"Jadi, kamu sudah tahu? Apakah Murni telah menceritakan semuanya?" tanya nenek Hasma dengan tatapan menyelidik. Seorang wanita muda muncul dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat gelas berisi minuman teh yang masih mengepulkan asap dan satu toples camilan. Seiring bertambahnya usia, Nenek Hasma tidak bisa melakukan semua pekerjaan rumah sendiri sehingga ia butuh seorang asisten rumah tangga sekaligus menemaninya. "Jadi benar, Nenek tahu tentang keluargaku?" Aku balik bertanya.Wanita berusia lanjut itu menghela napas perlahan seakan mencoba meredam kalut yang bergumul di dalam hati. Ia meraih bantal kecil berwarna biru, berharap benda itu bisa memberinya sedikit rasa tenang.Waktu seolah berhenti berjalan. Aku gelisah menunggu penjelasan darinya. Jantungku berdegup kencang, bahkan aku merasa Mas Ramzi dan Nenek Hasma bisa mendengar suara jantungku yang bertalu-talu ini. "Ibuku bilang Ayah Ahsan bukan ayah kandungku dan ayahku yang sebenarnya bernama Arul. Aku penasaran apa
InesAku masih terpaku di depan pintu. Kaki ini terasa berat sekolah ditindih batu besar sehingga sulit untuk melangkah. Apalagi melihat tatapan Mbak Ulfa yang mengejek. Perasaanku mulai tidak enak. Keringat dingin mulai membasahi tubuh. Bayangan penolakan ibu datang menghantuiku. "Ines, kenapa masih berdiri di situ? Enggak kangen sama Ibu?" tanya ibu seraya berdiri dari duduknya. Seulas senyum manis ibu mertua mampu mencairkan kebekuanku, tetapi aku masih ragu untuk mendekat. Hingga Mas Ramzi menggandeng tanganku untuk mendekati ibu. Mas Ramzi mencium punggung tangan ibunya dan aku mengikutinya. Mulutku ternganga saat tiba-tiba Bu Mila menarikku ke dalam pelukan. Aroma parfum melati menguar dari tubuhnya memberiku efek ketenangan. Dari ekor mata dapat kulihat Mbak Ulfa memutar bola mata malas sepertinya dia tidak senang lihat kedekatanku dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku ini. "Kamu baik-baik saja, kan, Nes?" Bu Mila mengurai pelukannya lalu mengamatiku dari ujung kep
PoV UlfaAku sudah berada di dalam mobil bersama Zanna. Bayangan Ramzi yang menggenggam erat tangan Ines kembali berkelebat di kepala berganti dengan bayangan Mas Romi yang sering berwajah kaku dan sering marah-marah nggak jelas.Aroma harum menguar dari gelas berisi susu cokelat hangat yang baru saja kuseduh. Aku berniat mencicipinya sedikit untuk mengetahui suhunya sudah pas atau belum. Tidak kepanasan dan juga tidak kedinginan. Harus pas kalau tidak mau Mas Romi yang sedang menunggu minuman ini naik darah. "Ulfa! Kamu minum minumanku?" tanya Mas Romi dengan wajah melotot. "Jangan kurang ajar, ya?"Astaga. Aku hanya mencicipi, tetapi dibilang kurang ajar. "Dengar, ya, Ul. Aku nggak suka minumanku dijamah orang lain." Dia mendengkus sebal. "Aku hanya mencicipinya, Mas." Aku membela diri. "Pokoknya ganti, aku nggak mau minumanku ternoda oleh bibirmu. Jijik." Aku berdiri mematung. Lelaki seperti apa yang aku nikahi itu. Bekas bibir istri sendiri saja merasa jijik. Keterlaluan. P
Ulfa"Kapan kamu pulang, Fa?" tanya ibu saat aku baru saja selesai memandikan Zanna. Setelah gagal membuat Ines marah aku pulang lagi ke rumah ibuku. Aku mengerucutkan bibir dan menatap ibu yang sedang menyiapkan obat untuk ayah. " Ibu mengusirku? Nggak suka, ya, ada aku di sini? Ini rumahku juga, Bu. Kenapa harus buru-buru disuruh pergi? Aku kan masih betah?"Wanita berbaju merah itu mendesah pelan. "Ibu tidak bermaksud mengusirmu, Ul, tetapi sudah beberapa hari kamu tidak di rumah dan aku lihat Romi juga tidak pernah menghubungimu. Hubungan kalian baik-baik saja kan?"Aku tersenyum terpaksa. "Tentu saja hubunganku dengan Mas Romi baik-baik saja. Dia suami yang sangat pengertian. Aku sudah izin kalau akan lama di sini. Seharusnya hanya sampai Ibu sembuh, tetapi ayah malah kecelakaan. Aku melakukan ini karena sayang kalian. Aku hanya ingin memastikan saat pulang nanti kalian berdua sudah benar-benar sehat dan pulih seperti sedia kala."Ibu tersenyum lalu merentangkan tangan. "Duh,
poV InesJam bulat di dinding yang terletak di sebelah kipas angin sudah menunjukkan pukul sebelas kurang 5 menit. Lima puluh porsi bakso sudah siap diantar ke pelanggan yang memesan via online. Iya, selain melayani makan di tempat, bakso kami juga bisa dipesan melalui online. Senyum merekah terbit di bibir Mas Ramzi saat Pak Salim-- orang yang biasa mengantar pesanan sudah mulai berangkat dengan lima puluh porsi baksonya. Aku tahu suamiku itu sangat lelah, tetapi dia masih memiliki semangat kerja membara demi sebuah mimpi yang harus kami capai bersama. Dahiku berkerut saat motor yang dikendarai Pak Salim sudah kembali, tetapi baksonya masih utuh. Rasa penasaran yang menggebu membuat kami berlari menghampiri lelaki berkaus oblong warna hitam itu. "Ada apa, Pak? Kenapa baksonya masih utuh?" tanya Mas Ramzi. "Nggak jadi diantar? Nanti pemesannya sudah menunggu, lho."Segera kuambilkan teh hangat saat menyadari wajah lelaki itu terlihat pucat. Setelah menyesap minuman yang kuberika
"Bu Mila, menantunya ini dikasih tahu kalau mau ambil baju itu jangan yang baru. Baju yang ini baru dipakai sekali sudah diambil aja," ujar wanita itu dengan bersungut-sungut. "Iya, saya minta maaf," kata ibu. Mulutku ternganga. "Kenapa Ibu malah minta maaf? Aku sama sekali nggak tahu kenapa baju bayi itu bisa ada di dalam tas padahal aku tidak mengambilnya." Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu tersenyum yang menyejukkan hati ini. "Tidak ada ruginya kita minta maaf meski tidak bersalah. Minta maaf bukan berarti kita kalah, bukan?" "Alah, ngaku aja kalau memang kamu yang ambil? Memangnya baju bayi ini punya kaki sehingga bisa masuk sendiri ke dalam tas apa?" kata wanita yang entah namanya siapa itu sinis. Aku menghela napas, sekadar untuk menguras rasa sesak di dada ini. Bagaimana bisa menjelaskan kalau aku benar-benar tidak tahu menahu kenapa baju bayi bergambar bunga itu bisa berada di dalam tas kecilku. Di kamar itu pastilah tidak ada CCTV yang dapat menjadikan bukti untuk
Aku menekuri gundukan tanah merah yang masih basah dan bertaburkan bunga mawar yang didalamnya berbaring jasad Nenek hasma itu. Bulir bening menetes membasahi tanganku.Bayangan Nenek Hasma yang selalu murah senyum dan harus tinggal sendiri di hari tuanya itu membuatku sedih. Masih teringat dengan jelas saat beberapa waktu lalu ia memintaku untuk tinggal bersamanya, tetapi kutolak dengan halus. Aku mendongak dan memejamkan mata, seandainya aku tahu dia akan pergi secepat ini pasti permintaannya akan kuturuti. Di depanku juga ada Tri--pembantu Nenek Hasma. Wajahnya sembab, kesedihan tidak dapat ia sembunyikan di raut wajah ayunya itu. Dia bilang, Nenek Hasma sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri, begitu juga dengan Nenek Hasma, Tri yang berwajah cantik itu sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Keduanya saling menyayangi. Wajar jika Tri merasa begitu kehilangan. Sebuah tangan mendarat di pundakku. Aku menoleh, Mas Ramzi tersenyum padaku. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku dan me
[Nes, Ibu kangen]Aku menggosok mata perlahan dan menatap tajam barisan huruf yang tertera di layar ponsel yang sedang kupegang ini. Kedua mataku masih berfungsi dengan baik, bukan?Ibu berkirim pesan saja sudah membuatku heran, apalagi isinya seperti itu. Takutnya aku salah baca. Namun, hingga sekian lama aku menekuri, tulisan itu masih belum berubah dan aku memang tidak salah lihat. Isi pesan ibu kangen disertai emot senyum bertabur love terpampang nyata di depanku. Aku memejamkan mata. Belum sempat kubalas, ponselku kembali berbunyi. [Datang ke rumah, ya, Nes]Aku menghela napas panjang. Dia selalu mengabaikanku, tetapi sekarang memintaku datang. Haruskah aku balik mengabaikan?Bagaimana kalau setelah sampai aku tidak diterima atau diusir seperti yang biasanya? Tetapi, dia yang meminta, bukan? Aku berjalan mondar-mandir seperti setrika. "Jangan mengabaikan perintah ibu," kata Mas Ramzi yang seolah tahu kegundahan hatiku. "Jadi, menurut Mas aku harus datang?" Imamku itu ters