Ulfa"Kapan kamu pulang, Fa?" tanya ibu saat aku baru saja selesai memandikan Zanna. Setelah gagal membuat Ines marah aku pulang lagi ke rumah ibuku. Aku mengerucutkan bibir dan menatap ibu yang sedang menyiapkan obat untuk ayah. " Ibu mengusirku? Nggak suka, ya, ada aku di sini? Ini rumahku juga, Bu. Kenapa harus buru-buru disuruh pergi? Aku kan masih betah?"Wanita berbaju merah itu mendesah pelan. "Ibu tidak bermaksud mengusirmu, Ul, tetapi sudah beberapa hari kamu tidak di rumah dan aku lihat Romi juga tidak pernah menghubungimu. Hubungan kalian baik-baik saja kan?"Aku tersenyum terpaksa. "Tentu saja hubunganku dengan Mas Romi baik-baik saja. Dia suami yang sangat pengertian. Aku sudah izin kalau akan lama di sini. Seharusnya hanya sampai Ibu sembuh, tetapi ayah malah kecelakaan. Aku melakukan ini karena sayang kalian. Aku hanya ingin memastikan saat pulang nanti kalian berdua sudah benar-benar sehat dan pulih seperti sedia kala."Ibu tersenyum lalu merentangkan tangan. "Duh,
poV InesJam bulat di dinding yang terletak di sebelah kipas angin sudah menunjukkan pukul sebelas kurang 5 menit. Lima puluh porsi bakso sudah siap diantar ke pelanggan yang memesan via online. Iya, selain melayani makan di tempat, bakso kami juga bisa dipesan melalui online. Senyum merekah terbit di bibir Mas Ramzi saat Pak Salim-- orang yang biasa mengantar pesanan sudah mulai berangkat dengan lima puluh porsi baksonya. Aku tahu suamiku itu sangat lelah, tetapi dia masih memiliki semangat kerja membara demi sebuah mimpi yang harus kami capai bersama. Dahiku berkerut saat motor yang dikendarai Pak Salim sudah kembali, tetapi baksonya masih utuh. Rasa penasaran yang menggebu membuat kami berlari menghampiri lelaki berkaus oblong warna hitam itu. "Ada apa, Pak? Kenapa baksonya masih utuh?" tanya Mas Ramzi. "Nggak jadi diantar? Nanti pemesannya sudah menunggu, lho."Segera kuambilkan teh hangat saat menyadari wajah lelaki itu terlihat pucat. Setelah menyesap minuman yang kuberika
"Bu Mila, menantunya ini dikasih tahu kalau mau ambil baju itu jangan yang baru. Baju yang ini baru dipakai sekali sudah diambil aja," ujar wanita itu dengan bersungut-sungut. "Iya, saya minta maaf," kata ibu. Mulutku ternganga. "Kenapa Ibu malah minta maaf? Aku sama sekali nggak tahu kenapa baju bayi itu bisa ada di dalam tas padahal aku tidak mengambilnya." Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu tersenyum yang menyejukkan hati ini. "Tidak ada ruginya kita minta maaf meski tidak bersalah. Minta maaf bukan berarti kita kalah, bukan?" "Alah, ngaku aja kalau memang kamu yang ambil? Memangnya baju bayi ini punya kaki sehingga bisa masuk sendiri ke dalam tas apa?" kata wanita yang entah namanya siapa itu sinis. Aku menghela napas, sekadar untuk menguras rasa sesak di dada ini. Bagaimana bisa menjelaskan kalau aku benar-benar tidak tahu menahu kenapa baju bayi bergambar bunga itu bisa berada di dalam tas kecilku. Di kamar itu pastilah tidak ada CCTV yang dapat menjadikan bukti untuk
Aku menekuri gundukan tanah merah yang masih basah dan bertaburkan bunga mawar yang didalamnya berbaring jasad Nenek hasma itu. Bulir bening menetes membasahi tanganku.Bayangan Nenek Hasma yang selalu murah senyum dan harus tinggal sendiri di hari tuanya itu membuatku sedih. Masih teringat dengan jelas saat beberapa waktu lalu ia memintaku untuk tinggal bersamanya, tetapi kutolak dengan halus. Aku mendongak dan memejamkan mata, seandainya aku tahu dia akan pergi secepat ini pasti permintaannya akan kuturuti. Di depanku juga ada Tri--pembantu Nenek Hasma. Wajahnya sembab, kesedihan tidak dapat ia sembunyikan di raut wajah ayunya itu. Dia bilang, Nenek Hasma sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri, begitu juga dengan Nenek Hasma, Tri yang berwajah cantik itu sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Keduanya saling menyayangi. Wajar jika Tri merasa begitu kehilangan. Sebuah tangan mendarat di pundakku. Aku menoleh, Mas Ramzi tersenyum padaku. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku dan me
[Nes, Ibu kangen]Aku menggosok mata perlahan dan menatap tajam barisan huruf yang tertera di layar ponsel yang sedang kupegang ini. Kedua mataku masih berfungsi dengan baik, bukan?Ibu berkirim pesan saja sudah membuatku heran, apalagi isinya seperti itu. Takutnya aku salah baca. Namun, hingga sekian lama aku menekuri, tulisan itu masih belum berubah dan aku memang tidak salah lihat. Isi pesan ibu kangen disertai emot senyum bertabur love terpampang nyata di depanku. Aku memejamkan mata. Belum sempat kubalas, ponselku kembali berbunyi. [Datang ke rumah, ya, Nes]Aku menghela napas panjang. Dia selalu mengabaikanku, tetapi sekarang memintaku datang. Haruskah aku balik mengabaikan?Bagaimana kalau setelah sampai aku tidak diterima atau diusir seperti yang biasanya? Tetapi, dia yang meminta, bukan? Aku berjalan mondar-mandir seperti setrika. "Jangan mengabaikan perintah ibu," kata Mas Ramzi yang seolah tahu kegundahan hatiku. "Jadi, menurut Mas aku harus datang?" Imamku itu ters
PoV Bu Murni"Ibu adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Tidak ada salahnya jika kuberikan semua harta yang kupunya pada ibu," kata Ines dengan senyumannya yang sangat manis. Iya, kuakui bayi mungil yang kulahirkan dua puluh tiga tahun yang lalu itu sekarang sudah menjelma menjadi gadis yang sangat cantik. Terlebih setelah menikah. Aura kecantikannya semakin terpancar. Mungkin karena dia selalu bahagia. Dia memang mewarisi kecantikanku. "Ini kunci rumah serta sertifikatnya," lanjut wanita yang dulu sangat kubenci itu. Aku sangat bersyukur, dia tidak mati meski aku sudah berulang kali berusaha membunuhnya. Mataku terasa bersinar terang saat membuka map berisi sertifikat rumah dan juga tanah yang diberikan Ines padaku. Selain rumah yang kutaksir harganya tidak murah jika dijual itu, ada juga sertifikat tanah. Iya, Hasma memang punya tanah berupa sawah yang sangat luas yang digarap orang lain dengan sistem bagi hasil dan hasilnya sangat banyak. Itulah sebabnya meski dia seo
Ayah? Benarkah itu ayah biologisku? Benarkah lelaki di hadapanku ini adalah orang yang pernah diceritakan oleh Nenek Hasma?Dia ... Lelaki yang selalu disebut Nenek Hasma dalam do'a. Dia yang selalu dinantikan kepulangannya. Dia yang selalu membuat wanita tua itu berdiri termangu di depan pintu dan berharap dia datang menuntaskan segala kerinduan yang membuncah dalam dada. Dia yang tidak pernah pulang hingga Nenek Hasma putus harapan dan menganggapnya telah tiada. Dua puluh tiga tahun penantian Nenek Hasma yang sia-sia. Anak lelakinya itu hilang bak ditelan bumi. Hingga ajal menjemput, dia tidak pernah kembali. Dan kini ... Dia kembali. Kenapa baru sekarang dia datang di saat ibunya telah kembali ke pangkuan Sang Pencipta? Ke mana saja dia selama dua puluh tiga tahun ini? Apa yang dia lakukan? Apakah dia ingat dengan ibu yang selalu merindukannya? Apakah dia tahu jika dari perbuatannya di masa lalu itu telah meninggalkan benih di rahim ibu hingga lahirlah aku di dunia ini? Apaka
Kulepas pelukan pada ayah dan mengusap pipi yang basah dengan kasar saat terdengar teriakan ibu memanggil namaku. Ibu menghampiri kami dengan langkah panjang-panjang. Sorot matanya penuh amarah. Angin yang bertiup kencang menerbangkan rambutnya. "Ternyata benar kau ada di sini, Nes. Siapa dia? Kenapa kau peluk dia?" tanya ibu dengan napas ngos-ngosan. Lelaki itu menoleh dan tampak terkejut melihat ibuku. Kulihat dia mengusap keringat yang mengucur di pelipisnya. "Maaf, aku harus pergi. Sampai ketemu besok, Ines," ujarnya gugup dan berlari tanpa memandang ibu. "Tunggu, Ayah," seruku, tetapi dia acuh dan malah mempercepat langkahnya. Seruanku hanya dianggap angin lalu saja. "Ayah?" tanya Ibu dengan dahi berkerut dan nada tinggi saat lelaki itu menghilang dari pandangan. Dia mengusap keringat yang bercucuran di pelipisnya. Aku menghela napas panjang. Apakah ibu sama sekali tidak mengenali orang yang sudah menghancurkan hidupnya itu? Wajar, dua puluh tiga tahun bukanlah waktu yang