Home / Rumah Tangga / Kain Basahan Basah Di Kamar Mandi / Part 01: Kain Basahan Basah

Share

Kain Basahan Basah Di Kamar Mandi
Kain Basahan Basah Di Kamar Mandi
Author: Pemanis Aksara

Part 01: Kain Basahan Basah

last update Last Updated: 2022-05-12 10:10:43

Kain Basahan Basah di Kamar Mandi

Part 01: Kain Basahan Basah

"Pa, kok ada di rumah? Bukannya tadi sudah berangkat ke kantor?" cecarku dengan heran. Aku menautkan satu alis ke atas.

"Ada yang ketinggalan," jawabnya santai.

"Semuanya sudah kusiap 'kan tadi. Kenapa masih ada yang ketinggalan," tanyaku kembali.

"Sudahlah jangan banyak tanya. Berkas ini sangat penting buat meeting siang ini bersama klien kita, Ma. Maka dari itu, aku pulang mengambilnya," jawab Rusly dengan santai sembari membereskan kemeja dan dasinya.

Tiba-tiba, aku kebelet ke kamar mandi, aku terkejut kain basahan basah di kamar mandi dan yang lebih mengejutkan lagi tetesan airnya masih deras menetes. Lantai dan dinding kamar mandi masih setengah kering. Tidak hanya itu, botol shampo yang tidak pernah aku beli dan pakai ada di tempat sabun. Merk shampo ini biasa dipakai perempuan. Cuma aku perempuan di rumah ini. Nggak mungkin Bu Ijah pakai shampo merk ini.

"Papa baru selesai mandi ya?" tanyaku menyelidiki sambil keluar dari kamar mandi.

Masih kuingat suamiku duluan mandi daripada aku. Kenapa kain basahan ini basah? Otakku terus berpikir kejadian yang sangat aneh menurutku.

"Mandi! mau pipis saja nggak sempat, Ma. Aku pulang ke rumah mau ambil berkas ini saja, nggak lebih," jawab Mas Rusly sambil memperlihatkan map batik. Dia menuju meja rias. Kemudian duduk dan meletakkan map itu di atas meja rias. Sesekali dia menyisir rambutnya.

Aku melangkah masuk kembali ke dalam kamar mandi. Tidak buang-buang waktu, aku mencari tahu kebenaran yang telah terjadi.

"Ini shampo siapa Pa?! Dan Kenapa kain basahan ini basah?" tanyaku dengan bertubi-tubi.

Kubawa botol shampo itu menghampiri Rusly yang sedang duduk di meja rias. Dia asyik menyisir rambutnya dan sesekali melirik ke arahku.

Seketika wajah Rusly berubah merah. "Ma! Bisa nggak sih, nggak curiga samaku. Kalau aku mau selingkuh sejak dulu bisa. Mana mungkin aku mengkhianatimu, Ma!" jawabnya mulai emosi.

Nada suaranya sudah mulai naik dan tidak seperti biasanya. Rasa curigaku mulai meronta untuk membuktikan suamiku selingkuh atau tidak. Namun, aku masih bisa menahan diri untuk bermain cantik.

"Aku masih ingat betul kamar mandi yang aku tinggalkan seperti apa, Pa! Shampo ini nggak ada tadi. Mana mungkin perempuan lain mandi di sini kalau bukan kamu yang bawa, Pa!"

Aku tersulut emosi, rasanya aku ingin menampar wajah suamiku dengan keras. Ternyata aku tidak bisa menahan amarah dan rasa curigaku pada suamiku.

"Belakangan ini mama selalu curiga setiap gerak-gerikku. Aku risih dengan tingkahmu, Ma."

"Wajar dong aku menaruh curiga sama papa. Kebiasaan papa jauh berubah semenjak naik jabatan."

Rusly berpikir sejenak, dia baru sadar kalau aku selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya.

"Berubah apanya, Ma?! Perasaan aku biasa saja. Pikiranmu saja yang berlebihan dan terlalu menaruh curiga padaku," ucapnya pergi melangkah turun ke bawah. Langkah kakinya sangat cepat menapaki anak tangga.

"Aku belum selesai ngomong Pa! Tolong jelaskan apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku!"

Aku terus berusaha mencari kebenaran yang ada. Aku yakin, suatu saat kebusukan suamiku pasti tercium juga.

"Nggak ada rahasia yang aku sembunyikan, Ma! Sudahlah aku mau pergi ke kantor, takut terlambat."

Rusly terus melangkah dan sambil mengotak-atik ponselnya. Tidak berapa lama, dia memasukkan gawainya ke saku celananya. Dia fokus berjalan dengan cepat.

Aku melihat map batik tinggal di atas Meja rias. Aku mengayunkan kakiku menghampiri map itu lalu kuambil. Mataku melotot melihat ada sehelai rambut panjang dekat map tersebut.

'Nggak mungkin rambutku, aku cuma memiliki rambut pendek, itu pun sebahu. Rambut siapa?' gumamku sembari memperhatikannya dengan seksama.

Kukejar Rusly sambil membawa map dan sehelai rambut tersebut. Langkah kakiku sengaja aku percepat.

"Pa ... Pa ... Mapnya ketinggalan," teriakku memanggil sembari mengejarnya.

Dia tidak menggubris panggilanku. Aku heran seketika, katanya berkas dalam map ini penting buat bahan meeting. Kenapa map-nya ketinggalan tidak dihiraukannya? Pertanyaan ini muncul di benakku.

Rusly berhenti tiba-tiba, ponsel miliknya berdering. Dia merogoh kotak perseginya dari dalam saku celananya. Tidak butuh waktu lama, dia menjawab panggilan telepon tersebut.

[Sayang aku lupa membawa shampoku di kamar mandi. Takut kalau Nesya menaruh curiga kepada hubungan gelap kita. Merk shampo itu bukan sembarangan orang pakai,] ucap wanita itu di ujung sana.

Kebiasaan suamiku kalau menerima panggilan telepon, dia selalu mengaktifkan speakernya. Sehingga aku dapat mendengar isi percakapan suamiku dengan lawan bicaranya.

Deg!

Jantungku berdegup kencang, darahku mulai mendidih mendengar ucapan perempuan yang baru saja bicara sama Rusly, suamiku.

[Sudah aman kok sayang, untung saja aku bisa bersilat lidah. Pokoknya kamu tenang saja. Nggak bakalan ketahuan kok sama istriku,] jawab Rusly dengan santai.

Suamiku tidak tahu kalau aku sekarang menguping di belakangnya. Kebiasaan buruknya masih saja melekat pada dirinya yaitu kalau menelpon selalu mengaktifkan speakernya. Itu sebabnya aku mendengar jelas ucapan mereka via telepon.

[Usai meeting kita lunch di tempat biasa ya, sayang. Aku klepek-klepek sama kamu. Pokoknya aku nggak bisa jauh dari kamu, sayang.]

Suara perempuan itu kembali menggoda suamiku. Darahku mendidih mendengar kata sayang. Suamiku masih saja santai dan belum mengetahui kalau aku di belakangnya.

"Pa! siapa wanita itu?! Kenapa bisa dia memanggil sayang, jawab Mas!" amukku, rasa emosi sudah tidak terkontrol sehingga kurobek map batik itu di depannya.

"Mama! Kamu sudah gila ya?! Itu berkas sangat penting buat karierku. Kenapa di robek?" ucap Rusly sambil menampar jidatnya.

Ponsel miliknya masih saja melekat di daun telinganya sebelah kiri. Tidak berapa lama, sambungan telepon terputus.

"Lebih bagus jabatan kamu biasa-biasa saja daripada seperti ini, Pa! Betul pepatah mengatakan, semakin tinggi pohon itu semakin kencang angin menerpanya. Papa juga seperti itu, semakin tinggi jabatan kamu semakin banyak wanita lain di luar sana mulai menggodamu!"

Plak!

Sebuah tamparan menepis di wajahku. Aku mengelus pipi mulusku yang baru saja panas karena pukulan yang diberikan Rusly padaku.

"Kamu jahat, Pa. Aku tidak menyangka kamu setega ini memperlakukanku. Sudah banyak bukti yang aku temukan satu hari ini. Mulai dari kain basahan yang basah, botol shampo, sehelai rambut panjang dan kamu telah terang-terangan menjawab telepon wanita lain dengan nada mesra. Papa kira aku bakalan diam dengan semua bukti yang sudah cukup jelas."

"Terus kamu mau apa?!"

Rusly bukannya tidak merasa bersalah malah dia semakin melawan. Dia tidak tahu diri, kalau asal muasalnya kariernya naik dan cemerlang berkat usahaku.

"Aku mau cerai, Pa!"

"Tidak bisa."

Rusly berkacak pinggang sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Kalau kamu nggak mau, aku akan menggugat cerai kamu, Pa!"

"Berani kamu menggugat ceraiku, hidupmu akan melarat. Kamu nggak tahu siapa aku sekarang. Aku bisa mencampakkan kamu laksana sampah tidak berguna."

Rusly sudah berani melawan. Dia sudah merasa hebat, sehingga bisa berkata seperti itu.

"Silahkan Pa! kalau kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang sudah lama bersamamu. Aku menerimamu apa adanya mulai dari nol, sekarang kamu sukses dan kaya raya malah mencampakkan aku laksana sampah tak berguna. Kamu kira aku diam, kita lihat saja siapa yang bakalan menderita dan menyesal."

Sudah saatnya diriku bangkit untuk melawan kekejian suamiku.

"Kamu itu cuma wanita biasa. Hidupmu sekarang bergantung kepadaku. Kalau aku tidak memberi uang kepadamu, mana bisa kamu makan."

Rusly lupa kalau aku bekerja dan menjadi wanita karier.

"Kamu lupa kalau aku punya penghasilan sendiri. Aku ini sudah bekerja."

"Oh iya, aku lupa. Kalau kamu itu karyawan biasa."

Rusly mengukir senyum smirk. Dia sangat bahagia melihat aku mati kutu dan tidak bisa menjawab lagi.

"Sayang ...!" suara wanita terdengar jelas membuyarkan perang dingin antara aku dan suamiku.

"Kamu ...," ucapku terjeda dengan mulut menganga.

Bersambung ....

Next?

Jangan lupa singgah ke ceritaku yang berjudul "Kubalas Kesombongan Selingkuhanmu Lunas" Sudah tamat. Jadi bisa baca marathon.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Laki2 emang bangsat kl udah merasa mampu, anjing emang minta disunat habis tu barangnya biar nggak berfungsi
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kain Basahan Basah Di Kamar Mandi   Season 2: Part 101: Pengantin Batu Stok Lama

    "Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na

  • Kain Basahan Basah Di Kamar Mandi   Season 2: Part 100B: Ziarah

    Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s

  • Kain Basahan Basah Di Kamar Mandi   Season 2: Part 100: Kapan Aku Menandatanganinya

    "Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in

  • Kain Basahan Basah Di Kamar Mandi   Season 2: Part 98C

    Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel

  • Kain Basahan Basah Di Kamar Mandi   Season 2:

    Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti

  • Kain Basahan Basah Di Kamar Mandi   Season 2: Part 99A: Berakhir di KUA

    "Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status