Share

Mimpi Buruk

Author: Siti Aisyah
last update Huling Na-update: 2023-02-03 17:00:41

Wajah Bu Mila berbinar. Dengan antusias ia membuka kotak kado yang dibungkus kertas bermotif bunga itu. Sebuah jam tangan mewah yang menurut perkiraanku harganya jutaan terpampang nyata di depan mata.

"Terima kasih, Sayang," ujarnya seraya menatap Mbak divya.

"Ibu suka?" tanya Mbak Divya.

Bu Mila mengangguk. Ia mengulurkan tangan dan tidak lama kemudian jam tangan berwarna hitam itu melingkar di pergelangan tangannya. Wanita itu tersenyum lebar. " harganya pasti mahal ya, Vi?"

"Untuk Ibu yang aku sayang, tidak ada kata mahal," kata Mbak divya. Lalu keduanya berpelukan.

Tangan Ibu beralih mengambil kotak kado yang lain yang setelah dibuka ternyata berisi cincin dengan berlian mungil cantik. Itu adalah kado dari Mas Akbar. Raut kebahagiaan tidak dapat disembunyikan di wajahnya.

"Terima kasih, ya. Kalian memang anak-anak yang baik." Ibu merentangkan tangan untuk memeluk Mas Akbar dan istrinya.

Setelah adegan pelukan antara ibu, anak, dan menantu itu usai, Ibu kembali membuka kado yang tersisa yaitu kado dariku.

Mata ibu mertuaku itu melotot saat melihat gamis yang kubelikan.

"Ya ampun, apa-apaan ini. Jelek sekali gamisnya. Warnanya nggak cerah, modelnya juga kuno, dan bahannya kasar. Pasti harganya murah," kata Mbak Nirma.

Istri Mas Akbar itu meraih gamis dari tangan Ibu lalu mengamatinya dengan saksama, setelah itu giliran Mbak Divya yang meneliti gamis berwarna hijau tua itu.

"Ines memang keterlaluan. Masa iya ibu kita disuruh memakai gamis seperti itu? Bisa gatal-gatal nanti," ucap Mbak divya dengan tatapan sinis.

"Wah padahal Ibu udah ngasih uang Rp500.000 untuk membeli gamis tapi malah dapatnya kayak gini," kata Bu Mila.

Semua mata kini tertuju padaku seolah mengintimidasi. "Apa maksud ibu memberi uang pada Ines?" tanya Mas Akbar dengan tahapan menyelidik.

"Ibu tahu kalau Ramzi dan istrinya tidak punya uang makanya ibu memberinya uang agar ia bisa membeli kado seperti kalian tapi pada kenyataannya malah dibelikan gamis seperti itu sepertinya gamis itu harganya tidak sampai segitu." Bu Mila menjelaskan panjang lebar.

Semua orang yang ada di ruangan itu tertawa lebar seraya menatapku. Aku merasa seperti sampah di sini.

"Lagi pula Ibu yang berulang tahun tapi Ibu yang ngasih uang? Sungguh tidak masuk akal." Mbak Divya tatapannya sinis padaku.

Aku gak kuat lagi mendengar hinaan dari mereka apalagi saat melihat gamis itu dilempar begitu saja. Aku memilih untuk menepi meninggalkan mereka.

Aku berlari dengan hati hancur. Air mataku bercucuran. Aku membanting tubuh di kasur dengan posisi bertelungkup. Kubiarkan bulir bening ini membasahi bantal. Aku sesenggukan.

"Ada apa, Nes? Kenapa nangis?" suara mas Ramzi disertai tepukan di pundak sukses membuyarkan lamunanku.

Aku mengusap pipi yang basah. "Aku nggak mau hadir di acara ulang tahun Ibu mas,"

"Kenapa?" tanya Mas Ramzi dengan dahi berkerut.

"Aku belum siap untuk bertemu dengan para kakak ipar. Aku takut aku hanya akan menjadi bahan olokan nanti," ucapku. Lalu dengan malu-malu kukatakan tentang lamunanku tadi.

Lelaki yang membuatku jatuh hati itu tertawa kecil. "Kamu pasti kebanyakan nonton sinetron tentang mertua jahat dan ipar julid ya?"

Aku meringis. Bukan tanpa sebab jika aku se-parno ini pada mertua dan juga ipar. Aku sering mendengar kalau mertua dan ipar itu menyeramkan, horor.

"Sebaik-baiknya mertua itu tetap serem, Nes. Apalagi dengan posisi kamu yang nggak banget seperti itu. Nanti kamu pasti akan selalu dibandingkan dengan ipar yang lain," kata Mbak Ulfa--kakak kandungku yang juga sudah menikah. Setiap kali datang berkunjung yang dibahas pasti tentang ibu mertuanya yang super galak, namun ia tetap bertahan dengan alasan orang kaya.

"Ines, dengarkan aku." Mas Ramzi meraih pundakku dan kini kami saling berhadapan. Tangannya terulur mengusap jejak-jejak air mata yang masih tertinggal di pipi. "Mertua jahat dan ipar julid itu tidak ada di keluarga ini. Semuanya baik. Percaya lah."

Aku mengangguk.

"Dari dulu Ibu dan almarhum ayah tidak pernah membandingkan antara anak satu dengan yang lainnya. Mas Akbar selalu dapat rangking satu saat sekolah, pun dengan Mbak Divya, tetapi sekali pun tidak pernah menghina atau pun memandangku remeh meski aku tidak pernah dapat ranking."

Aku mendongak menatapnya yang tersenyum manis.

"Kalau dengan anak-anak saja tidak pernah membandingkan, aku yakin dengan para menantu pun begitu. Percayalah." Mas Ramzi kembali menepuk pundakku. "Sudah, jangan nangis lagi, nanti jadi jelek."

Aku tersenyum. Ya Allah, tolong enyahkan prasangka buruk tentang mertua dari pikiranku ini.

Kuhela napas panjang. Mertuaku baik ... Mertuaku baik ... itu yang harus kutanamkan dalam hati ini.

***

Aku menghampiri Bu Mila yang sedang menyiram tanaman bunga kesayangannya. Aku akan mengajak membeli gamis agar ia bisa memilih sendiri. Aku takut tidak sesuai harapan jika aku yang memilihnya.

Wanita berjilbab instan itu meletakkan ember dan tersenyum. "Ines, yang namanya kado itu, ya, kejutan. Kalau Ibu yang pilih nanti nggak surprise lagi. Nggak asyik kalau Ibu sudah lihat."

"Tetapi, Bu__

" Udah, Ibu percaya dengan pilihanmu."

"Ibu mau warna apa? Modelnya seperti apa?"

Lagi. Bu Mila tersenyum. "Ya, terserah. Kan kamu yang mau beli. Ibu percaya dengan pilihan kamu. Kalau sudah beli, jangan kasih lihat ke Ibu, ya. Langsung bungkus aja biar asyik."

Dadaku kembali hangat. Semoga gamis pilihanku nanti tidak mengecewakan.

Aku takut. Sungguh. Benar-benar takut membuat ibu kecewa dan bayanganku tadi menjadi kenyataan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kado untuk Ibu Mertua   Akhir dari Semuanya

    Ririn mundur beberapa langkah hingga menyentuh tembok. Tatapan matanya tidak berkedip melihat Candra yang menatapnya seolah hendak menelannya bulat-bulat. "Ayolah, Rin. Selama dua tahun ini aku sudah begitu sabar menunggumu untuk bisa kusentuh. Kita ini suami istri, tetapi kenapa aku tidak pernah mendapatkan hakku? Kesabaran seorang lelaki ada batasnya. Aku seorang lelaki normal yang tidak akan sanggup menahan hasrat yang bergejolak ini," kata Candra dengan tatapan memelas. Brak! Pintu terbuka lebar bersamaan dengan masuknya Yani--ibunya Candra. "Apa maksudmu, Ndra?" "Ibu?" Ririn dan Candra berbarengan. "Apa maksudmu tidak pernah menyentuh Ririn? Pernikahan macam apa ini?" tanya Yani dengan nada tinggi. Mau tidak mau Candra bercerita pada ibunya kalau selama menikah dengan Ririn, ia sama sekali tidak pernah merasakan indahnya surga dunia. Ririn selalu menolak saat diajak melakukan hubungan suami istri. Bahkan, selama ini mereka tidak pernah tidur dalam satu ranjang. Candra tidu

  • Kado untuk Ibu Mertua   Terima kasih

    "Romi, bolehkah aku kembali padamu?" kata Indy dengan mulut bergetar. Romi mengurai rangkulannya pada Ulfa lalu menatap tajam Indy yang berusaha tersenyum semanis mungkin. "Apa? Ingin kembali?" Indy mengangguk. "Iya, boleh kan? Aku yakin tidak mudah bagimu melupakan diriku yang sangat cantik ini. Bukankah kamu dulu begitu tergila-gila padaku?" Romi tertawa sumbang. "Romi yang dulu bukanlah yang sekarang. Kalau dulu dia suka main dengan banyak wanita, sekarang tidak lagi. Sekarang hanya ada satu wanita yang aku cintai di dunia ini yaitu Maria Ulfa." Indy melengos ketika Romi menatap Ulfa penuh cinta lalu mencium keningnya. "Jadi, kamu nolak aku?" tanya Indy dengan nada tinggi. "Hal seperti ini tidak usah ditanyakan lagi. Jawabannya sudah pasti. Sekarang silakan kamu pergi dari sini dan biarkan aku hidup tenang bersama istriku tercinta." Romi menatap Ulfa dan mengedipkan mata. Ia merasa dari hari ke hari rasa cinta pada wanita yang dulu pernah disia-siakannya itu semakin bertamba

  • Kado untuk Ibu Mertua   Dia Datang Kembali

    "Kau tahu kenapa aku sangat ingin mendonorkan sebagian hatiku ini untukmu?" tanya Ulfa setelah mereka pulang dari rumah sakit seminggu kemudian dan saat ini mereka berada di rumah Ines. Ines tersenyum. "Kenapa?" Ines mengambil air putih dan menyesapnya. "Sampai saat ini aku masih mencintai Ramzi dan dengan adanya sebagian hati di tubuhmu itu aku harap secuil hati itu bisa mendapatkan cinta dari orang yang aku cintai." Ines melotot, tetapi Ulfa malah tertawa. "Enggak, Nes. Aku bercanda. Sebenarnya yang mau mendonorkan hati untukmu itu adalah Ibu, tetapi setelah diperiksa dokter ternyata kondisi kesehatannya tidak memungkinkan. Saat dalam pemeriksaan tensi darah Ibu drop sementara untuk menjadi pendonor harus dalam keadaan prima. Lagi pula usia Ibu yang sudah 56 tahun sudah tidak diperbolehkan menjadi pendonor karena maksimal berusia 55." "Iya, Nes. Waktu itu Ibu berniat memberikan secuil hati ini untukmu, tetapi Ibu tidak memenuhi syarat untuk menjadi pendonor. Maafkan Ibu." Murni

  • Kado untuk Ibu Mertua   Sembuhlah, Adikku

    "Astagfirullah."Dunia Ramzi dan Ines seakan berhenti berputar saat mendengar pendengar penjelasan dokter bahwa organ hati Ines bermasalah. Ines memang sudah lama merasa badannya kurang sehat, tetapi ia berpikir mungkin itu efek dari sering begadang karena punya bayi. Ia juga sering mual dan muntah, tetapi ia tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Ramzi memejamkan mata. Belakangan ini, ia merasa nafas Ines sangat bau tidak seperti biasanya. Lelaki itu ingin mengatakan pada sang istri akan hal itu, tetapi ia takut wanita yang sangat ia cintai itu tersinggung. Iya, siapa yang tidak malu dan tersinggung jika disebut mulutnya bau padahal baru saja gosok gigi. Tidak tahunya itu adalah salah satu tanda jika organ hatinya bermasalah. Ines juga merasa tubuhnya semakin kurus. Hal itu ia rasakan saat celana maupun rok yang biasanya pas atau ketat, kini terasa longgar, tetapi wanita itu menganggap hal itu biasa terjadi karena ia sedang menyusui. Nanti kalau Alifa sudah berhen

  • Kado untuk Ibu Mertua   Ines Sakit?

    "Ibu bilang juga apa, Ul?" Murni mengusap pundak Ulfa dengan lembut. "Buang jauh-jauh rasa benci yang menumpuk dalam hatimu itu. Hidup rukun bersama saudara itu lebih menyenangkan." Saat ini mereka sedang berada di rumah sakit menunggu Ramzi yang sedang diperiksa dokter. Lelaki yang sudah menyelamatkan Zanna itu perlu dilakukan rontgen karena ia mendapat pukulan di bagian perut berulang kali. "Aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika Ramzi sampai kenapa-napa. Dia menjadi begini karena aku lalai sebagai orang tua dalam menjaga anak." Romi mengacak rambut frustrasi. Ia tatap kakinya yang hanya tinggal sebelah sehingga membuat ia sulit bergerak. "Doakan saja semoga Ramzi tidak apa-apa," kata Murni. "Iya, Bu. Semoga dia baik-baik saja." Romi tergugu membayangkan Ramzi yang berjuang sendiri melawan penjahat itu. Pukulan demi pukulan ia dapatkan, sementara ia sendiri tidak bisa melakukan apa pun. Semua orang bernapas lega saat hasil rontgen keluar dan Ramzi dinyatakan baik-baik saja

  • Kado untuk Ibu Mertua   Kita adalah Keluarga

    Ines tersenyum sendiri melihat status WA kakaknya. Dalam diam, dia bersyukur akhirnya Ulfa mendapat kebahagiaan dengan caranya sendiri. Tiba-tiba terbersit dalam benaknya untuk datang berkunjung ke rumah Ulfa.Semenjak Ulfa menikah, sekali pun ia belum pernah berkunjung ke rumahnya karena selalu dilarang dengan alasan tidak level menerima tamu seperti Ines, tetapi sekarang Ines yakin, kakaknya itu pasti akan memberi izin.Untungnya Ramzi tidak keberatan diajak ke rumah kakak ipar. Mereka berdua telah sampai di sebuah rumah megah berlantai dua dengan halaman luas dan terlihat asri dengan tanaman rumput jepang. Ulfa yang sedang memasak, gegas mematikan kompor begitu mendengar pintu depan ada yang mengetuk. Wanita itu mengintip dari balik jendela siapa yang datang. Ia memekik saat melihat Ines dan Ramzi sudah berdiri di depan rumahnya. Dengan bibir mengerucut, wanita yang saat ini sedang hamil muda itu membuka sedikit daun pintu dan melongokkan kepala. "Mau ngapain kalian ke sini?"

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status