Share

Kaisar Dewa Regera
Kaisar Dewa Regera
Author: Aldho Alfina

1. Neraka?!

Author: Aldho Alfina
last update Last Updated: 2023-11-06 20:52:18

Neraka, mungkin kata yang tepat untuk menyebut dunia yang gelap dan berselimutkan api. Memiliki awan yang terlihat kemerahan, menahan cahaya api agar tidak tertelan kegelapan langit. Tepat di bawah gunung berapi yang terus memuntahkan lelehan lava, kekacauan terjadi. Ribuan roh api berkerumun. Makhluk berupa gumpalan api berbentuk manusia dengan sepasang mata merah menyala.

"Manusia?" suara berat keluar dari mulut iblis api, makhluk yang sama dengan roh api, namun memiliki cakar tajam dan bagian wajah yang lengkap dan menakutkan. Para roh api menjaga jarak darinya, namun ada seorang manusia di depannya.

Pemuda berumur 20 tahunan, jaket kulit hitam yang ia kenakan telah berlubang di berbagai tempat, namun tidak ada luka sedikitpun pada tubuhnya. Memiliki wajah tenang tanpa ekspresi, dengan rambut panjang yang disisir satu arah ke samping hingga menutupi jidat dan telinganya. Ia telah memasang kuda-kuda, sambil menggenggam sepasang pedang kayu hitam yang sudah mengkristal. Tanah yang ia pijak begitu gersang, bahkan diselimuti oleh api, namun tidak membakar tubuhnya sedikitpun.

"Akara, lebih baik menghindar, energiku sudah habis!" bisik seekor Drake, makhluk bertubuh layaknya Naga Eropa tanpa sayap, dengan barisan duri tajam dari kristal ungu di punggung hingga ekornya. Ukuran tubuhnya hanya sebesar tokek, bertengger di pundak tuannya.

"Apa yang kau lakukan Komo?" gumam Akara saat menyadari ada aliran energi melewati belakang punggungnya hingga menyentuh tanah.

"Bersiap kabur saja!"

Akara lalu melirik perlahan ke samping, mencari celah di antara para roh api yang terlihat ketakutan. Sedangkan Iblis api sedikit memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri, mengamati pemuda di depannya dengan seksama. Matanya kemudian menemukan sebuah titik kecil yang diselimuti kobaran api di dalam dada Akara.

"Energi yang begitu murni..." Ia terpukau hingga menjulurkan tangan, seakan ingin meraihnya. Akan tetapi...

Jleg!... Tanah di bawahnya mencuat, bongkahan kristal keunguan menelangkup tubuhnya dari tiga sisi seperti kerucut. Momen itu digunakan Akara dengan baik, ia langsung melesat menjauh, meninggalkan hembusan angin yang menggulung api.

Sedangkan Komo seakan sedang mengejan, menahan kristalnya agar tidak hancur. Dengan suara tertahan, ia berseru.

"Cepat pergi ke puncak gunung berapi! Energi di sana terlihat lebih pekat!"

"Aku juga tau!" Akara menatap lurus dan serius ke arah puncak gunung berapi, namun tidak kehilangan fokus akan lautan roh api yang ada di depannya. Makhluk yang hanya mengandalkan insting layaknya zombie, melesat dan menerjang ke arahnya. Pedang kayu hitamnya ia ayunkan begitu luwes, membelah tubuh roh api seperti sebuah roti.

Krek!... Kristal yang menahan iblis api mulai retak, membuat Komo panik dan berteriak.

"Cepat Akara!"

Namun beberapa saat kemudian... Crang!... Kristal hancur sepenuhnya, dibarengi tubuh Komo yang terkulai lemas di pundak tuannya. Iblis api mengaum, dengan serpihan kristal di sekitarnya yang berjatuhan dan bergetar akibat aumannya. Setelah itu ia menyapu pandangan, mencari keberadaan mangsanya. Melihat Akara yang menyerang roh api dan berlari menuju gunung, mata merahnya sontak melotot tajam dan kobaran api seketika menyelimuti tubuhnya.

"Jangan pergi ke tempat itu!" teriaknya sambil melompat lurus ke atas dan mengayunkan kepalan tangannya.

Jwush!... Ia meluncur ke arah Akara bagaikan bola api. Menyadari iblis api mengejarnya, Akara menyentil tubuh kecil Komo hingga terlempar masuk ke tudung kepalanya, lalu melompat dan berlari di atas roh api. Walau pergerakannya jadi semakin cepat, namun tidak lebih cepat dari iblis api.

Bomb!... Iblis api menghujam, membuat ledakan cukup besar hingga membuat para roh api terlempar. Wush, hembusan energi menerpa kepulan asap dan debu, memperlihatkan cekungan tanah dari serangannya. Akan tetapi, ternyata Akara berhasil meloloskan diri, ia berlari semakin dekat menuju lereng gunung. Hal itu membuat iblis api geram sekaligus resah, ia langsung berlari seperti orang panik dan berteriak.

"Jangan mendekatinya!"

Pemuda itu tidak menggubrisnya, sedangkan Komo kembali merangkak perlahan di pundaknya. Akan tetapi... Wush!... Ada gelombang energi begitu kuat menerpa, hingga membuat Komo kembali terlempar.

"Portal?" ucap Akara seraya menoleh ke samping, tepat di pusat munculnya gelombang energi. Sebuah portal layaknya pusaran air yang gelap, dengan retakan kehampaan di sekitarnya. Ia langsung mengubah haluan, begitu juga dengan para roh api.

"Portal milikku!" Iblis api berteriak, dengan satu hentakan kuat membuatnya melesat lebih cepat. Hal itu membuat Komo yang kembali merangkak keluar jadi panik dan berteriak.

"Cepat bocah!"

"Berisik!" Ia melirik sekilas, melihat iblis api yang begitu cepat mendekat dan langsung mempercepat langkahnya. Portal kurang dari 10 meter di depannya, begitu juga iblis api di belakangnya yang sudah mengepalkan tangan.

"Portal itu..." Iblis api mengayunkan tangan ke belakang, membuat kobaran api berpusat di tangannya. "Milikku!" Ia memukul ke arah depan, mengincar Akara, namun pemuda itu sudah menyentuh portal.

Brak!... Tanpa disangka, Akara terhentak seakan menabrak dinding transparan pada portal. Hal itu membuat pukulan yang dilayangkan iblis api, melesat tepat di pipinya. Ia langsung terpelanting, terlempar belasan meter menjauhi portal.

Sedangkan Iblis api mendarat tepat di depan portal, mengusap pelan portal di depannya, lalu menoleh ke arah pemuda yang kesulitan berdiri di tanah tandus dan berkata.

"Aku ingin mengambil esensi pada jiwamu, namun portal kebebasan menungguku!" Ia lalu menoleh ke arah puncak gunung berapi dan berkata.

"Yang Mulia, saya persembahkan esensinya untuk anda!" Ia langsung melesat masuk dan portal segera mengecil hingga akhirnya lenyap.

Kepergian iblis api ditambah kondisi Akara yang melemah, membuat para roh api segera melesat ke arahnya. Walaupun tertatih-tatih, pemuda berjaket hitam itu berusaha berjalan menuju gunung berapi. Pukulan tadi tidak menyebabkan luka bakar di pipinya, namun masih ada darah yang merembes di ujung bibirnya. Baru beberapa langkah, tubuhnya terhuyung dan pandangannya mulai kabur. Mengetahui ada yang aneh dengan tuannya, Komo langsung berteriak.

"Akara! Bertahanlah!" Ia terus memanggil namanya, namun lama kelamaan suaranya tidak terdengar lagi hingga akhirnya matanya menutup dan...

Bruk!...

****

Di sebuah gua yang seluruh sisinya berupa gletser es kebiruan, seorang pria bertubuh kekar berlari terbirit-birit.

"Yang Mulia! Yang Mulia!" teriaknya sembari menoleh ke belakang dengan ketakutan. Akan tetapi, beberapa saat kemudian...

Gleng!... Sesuatu menghantam tubuhnya dengan kuat, menyebabkan getaran hebat pada gua hingga membuat kristal es berjatuhan. Diselimuti kepulan kabut es yang perlahan mulai menghilang, berdirilah seseorang di tempat pria tadi. Tubuh kekar pria sebelumnya telah terbenam di dalam es, tepat di bawah kaki pemuda yang muncul. Seorang pemuda yang tengah menggendong gadis berpipi tembem. Jaket kulit hitam yang ia kenakan telah berlubang di beberapa tempat, memperlihatkan luka bakar pada tubuhnya. Darah segar bahkan menetes di bawahnya, bukan dari luka di tubuhnya, namun dari gadis di gendongannya. Gaun putihnya yang sederhana telah ternodai oleh darah dan dengan sebuah lubang besar, tepat di punggung hingga menembus perutnya.

Tatapan mata Akara yang penuh amarah sekaligus kesedihan, tiba-tiba terbelalak saat melihat sosok yang ada di depannya. Tubuhnya gemetaran, bahkan sempat terhuyung dan kehilangan tenaga sesaat, namun segera berdiri tegap kembali dan mempererat pelukannya. Di depan sana ada seorang gadis cantik berambut putih, mengenakan gaun berwarna putih kebiruan. Dengan raut wajahnya yang terlihat acuh tak acuh, ia sedang memandangi wanita yang terangkat dalam cekikan tangan kanannya. Wanita yang juga berambut putih, namun mengenakan gaun layaknya api yang menyelimuti tubuhnya. Wajahnya pucat dan sama seperti gadis dalam pelukan pemuda itu, tidak ada tanda-tanda kehidupan darinya. Bibir pemuda itu berkedut, lalu terdengar suara yang bergetar saat ia mengucap.

"Sayang, apa yang kamu lakukan kepada Mama?"

***

"Hhaahh hahhh hahh!" Akara terbangun dengan napas yang tak beraturan dan keringat bercucuran di wajahnya. Tubuhnya terlentang, kedua tangan dan kakinya terikat pada altar batu berbentuk lingkaran dengan posisi berdiri. Setelah napasnya kembali teratur, ia lalu menyapu pandangan ke sekelilingnya. Ia berada di atas altar melingkar, tepat di atas kawah. Beberapa meter di depannya sudah kawah magma dengan api yang menari-nari, sedangkan lebih jauh lagi ada dinding tinggi layaknya tebing dan ketika melihat ke atas, nampaklah langit gelap dengan rona merah. Saat ia masih mencerna apa yang terjadi, tiba-tiba altar batu yang mengikat tubuhnya bergerak.

Gleg!... Altar memutar dan berubah haluan. Ia begitu terbelalak saat melihat seekor ular Naga raksasa yang melingkar di pusat altar, mengelilingi sebuah singgasana yang diselimuti oleh api. Duduklah seorang wanita cantik yang mengenakan gaun merah panjang merumbai dan diselimuti oleh api. Tangan kirinya melipat di depan, menggenggam Komo si naga tanpa sayap. Tidak menyakitinya, bahkan tangan kanannya mengusap lembut kepala Komo.

Sedangkan di sisi lain, Akara masih terbelalak, bahkan air mata mengalir di pipinya. Melihat wanita yang sama dengan wanita yang ia lihat di dalam ingatannya.

"Mama Rani?..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kaisar Dewa Regera   133. Aliansi baru

    Tempat yang abstrak, berlatar belakang cahaya berbagai warna dari awan panas Nebula di kegelapan angkasa, Dewa Penempa membungkukkan badannya di hadapan tiga gumpalan bercahaya. Dengan sopan dan waspada, ia menjelaskan tentang pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi yang memojokkannya. "Jadi, apa maumu?" tanya salah satu leluhur. Sambil sedikit menunduk, Dewa Penempa menjawab dengan lembut. "Mohon maaf, Fraksi Cahaya Ilahi di mata warga sudah bisa dikatakan hancur, bahkan banyak masalah yang terus terjadi. Mungkin sudah seharusnya kepemimpinan Fraksi diganti.""Kondisikan klan Vasto, kami akan segera memanggilmu kembali!" ujar salah satu leluhur, dan Dewa Penempa segera melebur, digantikan dengan seorang pria bermahkota sayap emas. "Ronas memberi salam kepada leluhur!" Ia sedikit menunduk seperti yang dilakukan Dewa Penempa sebelumnya. "Ronas, tiga lentera jiwa tetua Fraksi telah padam, apa yang terjadi?!" Ronas menjawab dengan tenang.

  • Kaisar Dewa Regera   132. Semua siasat

    "Regera, kau telah mengalahkanku!" Luce kembali terkekeh, tapi ia segera tersedak saat bilah pedang kayu mengganjal mulutnya. Sebutir pil melesat begitu saja memasuki tenggorokannya. "Tidak perlu kau sembuhkan lukaku!" seru Luce saat ganjalan di mulutnya terlepas. Namun, ia segera menyadari bahwa itu bukanlah pil penyembuhan. Segel belenggu langsung menyala di jantungnya. Melihat Luce tidak menunjukkan tanda-tanda melawan, sepasang pedang kayu segera melebur di udara. Ia lalu berteleport menuju para Dewa lainnya berada, disusul oleh kilatan cahaya emas yang membawa Luce. Ternyata kegaduhan terjadi. Pria bertanduk ranting menyandera Luwang, padahal tubuhnya telah babak belur penuh luka bakar. Cakar tajam telah melingkar di leher pemuda Sheva bertanduk emas, untung ditahan oleh bilah cakar di lengannya. Tangan lain juga menahan lengan Dilvo satunya. Dewa lain nampak ragu untuk bertindak, dan kedatangan Akara menjadi harapan untuk mereka. Namun,

  • Kaisar Dewa Regera   131. Kekalahan Luce?

    Cukup lama awan panas Nebula memenuhi domain, hingga akhirnya, luapan energi berhenti, bahkan malah kembali ke titik ledakan. Para Dewa hanya bisa menyapu pandangan penuh kebingungan, dan dalam hitungan detik, mereka dapat melihat kegelapan lagi. Awan panas Nebula telah sepenuhnya terhisap. Seketika para Dewa tertegun melihat apa yang menghisap semua itu. Sebuah lubang hitam raksasa, yang terlihat cahaya di pinggirnya dan menggaris, membelahnya. Itu cahaya energi yang terhisap dari kesepuluh esensi surgawi. Daya hisap yang luar biasa yang dapat menelan cahaya, tidak heran jika kesepuluh esensi mulai bergerak. Mereka terhisap, membuat Akara segera melempar dua butir pil ke mulutnya dan menyalakan seluruh auranya. Aura Naga sejati, ranah Jiwa Suci dan aura Alkemis tingkat delapan. Ia langsung melakukan segel tangan. Energi pelindung segera terbentuk di sekitar Esensi surgawi, menjadi sepuluh pilar yang puncaknya mengurung Esensi surgawi. Kesepuluh pilar juga segera saling terhubung d

  • Kaisar Dewa Regera   130. Supernova menelan lara Dewa

    "Sialan kau Dilvo! Berani-beraninya kau mengusik jasad ayahku!" Luwang sangat geram saat melihat tubuh Dewa bertanduk emas setengah sabit, yang tidak lain adalah leluhur Raja Sheva. Di samping leluhur, Sheva bertanduk ranting langsung terkekeh. "Majulah kalian semua!" Dewa Farz segera mendekati Luwang dan dengan tatapan masih tertuju pada lawan mereka, ia lalu berkata. "Kau lawan Dilvo, biar aku yang menahan leluhur Raja Sheva. Tidak perlu memaksakan diri, tahan saja sampai tuan Regera menjalankan rencananya!" Farz lalu menoleh ke arah dua Dewa Fraksi lainnya. "Jika dua Dewa Sheva lainnya tidak bergerak, kalian tidak perlu ikut campur!" "Baik Dewa Farz!"Ketegangan terjadi pada kedua belah pihak, bahkan belum sempat melesat, dimensi di sekitar mereka melebar, seakan ditarik dari kedua sisi. Dalam sekejap, mereka melesat dengan kecepatan cahaya. Memasuki lubang cacing dalam kekosongan. Pertarungan tidak terlihat dari luar, ta

  • Kaisar Dewa Regera   129. Akara vs Luce

    Dalam dimensi yang hampa dan hanya mendapatkan cahaya dari bintang neutron, titik berkumpulnya kesepuluh energi esensi surgawi. Pusaran energi berwarna emas telah menyala di belakang Akara dan di atasnya, ada lingkaran dengan ukuran lebih besar, memiliki pola rumit berwarna hitam. Aura ranah Jiwa Suci, ditambah aura Naga sejati yang menggelegar, memutar pelan hingga dimensi seakan tertarik energinya.Namun, itu tidak sebanding dengan apa yang ada di depannya. Ia bagaikan sebuah titik kecil dibandingkan sosok Naga raksasa yang tubuhnya berselimutkan cahaya. Keempat kaki berototnya melebar, dengan cakar tajam yang mencengkram dimensi. Sayapnya membentang tak terkira, dengan lekukan-lekukan yang tak kalah tajamnya. Lehernya meliuk, menurunkan kepalanya yang garang dengan deretan gigi dan tanduk tajam. Tepat di atas tulang hidungnya, Luce duduk jegang dan bersandar penuh keangkuhan. Melihat kesepuluh Esensi surgawi dan domain yang sangat luas, Dewa

  • Kaisar Dewa Regera   128. Inti Cahaya Primordial

    Sebelum peperangan dengan Dewa klan Sheva, Dewa berpakaian emas mendatangi sebuah tempat yang dipenuhi reruntuhan melayang. Lempengan-lempengan batu beterbangan, tapi tak pernah sekalipun bertabrakan. Di wilayah yang terisolir dari reruntuhan melayang, ada sebuah portal. Bukan pusaran yang gelap, tapi pusaran putih keemasan penuh cahaya yang indah. Begitu memasukinya, ia langsung menyipitkan mata, tersorot oleh cahaya yang lebih terang. Saat mulai bisa beradaptasi, terlihatlah sebuah titik seperti matahari, tapi dengan luapan energi yang sangat dahsyat. "Inti Cahaya Primordial?!" gumamnya cukup terkejut, tapi segera menemukan keberadaan seseorang dalam kekosongan penuh cahaya itu. Pemuda tampan yang sedang bersila, dengan pakaian minim dari cahaya hingga tubuh atletisnya yang bersih terlihat. Namun, di antara keindahan itu, berserakan mayat yang tak terhitung jumlahnya. Aliran energi dari tubuh mereka keluar, menuju ke dalam tubuh Luce. Ia menghisap ene

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status