Ibu yang pilih nanti nggak surprise lagi. Nggak asyik kalau Ibu sudah lihat."

"Tetapi, Bu__

" Udah, Ibu percaya dengan pilihanmu."

"Ibu mau warna apa? Modelnya seperti apa?"

Lagi. Bu Mila tersenyum. "Ya, terserah. Kan kamu yang mau beli. Ibu percaya dengan pilihan kamu. Kalau sudah beli, jangan kasih lihat ke Ibu, ya. Langsung bungkus aja biar asyik."

Dadaku kembali hangat. Semoga gamis pilihanku nanti tidak mengecewakan.

Aku takut. Sungguh. Benar-benar takut membuat ibu kecewa dan bayanganku tadi menjadi kenyataan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status