Share

Lagi-lagi Minder

"Ines dan Ramzi, kalian nggak usah pulang. Tidur saja di sini bareng-bareng," kata Bu Mila.

"Iya, Bu. Aku juga kangen tidur sama Mas Akbar." Mas Ramzi mengangguk.

What? Tidur bareng dengan para ipar dan juga ibu? Aku menggeleng.

Sebelum tidur pasti akan banyak hal yang diceritakan seperti Mbak Ulfa yang selalu menceritakan pengalaman bekerja, hartanya yang melimpah, sering liburan di mana saja, tempat makanan favorit di mana dan aku hanya bisa gigit jari karena nggak ada yang bisa diceritakan.

"Kamu kenapa, Nes? Kok mukanya pucat gitu? Nggak suka ya kalau harus tidur bareng kami?" tanya Mbak Divya. Wanita itu seolah tahu kegelisahanku.

"Enggak." Aku meringis.

"Tetapi kenapa kayak gelisah gitu?"

"Dimaklumi aja, Mbak. Pengantin baru mana mau pisah sama suami tercinta," sahut Nella seraya mengedipkan mata. Dari tadi gadis itu terus menempel di lengan sang ibu.

Pipiku menghangat, sudah pasti berubah merah. Bukan karena nggak mau pisah dari Mas Ramzi, tetapi minder. Sudah pasti nanti akan ada perbincangan sebagai pengantar tidur atau bahkan tidak tidur sama sekali saking asyiknya ngobrol dengan orang yang sudah lama tidak jumpa. Akan ada topik menarik untuk dibahas.

"Ya udah, buat pengantin baru boleh pulang dan kami janji nggak akan ganggu," sahut Mas Akbar seraya menepuk pundak Mas Ramzi.

"Bukan begitu, Mas. Aku__Aku mengedipkan mata pada Mas Ramzi. Berharap suamiku itu tahu kondisiku.

"Ines nggak bisa tidur jika banyak orang, ya?" sahut Mas Faris yang seorang dokter.

Aku menggeleng cepat.

"Ya udah nggak apa-apa," kata Mbak Divya. "Ram, ajak istrimu pulang. Aku lihat dia juga begitu lelah."

"Yah, padahal aku pingin tidur bareng Mas Akbar." Mas Ramzi mengerucutkan bibir. "Kesempatan ini sangat langka, besok kalian sudah pergi lagi."

Meski berat hati, akhirnya aku mengalah. Mas Ramzi benar, kesempatan berkumpul bersama keluarga seperti ini sangat jarang. Mereka yang sibuk hanya datang di hari raya dan ulang tahun ibu seperti saat ini. Setelah acara selesai mereka langsung pulang. Ada tanggung jawab yang menanti.

Aku menghela napas dan terus mensugesti diri kalau semua akan baik-baik saja. Ines, mertua dan kakak iparmu itu luar biasa. Mereka tidak akan menghinamu nanti.

Kamar ibu sangat luas, tetapi ternyata tidak muat jika harus ditempati lima orang apalagi ada dua anak kecil. Akhirnya kami para anak perempuan dan juga ibu tidur di ruang keluarga depan televisi dengan beralaskan karpet tebal.

Para lelaki berada di ruangan yang dulu menjadi kamar Mas Akbar. Terdengar suara riuh di sana. Sepertinya mereka sedang terlibat obrolan yang sangat seru.

Mas Ramzi, apakah perasaanmu sama denganku? Takut dan merasa kerdil saat berada di tengah-tengah mereka?

Ibu berbaring di tengah. Di sebelahnya ada Nella dan Mbak Divya bersama si kecil. Aku di sebelah Mbak Nirma yang juga terlihat begitu nyaman ngeloni anaknya. Dia posisinya sama denganku yaitu menantu, tetapi terlihat enjoy.

"Alisa ini paling nggak bisa kalau tidur tanpa boneka kesayangannya," kata Mbak Divya. Si kecil sudah terlelap dengan memeluk boneka berwarna biru karakter doraemon.

"Kalau Fara nggak pakai boneka kalau mau tidur, yang penting ada selimut kesayangannya ini. Aku sampai punya dua dengan warna dan motif yang sama biar bisa gantian," kata Mbak Nirma.

Anak yang berada di sampingnya juga sudah terlelap dengan mendekap erat selimut biru bergambar princes.

"Eh, ternyata anak kita sama-sama suka warna biru, ya?"

Aku bernapas lega. Sepanjang percakapan kami, para kakak ipar sama sekali tidak menceritakan tentang kekayaan yang ada di kota yang bisa membuatku minder dan semakin merasa kerdil. Mereka justru bernostalgia dengan cerita saat masih kecil yang sangat menyenangkan.

"Nella ini paling suka main hujan. Susah banget kalau dibilangin. Pintu sudah dikunci semua agar tidak keluar saat hujan, eh tahu-tahunya dia keluar lewat jendela. Tidak butuh waktu lama bajunya pasti sudah basah dan berlumpur."

Bu Mila bercerita dengan semangat yang disambut gelak tawa oleh kami.

"Kalau Divya selalu bermain bersama anak laki-laki. hobinya manjat pohon, sampai jatuh dan kepalanya benjol serta kaki luka sana sini tetep aja nggak kapok." Ibu melirik anaknya seraya mengulas senyum.

"Nggak nyangka Mbak Divya yang cantik dan modis ini ternyata dulu tomboy," kata Nella. "Kira-kira kecilnya kayak apa, ya?"

"Ibu__" Muka Mbak Divya memerah karena malu, kartu as-nya semasa kecil dibuka oleh sang ibu.

Ibu tertawa. "Iya, memang benar, to, kamu ini tomboy. Sampai-sampai tidak punya rok, sukanya pakai baju model cowok."

Kami kembali tertawa hingga Fara dan Alisa menggeliat karena terganggu dengan kami yang berisik.

"Ssstttt."

"Udah malam. Sekarang tidur," kata ibu.

Semua mendadak diam dan siap mengambil posisi tidur. Kulirik Mbak Divya yang menaikkan selimut hingga menutupi seluruh wajah. Mungkin sudah menjadi kebiasaannya seperti itu.

Aku menaikkan selimut hingga sebatas dada saja. Setelah membaca do'a, aku pun memejamkan mata, tetapi tiba-tiba Nella nyeletuk. "Eh, aku merasa Ibu sekarang agak gemukan, ya?"

Mbak Nirma yang ada di sampingku membuka selimut yang menutupi wajahnya. "Jelas, lah, sekarang Ibu bisa makan bakso setiap hari."

Jantungku berdegup kencang. Pipiku panas. Bagaimana jika ibu bilang kalau aku tidak memberi bakso pada ibu setiap hari seperti dugaan para ipar?

"Iya, bakso buatan Ines memang enak. Ibu sampai ketagihan," kata ibu. "Ibu yakin suatu saat nanti Ramzi dan Ines pasti sukses menjadi tukang bakso."

"Aamiin."

Whuaaa air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga mendengar ucapan ibu yang tidak menceritakan keburukanku yang tidak pengertian ini di depan anak dan menantu yang lain.

Ibu, aku janji setelah ini akan memberimu bakso setiap hari.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dr Andi Sylvia
bagus novelnya .sederhana bhsnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status