Aku pikir acara ulang tahun Ibu seperti acara ulang tahun pada umumnya yang menggunakan balon, kue ulang tahun lengkap dengan lilin sesuai dengan usia, dan segala printilannya. Akan tetapi ternyata tidak sesuai dengan dugaanku padahal aku sudah berburuk sangka. Membayangkan ibu mertua memakai balon karakter di kepala lalu meniup lilin di atas kue disertai tepuk tangan yang bergemuruh itu adalah sesuatu yang lebay menurutku mengingat ibu bukan anak kecil lagi. Konsep ulang tahun ibu mertua adalah pengajian dengan mengundang semua warga desa baik laki-laki maupun perempuan dan beberapa kerabat dekat serta anak yatim. Untuk makanannya juga pakai jasa catering sehingga tidak ada acara sibuk memasak. Semua terima beres. Ibu juga sudah menyiapkan beberapa amplop berisi uang untuk dibagikan pada anak yatim. Pantas saja hidup Bu Mila selalu damai dan bahagia. Rupanya ini salah satu rahasianya. Sedekah. Acara akan dimulai sebentar lagi. Snack box yang menggunung sudah siap. Para undangan
Aku bukanlah tipe orang yang sedikit-sedikit up date status baik di WA maupun Facebook. Kalau pun membuat status WA hanya untuk mempromosikan bakso yang kujual. Namun tidak dengan kegiatan sehari-hari yang terkadang tidak begitu penting untuk dibagikan. Beda dengan Mbak Ulfa yang rajin membuat status hingga tampilan statusnya layaknya benang jahit saking seringnya update. Mulai dari bangun tidur dalam pelukan suaminya, sarapan pagi dengan susu dan roti, mengantar anak sekolah mengendarai mobil, hingga nanti tidur lagi. Terkadang membuat status di jam 11 malam hanya berupa emoji mata melotot yang menggambarkan dirinya masih terjaga di jam tersebut. Kutatap nanar barisan huruf di layar ponselku yang baru saja dikirim Mbak Ulfa. Dahiku berkerut. Apa maksud kakak kandungku itu? Siapa yang pencitraan? Jika aku membuat status aku bahagia itu memang benar adanya. Bahagia tidak harus dengan memiliki suami dengan jabatan tinggi, naik mobil mewah, memakai tas dan baju branded, jalan-jal
"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau pernah punya pacar yang bernama Ririn, Mas?" Mas Ramzi yang baru saja datang dan masih berdiri di depan pintu kamar itu tersedak. "Pacar?" "Iya, kamu pernah punya pacar bernama Ririn, kan?" Lelaki yang memakai kemeja warna sama denganku itu melepas peci dan meletakkan di dinding yang sudah ditancapkan paku. Lalu berbalik menatapku. "Emangnya kamu pernah tanya pacarku siapa saja? Enggak, kan?" "Siapa saja?" Aku mendongak. "Apakah itu artinya punya pacar lebin dari satu?" Mas Ramzi tertawa lebar. Lalu tangannya mengusap pipiku yang masih basah. "Ini kenapa? Nangis karena merasa dibohongi? Nggak nyangka suami yang hanya terlihat tampan di matamu ini juga pernah disukai wanita lain?"Aku mengerucutkan bibir. Kusilangkan tangan di dada dan menggeser duduk."Ya ya ya, baiklah aku akan memberi tahu siapa pacarku. Awalnya aku ingin merahasiakan ini semua, tetapi aku tidak mau membuatmu terus penasaran." Mas Ramzi duduk di ranjang dan merangkulku. "
Aku memilih untuk mengabaikan pesan dari Mbak Ulfa yang masih sudah pasti akan membuat mood-ku anjlok. Gara-gara dia aku jadi berprasangka buruk terus pada mertua dan ipar. Aku yang selalu dihina dan menjadi bahan perbandingan menjadikanku tidak percaya diri dan ternyata membangkitkan rasa percaya diri itu tidaklah mudah.Seolah otakku ini sudah di-setting sedemikian rupa agar menganggap makhluk bernama mertua dan ipar menyeramkan. Aku tersenyum melihat foto dan video kebersamaan dengan para ipar. Seingatku, aku tidak punya foto satu pun kebersamaan dengan Mbak Ulfa dan Ibu serta bapak. "Wah cantik sekali gamis ini," seru ibu. Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu merentangkan gamis berwarna coklat yang merupakan kado hadiah ulang tahun dariku. Ah, aku malu mengatakan kado itu dariku karena pada kenyataannya uangnya dari ibu. Anggap saja ibu titip. Mbak Divya meraih gamis itu dari tangan ibu. " Kado dari siapa ini, Bu?" tanyanya seraya mengusap gamis itu. "Ini kado dari Ines,"
Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Begitu juga dengan para ipar yang sore ini akan berangkat kembali ke kota menjalani aktivitasnya seperti biasa. Mbak Divya terlihat cantik memakai gaun panjang polos warna ungu muda dan pashmina warna senada. Wanita itu tersenyum cerah seraya merentangkan tangan untuk memelukku. Bau harum parfum yang lembut begitu menenangkan saat aku berada dalam pelukan kakak ipar. Dia berbisik. "Aku titip Ibu, ya, Nes. Kalau ada apa-apa hubungi aku dan ingat, jangan minder lagi. Ayo, bangun kepercayaan dirimu setinggi mungkin."Aku mengangguk. Mataku berkedip-kedip untuk menahan gumpalan air yang siap meluncur. Entah sudah berapa banyak air mata yang tumpah sejak kedatangan para kakak ipar. Namun, ini adalah air mata kebahagiaan bukan kesedihan seperti saat berada di rumah bersama ayah ibu dan Mbak Ulfa. Tidak lupa Mbak Divya juga meminta anaknya yang terlihat menggemaskan itu untuk menyalamiku. Oh, lagi-lagi aku teringat dengan ponakanku--anak Mbak Ul
PoV Ulfa"Ulfa!"Segera aku menutup telinga dengan bantal saat mendengar teriakan mertua yang menggelegar. Dinding kamarku sampai bergetar karena teriakan wanita yang sudah melahirkan suamiku itu. Aku tepuk jidat saat melihat jam bulat yang terpasang di dinding baru menunjukkan pu kul enam pagi, tetapi makhluk bernama mertua sudah mulai banyak tingkah. Meski malas, aku tetap beranjak dari ranjang berukuran besar yang sangat lembut dan nyaman itu. Kulihat Mas Romi--suamiku masih meringkuk di balik selimut. Aku berjalan menuju dapur di mana sang mertua berada sebelum panggilannya kembali menggelegar dan memecahkan gendang telinga. Terdengar suara kompor dinyalakan yang disusul dengan minyak dalam wajan yang gemericik dan tidak lama terdengar bunyi bumbu yang digoreng. Hidungku mencium bau bawang goreng yang sangat harum."Selamat pagi, Ibu mertuaku sayang," ucapku ramah meski rasanya ingin muntah. Wanita bertubuh subur yang sedang sibuk dengan panci dan sotil itu menoleh ke arahku
PoV InesAku harus telepon Mbak Ulfa untuk menjelaskan kalau aku tidak pura-pura bahagia agar kakak kandungku yang sombong itu sadar kalau uang bukanlah tolok ukur kebahagiaan seseorang. "Halo, Mbak." Aku segera menjauhkan alat komunikasi sejuta umat ini dari telinga begitu panggilan terhubung. Suara Mbak Ulfa langsung terdengar seperti rentetan bom yang siap meledakkan gendang telinga. "Sedang apa kamu, Nes, sehingga tidak sempat mengangkat teleponku?" tanya Mbak Ulfa dari seberang sana dengan suara tinggi. Aku mendesah, meski hanya melalui suara karena kami melakukan panggilan saja bukan video call. Aku dapat merasakan kalau dia sedang emosi. "Ibu mertuaku ulang tahun dan mengadakan pengajian serta santunan anak yatim. Kenapa?" Terdengar suara tawa Mbak Ulfa. "Nggak usah sok pamer dengan mengumbar kebahagiaan di media sosial apalagi kemesraan bersama suamimu yang tukang bakso itu. Kalau memang mau buat status, buatlah sesuai kenyataan yang ada jangan yang berkebalikan. Hidup
"Ayo, Nes. Tunjukkan hasilnya padaku test pack itu. Nanti kalau sudah berusia empat bulan minta Ramzi untuk mengadakan selamatan dan jangan lupa kabari aku agar bisa ke sana," kata Mbak Divya antusias. Aku hanya menelan ludah dan menggaruk kepala yang tidak gatal. "Em, nanti aku juga mau ikut ngasih nama, ya?" Lanjutnya lagi. "Iya, Mbak. Tetapi aku belum lakukan tes sehingga aku belum tahu hamil atau tidak." Mbak Divya yang terlihat sedang duduk di sofa berwarna biru itu tersenyum. "Nggak usahlah pakai tes segala kalau gitu. Kata Ibu, kamu muntah. Dan itu salah satu tanda awal kehamilan. Nikmati aja. Aku juga dulu saat hamil juga kayak gitu, kok." "Iya, Mbak. Udah dulu, ya." Aku meringis. Perasaanku semakin tak enak melihat kakak ipar yang begitu berharap segera punya keponakan. Ya Allah, semoga Engkau segera memberikan amanah pada kami untuk segera memiliki momongan. Aamiin. ***Matahari bersinar terik menimpa jalanan beraspal sehingga terlihat mengilat. Aku sedang dalam perja