Share

2. Para Naga Primordial

Ruangan dengan sofa dan televisi layaknya ruang tamu di dunia tekhnologi modern, sepasang kekasih sedang bercanda ria di sana. Suara gelak tawa keduanya mengisi ruangan yang cukup kecil itu, namun tiba-tiba terhenti. Getaran terjadi.

Merasakan tanda-tanda layaknya gempa, mereka langsung bergegas keluar. Karena terburu-buru, mereka tidak menyadari adanya portal yang berada tepat di depan pintu. Walau sempat berpegang pada gagang pintu, namun daya hisap portal begitu kuat, membuat tangannya tergelincir dan terhisap portal. Tidak ada yang bisa keduanya lakukan selain saling memeluk agar tidak terpisah.

Begitu sadar, sang gadis sudah berada di sebuah tempat yang sepenuhnya berwarna putih. Karena tidak menemukan keberadaan kekasih di sampingnya, ia langsung berdiri, menoleh dengan cepat ke segala sisi.

"Al?... Al!... Al!?" teriaknya beberapa kali namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Tidak hanya dirinya sendiri, di sana ada 4 orang wanita lainnya dan 5 laki-laki. Kondisi dan pakaian yang mereka kenakan berbeda-beda, seakan berasal dari zaman dan peradaban yang berbeda. Dari salah satu wanita, ada yang terduduk lemas dengan mata terbelalak dan air mata mengalir di pipinya. Gadis berambut putih, kekasih dalam ingatan Akara, namun mengenakan pakaian yang begitu lusuh.

Wanita ketiga sangatlah cantik, mengenakan pakaian tertutup berwarna hitam, dengan rambut hitam keunguan. Raut wajahnya nampak serius dengan garis mata yang tajam, namun ia hanya duduk diam penuh ketenangan.

Gadis keempat tidak kalah cantiknya, mengenakan gaun merah muda layaknya seorang putri, namun ada sepasang pedang kayu hitam di punggungnya. Matanya melebar begitu melihat para gadis lainnya, bahkan mengulurkan tangan seakan ingin memanggil mereka. Sedangkan gadis kelima mengenakan gaun putih sederhana, dengan bercak darah dan gaunnya yang berlubang di perut serta punggungnya. Walaupun begitu, tidak ada luka di perut dan punggung mulusnya. Ia berjalan perlahan mendekati gadis keempat sambil mengulurkan tangannya dan berkata.

"Alice?"

***

Kembali pada altar di dalam kawah gunung. Wanita itu lalu bangkit dari singgasananya, tatapannya begitu tajam dan menakutkan, ditambah lagi seekor ular Naga yang kepalanya berada tepat di atasnya, bergerak mengikutinya.

"Ahaha aku mirip dengan ibumu ya?" Ia malah tersenyum begitu riang. Hawa menakutkan di sekitarnya seketika berubah menjadi begitu ramah dan bersahabat, bahkan ular Naga api raksasa menghilang begitu saja. Akara hanya bisa diam mematung, dengan mulut sedikit terbuka dan alis yang mengkerut ke dalam.

"Komo sudah bercerita tentang dirimu, Regera. Namaku Rani, walau nama dan penampilanku sama dengan ibumu, tapi kami berbeda. Hahaha, aku belum punya anak, bahkan terpisah dengan kekasihku..." keceriaannya berubah cepat menjadi kesedihan, namun segera menggelengkan kepala pelan dan tersenyum kembali.

Glekg... Batu yang mengunci kaki dan tangan Akara pada altar terbuka, membuatnya terjatuh hingga bersimpuh di lantai.

"Maaf karena mengikatmu, energi api di dalammu begitu kuat, akan sangat menyulitkan jika kehilangan akal seperti roh api di luar sana." Rani melambaikan pelan jari-jari tangan ke atas, membuat energi api menyelimuti Akara dan membantunya berdiri.

"Terima kasih!" ucap Akara. "Tempat apa ini sebenarnya?" lanjutnya sembari kembali menyapu pandangan.

"Domain api, dimensi yang berdampingan dengan dunia nyata, dunia makhluk roh yang tidak memiliki tubuh fisik. Portal yang muncul di luar merupakan satu-satunya jalan menuju dunia fisik," jelas Rani.

"Kalau begitu, kenapa masih di sini!?" seru Akara seakan membentak, membuat Rani tersenyum tipis dan menurunkan alisnya sebelum berkata.

"Portal memiliki ukuran yang berbeda, aku tidak bisa keluar dengan portal biasa...." Kesedihan di wajahnya kembali berubah dengan cepat dan berkata dengan senyuman. "Sebaiknya kau menyesuaikan diri dengan energi di sini sebelum menuju dunia fisik..." Ia terdiam saat menyadari pemuda itu terpaku oleh penampilannya, raut wajah ceria kembali berubah menjadi tajam dan berkata dengan pelan namun mencekam.

"Apa yang kau lihat!?"

Akara tersenyum sambil berkata. "Di tempat yang seperti neraka ini, tidak aku sangka ada kilauan berlian yang sangat inda..."

Jwesh!... Rani telah berdiri tepat di depannya, membuat gaun apinya merumbai begitu indah terhembus lembut oleh angin. Senyum menyeringai mengembang di bibir merahnya, disusul sorot cahaya merah dari pupil matanya yang berubah bentuk layaknya mata naga. Raut wajahnya datar, namun dengan sorot mata yang tajam, ia kembali berkata.

"Perhatikan ucapan dan pandanganmu, percayalah aku dapat membunuhmu hanya dengan menjentikkan jariku!"

Akara terhentak, dia menunduk dan mengamati dada kirinya sendiri. Matanya ikut bercahaya, berubah menjadi mata naga dan nampaklah isi dadanya. Belenggu energi api dengan untaian pola rumit telah menyelimuti jantungnya. Mata naganya kembali padam saat ia menoleh ke depan, melihat Rani yang telah membelakanginya dan sudah berada beberapa meter di depannya. Dengan ayunan lembut jari telunjuknya, wanita itu membuat tubuh Komo melesat ke arah Akara dan kembali berjalan dengan begitu anggun.

"Tunggu!" seru Akara setelah menangkap tubuh Komo, membuat Rani menghentikan langkahnya.

"Di mana tempat untuk istirahat dan adakah makanan?"

Dengan masih membelakanginya, Rani menjawab. "Tidak ada apapun selain Magma dan tanah gersang, kita hanya perlu menyerap energi alam tanpa memerlukan makanan."

Akara tersenyum sambil menjentikkan jarinya. Beberapa kotak kayu muncul, berisikan penuh dengan gading, sayur dan buah-buahan. Rani langsung menoleh dengan cepat, sekilas ia terbelalak kagum, namun dengan cepat berubah menjadi tatapan tajam ke arah Akara.

Swush!... Ia seketika berada di depan pemuda itu, bagaikan hembusan angin dengan kobaran api tipis yang mengusap gaunnya.

"Regera..." Ia memainkan jari-jari di salah satu tangannya dengan kobaran api merah yang menggeliat. "Pertukaran apa yang kau inginkan?"

Akara masih tersenyum, berdiri tenang beberapa jengkal di depannya lalu menjawab dengan ramah. "Aku hanya ingin berterima kasih."

Walaupun begitu, Rani masih menatapnya dengan tatapan datar, tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Mengetahui dirinya tidak dipercaya, Akara menghilangkan senyuman di bibirnya dan kembali berkata.

"Aku telah kehilangan ibuku, aku tidak akan berbuat buruk dengan seseorang yang mengingatkan kerinduanku kepadanya."

Api yang berkobar di tangan Rani padam, lalu berbalik badan dan berkata. "Sepasang pedang kayumu masih berada di tempatmu pingsan." Ia lalu melangkah maju dan memeriksa bahan makanan yang ada.

"Terima kasih!" Akara tersenyum lebar, lalu mengangkat Komo dalam genggamannya.

"Apa maksudnya Regera!?" bisiknya dengan sedikit geram.

"Tidak mungkin aku sebutkan nama aslimu bukan?" jawab Komo ngotot, lalu mengibaskan ekornya hingga Akara melepaskan genggamannya. Begitu lolos, ia langsung melompat di atas pundak tuannya.

Akara hanya bisa menghela napas, lalu mengulurkan tangannya ke salah satu sisi dan energi segera menyelimutinya. Beberapa saat kemudian terdengar hembusan angin dari arah tangannya menunjuk, bahkan membuat Rani yang sedang jongkok menoleh. Sepasang pedang kayunya melesat begitu cepat, hingga menciptakan suara gesekan udara dan mendarat di tangan pemiliknya.

Melihat Akara yang memeriksa sepasang pedang kayunya, Rani berdiri dan mendekat sambil berkata. "Apa hubunganmu dengan pemilik pedang itu?"

Akara cukup terkejut dan cukup bersemangat ketika berseru. "Ma... Ratu Api kenal dengan Lisa!?"

"Yah, beberapa kali bertemu," jawabnya seraya mengulurkan jari-jari lentiknya ke arah kedua pedang kayu.

Cllrrrt!... Kilatan listrik merah muda keluar dari pedang, menyambar tangan Rani. Walau tidak melukainya, namun menghalaunya menjauhi pedang.

"Reaksi gadis itu sangat mirip denganmu saat pertama kali kami bertemu," ucap Rani sembari menarik kembali tangannya, membuat Akara mengerutkan keningnya merasa bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status