Share

3. Naga Api yang misterius

Tepat di tengah altar yang dikelilingi oleh kawah, Akara duduk bersila di sana. Energi bagaikan selendang sutra yang begitu lembut, mengalir dari sekitar gunung menuju ke tengah kawah. Seluruh energi itu berkumpul pada sebuah tungku Alkimia, berbentuk oval dengan ukiran dan ornamen yang indah menyelimutinya. Tungku yang terbuat dari kristal hitam keunguan itu berdiri di atas kobaran api hitam pekat layaknya bayangan yang bergejolak.

Pemuda berjaket hitam itu nampak begitu fokus mengendalikan aliran energi dan kobaran api dengan kedua tangannya yang menjulur ke depan. Tidak berselang lama, aliran energi yang tenang bagaikan selendang sutra menyebar, seakan ditahan agar tidak memasuki tungku. Beberapa saat kemudian, pilar energi mencuat dari tungku, menyeruak awan merah di atas sana, bahkan menghembuskan gelombang energi ke segala arah. Energi yang menggetarkan seluruh benda yang dilewatinya, disusul menyusutnya pilar energi dengan cepat, menyisakan lubang pada awan merah dan menampakkan langit yang gelap gulita.

Dengan otomatis bagian atas tungku Alkimia terbuka, menghembuskan asap putih yang membuat Akara tanpa sadar menghirup napas dalam-dalam, menikmati betapa harum aroma yang dikeluarkan. Beberapa titik cahaya terlihat dari dalam tungku yang masih diselimuti asap tipis, membuat Akara menepiskan tangannya pelan, membuat hembusan angin yang menyapu asap putih. Kini nampaklah dengan sempurna titik cahaya yang ternyata sebuah pil, berbentuk lingkaran sempurna dengan ukuran lebih kecil dari kelereng. Cincin energi menyelimuti masing-masing pil itu, layaknya cincin planet Saturnus yang bergerak cukup cepat.

Akara lalu mengibaskan tangannya kembali, membuat pil melayang ke arahnya dan menuju kotak kayu kecil di sampingnya. Saat itulah Komo mendekatinya. Makhluk seperti naga tanpa sayap yang seukuran kadal itu melompat di atas pangkuannya.

"Mama Rani ke mana?" ujar Akara dibarengi aliran energi yang melebur di udara karena kotak pil ditutup olehnya.

"Sedang pergi memeriksa sesuatu.... Kita berada di masa ribuan tahun lalu, bagaimana rencanamu kedepannya?" Komo melompat ke pundaknya, namun tuannya malah merebahkan tubuhnya dan membuat kadal itu terlempar. Tatapan Akara begitu tajam saat memandangi awan berlubang yang dibuatnya, lalu berkata dengan penuh semangat.

"Akan aku ubah masa depan yang tragis itu!" Ia menjulurkan tangannya ke atas dan segera diselimuti oleh kabut energi dingin. Es berwarna kebiruan terbentuk, menyebar hingga menyelimuti jari-jemari hingga lengannya dan membentuk seperti cakar naga. Ia lalu kembali berkata.

"Mama Rani adalah Ular Naga Api dan ayah Al memiliki kekuatan ruang waktu, namun energi dingin ini sudah ada dalam tubuhku sejak kecil. Energi ini juga beresonansi dengan Lina. Ntah apa yang sebenarnya terjadi dan apa perselisihan antara mama Rani dan Lina, tapi aku harus mencegahnya!"

"Hmph! Memangnya apa yang bisa kau ubah?" gumam Komo yang berjalan kembali mendekat, suaranya cukup lirih hingga tak terdengar jelas oleh tuannya.

"Ada apa Komo?" ucap Akara sembari bangkit dan duduk bersila.

Komo lalu rebahan, melingkarkan tubuhnya di samping tuannya dan berkata. "Lisa, gadis yang kalian bicarakan kemarin, kau sering memuji kecantikannya, memangnya seperti apa dia?"

"Kau akan tau saat bertemu dengannya. Kalau mama Rani pernah bertemu dengannya, kemungkinan besar dia juga salah satu dari mereka." Akara tersenyum sambil menatap kekosongan, seakan membayangkan kecantikan yang mereka bicarakan.

"Tapi reaksinya?!" seru Komo membuat Akara menoleh dan menghela napas sebelum menjawab.

"Kita hanya berharap, semoga saja dugaan kita benar...."

Wush... Hembusan angin lembut membuat Akara menoleh ke samping, menemukan Rani yang muncul tiba-tiba dengan gaun apinya yang merumbai indah tersapu angin.

"Apa yang kamu buat?" Berbeda dengan terakhir kali, reaksinya kali ini kembali begitu ramah penuh keceriaan. Ia mengamati tungku Alkimia dan menoleh dengan cepat ke arah beberapa kotak kayu di samping Akara.

"Hanya memurnikan beberapa pil untuk mempercepat penyerapan energiku." Akara meraih salah satu kotak dan menunjukkan isinya. Aroma semerbak yang langsung menyebar membuat Rani seketika meraihnya dan menghirup aromanya lebih dekat.

"Wangi sekali! Boleh aku coba?!"

Akara hanya mengangguk dan Ratu Api itu langsung memasukkan pil dalam mulutnya. Beberapa saat setelah ia menelannya, energi meluap dari dalam tubuhnya layaknya hembusan angin yang membuat tubuhnya melayang di udara. Gaun api dan rambut hitamnya melambai-lambai, disusul kilatan listrik merah yang merambat perlahan ke atas, bagaikan ranting pohon yang memenuhi seluruh langit-langit kawah. Ujung aliran listrik tertahan di ketinggian yang sama, menyebar bagaikan benang rajut yang dengan cepat membentuk suatu aura. Aura Naga berwarna merah menyala, memiliki 5 lapisan cincin yang membentang menutupi kawah.

Akara dan Komo cukup kagum saat mengamati aura yang begitu indah, namun tiba-tiba.... Gleng!... Hantaman kuat terjadi saat aura Naga terbentuk sempurna, membuat Akara dan Komo tersungkur membentur lantai. Tekanan yang sangat kuat bahkan meruntuhkan bebatuan di lereng kawah, hingga membuat kawah magma yang bergejolak menjadi menyusut.

Rani kemudian membuka matanya, menemukan Akara dan Komo yang tertanam dalam batu altar. Ia langsung menutup aura Naganya dan tubuhnya turun secara perlahan sambil berkata.

"Ehehe maaf!" Ia terlihat begitu polos saat menyadari kesalahannya, tersenyum canggung sambil menggaruk pipinya menggunakan jari telunjuk.

Akara segera bangkit, meninggalkan lubang layaknya cetakan yang membentuk tubuh tengkurapnya. Akan tetapi, tubuhnya masih begitu letih dan memilih mengambruk di samping lubang. Ia terlentang dengan napas terengah-engah, lalu Ratu Api mendekat sambil meringis seperti bocah sambil berkata.

"Hehe, tidak apa-apa?"

Akara malah terkekeh, lalu mengacungkan jari jempol tanpa mengucap satu katapun.

Hari terus berganti, begitu lama waktu berlalu untuknya menyesuaikan diri dengan energi di alam itu. Pemuda itu masih mengenakan jaket hitamnya yang dipenuhi lubang, duduk bersila di tengah altar. Tungku Alkimia berada di depannya tanpa ada api yang menyala, sedangkan kotak pil sudah berserakan di sekitarnya. Energi yang mengalir juga mencangkup area yang lebih luas, bahkan alirannya jauh lebih besar daripada sebelumnya.

Di sisi lain alam roh api, ada sungai magma yang mengalir menuju ngarai dalam. Magma mengalir jatuh layaknya air terjun, menciptakan percikan api yang menyebar begitu magma menghantam dasar ngarai. Tepat di atas genangan magma, berdirilah sangkar dengan jeruji api, mengurung seekor iblis api di setiap sangkar yang tidak terhitung jumlahnya. Kebanyakan dari mereka duduk diam di tengah sangkar, namun ada juga yang agresif, terpancing oleh kekacauan di luar. Kekacauan yang melibatkan ribuan roh api, makhluk berwujud manusia yang abstrak itu saling menyerang dan memangsa satu sama lain.

Seperti prajurit yang diberi komando, tiba-tiba mereka serentak diam. Suara kekacauan yang memekikkan telinga telah berubah menjadi keheningan sempurna.

"Yang Mulia!" Para iblis api berlutut, menghadap ke arah yang sama, air terjun magma. Seseorang melayang, membelakangi gemerlap cahaya dari percikan magma. Gaun dan rambutnya berkobar begitu indah, sedangkan sorot matanya menyala merah yang menakutkan.

Penghuni salah satu sangkar berbeda dengan iblis api lainnya, ia memiliki tubuh manusia. Pemuda yang duduk jegang dengan sandaran jeruji api tanpa terbakar, mengenakan celana panjang dan kemeja hitam, dengan tidak adanya beberapa kancing bagain atas hingga dada bidangnya terlihat. Iris matanya berwarna hijau toska, dengan bagian luar yang pada umumnya putih, namun miliknya berwarna hitam pekat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status