LOGINAngin malam di menara pengamatan membawa hawa dingin yang aneh, seolah langit belum selesai bergolak. Bintang Putih yang bergeser pada malam ritual masih berada di posisi baru. Diam namun memancarkan cahaya lembut yang terasa menekan dada siapa pun yang memandanginya.
Tetua He menatap bintang itu lama, lalu menghela napas berat.
“Kita tidak tahu,” katanya jujur. “Tapi yang pasti, keseimbangan sudah terganggu. Dan kedua jalur itu … terikat padamu, Yang Mulia.”
Ia menunjuk Bintang Putih. “Satu milik Putri Bulan. Satunya lagi … belum muncul.”
Shangkara memandangi langit dengan tatapan kosong. Cahaya merah dan putih itu tampak seperti dua garis takdir yang belum bersentuhan. Ia mengepalkan tangan. “Kalau begitu …” Shangkara menarik napas perlahan, “siapa pemilik takdir kedua
Lian menahan napas di balik celah batu yang sempit. Dari kejauhan, suara langkah menggema di aula kuil. “Lian,” suara Ravia terdengar dingin, menggema di antara pilar batu. “Aku tahu kau belum pergi jauh.” Lian menelan ludah. Ia merapatkan tubuh ke dinding, menahan gemetar. Pasir di lantai berderak pelan, seolah merespons langkah Ravia. Suara itu terlalu dekat. Terlalu tenang. Ia menggeser tubuhnya sedikit, meraba dinding di sekelilingnya. Jarinya menyentuh permukaan batu yang berbeda—lebih halus, penuh ukiran tua yang nyaris terhapus waktu. Ia terus merayap pelan di lorong sempit itu, menggeser tubuhnya beberapa senti lebih dalam. Udara di sini pengap, berbau debu tua dan sesuatu yang busuk. Cahaya dari aula utama tidak bisa menembus masuk, memaksanya meraba-raba dalam kegelapan total. Setiap pergerakannya menyiksa. Rusuknya yang memar bergesekan dengan dinding batu, menciptakan rasa nyeri y
Di ruangan altar Kuil Tua, saat Ravia menyentuh dahi Lian, rasa sakit tajam menghantam kepala Lian. Pasir di lantai kuil bergetar pelan, mengikuti irama yang tidak bisa ia pahami. Lilin-lilin ungu di sekeliling ruangan menyala stabil, nyalanya tenang. Ravia berdiri di hadapannya. “Tenanglah,” kata wanita itu lembut. “Ini cuma sakit sedikit,” katanya, seolah rasa sakit adalah hal sepele. Lian menggertakkan gigi. Ia mencoba menggerakkan jarinya. Tidak bisa. Tubuhnya terasa terlalu berat. Ia mencoba mengangkat kakinya. Gagal. “Tidak perlu melawan,” bisik Ravia. “Aku hanya mengubah arah.” “Takdir bukan benda,” desis Lian. “Kau tidak bisa mengarahkannya sesukamu.” “Tentu saja bisa.” Ravia tersenyum tipis. “Aku membentuk jalurnya.Padahal kau angin—tapi kau memilih diam. Kau tahu?” Ia mendekat ke telinga Lian. “Angin bisa mendorong gadis bulan itu menjauh, atau menarik Kaisar ke pelukanmu. Tapi kau …,” Ravia memutar jarinya di dahi Lian. “... malah bermain dengan pengawal itu.”
Pagi itu, Istana Vermilion tidak diselimuti duka, melainkan ketidaksabaran.Daiyu sudah mati, tapi Dewan Tetua belum puas.Mereka mencium sesuatu—bukan kebenaran, melainkan kesempatan.Guru Fen membuka pintu kamar pribadi kaisar.“Yang Mulia, Dewan memanggil sidang darurat. Mereka gelisah soal pemakaman Daiyu. Mereka menuntut pemeriksaan formal.”Shangkara membuka mata, pelan. “Tentu saja,” gumamnya. Ia berdiri. Kakinya sempat goyah, tapi ia menegakkan punggungnya sebelum siapa pun sempat melihat.Guru Fen menatapnya cermat. “Kau akan kesana?”“Aku Kaisar,” jawab Shangkara. “Kalau aku tidak muncul, mereka akan mencium kelemahan.”Ia melangkah pergi.Matahari sudah tinggi ketika pintu Ruang Dewan terbuka.Para Tetua yang sejak tadi ribut menuntut penjelasan langsung terdiam.Shangkara melangkah masuk. Ia mengenakan jubah kebesaran Vermilion lengkap dengan mahkotanya. Wajahnya meman
Di titik ini, mungkin ada yang berpikir: “Kok ceritanya jadi sepi?” Atau lebih jujur lagi: “Ini nggak serame dulu.” Kabar baiknya: kalian tidak salah. Kabar buruknya: Luna juga tahu. Bab-bab terakhir ini memang agak berat dan datar. Tidak ada kemenangan besar. Tidak ada ledakan panjang yang memuaskan. Yang ada justru orang-orang yang pergi diam-diam, kalah tanpa tepuk tangan, dan memilih keputusan yang rasanya salah di mata siapa pun—kecuali diri mereka sendiri. Sebagai penulis, ini bagian yang paling tidak ramah pembaca. Dan mungkin, paling tidak ramah untuk Luna sendiri. Karena jauh lebih mudah menulis adegan hebat daripada menulis konsekuensinya. Lebih mudah membuat karakter menang, daripada membiarkan mereka tertinggal, tertipu, atau terluka tanpa bisa membalas. Kalau semua ini terasa tidak “rame”, itu karena cerita sedang berhenti memanjakan. Luna paham jika ada yang berhenti di sini. Luna juga paham jika ada yang bertanya-tanya apakah cerita ini kehilangan arah. Ya
Bilah angin pertama Lian melesat.Ravia mengangkat tangan sedikit. Pasir dari botol di pinggangnya keluar seperti cambuk yang menepis bilah angin. Cambuk pasir itu mengenai bilah angin Lian dan serangan itu buyar seketika.Lian tidak menahan diri. Ia memutar tubuhnya, menyalurkan Qi yang dimilikinya ke ujung-ujung jari.Angin berdesing tajam, membelah udara lembap di Hutan Barat.Puluhan bilah angin melesat serentak ke arah Ravia, cukup tajam untuk memotong batang pohon di hadapannya.Ravia tidak bergeser sejengkal pun. Ia hanya tersenyum tipis, mengeluarkan pasirnya lagi dari botol yang menggantung di pinggangnya.Pasir itu bergerak cepat. Dalam sekejap mata, pasir itu memadat di
Cailin mendorong pintu kamar Lian di Istana Timur.Hening.“Lian?” panggil Cailin, suaranya memantul kosong.Tidak ada jawaban.Kamar itu sunyi. Jendela tertutup rapat. Namun, ada sesuatu yang salah. Kamar ini terlalu rapi. Seprei di ranjang masih rapi sempurna, seolah tidak pernah ditiduri semalaman.Firasat Cailin langsung menajam.Matanya menyapu ruangan. Lemari pakaian sedikit terbuka.Firasat buruk merayap di punggung Cailin. Ia melangkah cepat ke meja tulis. Di sana, di bawah bak tinta batu yang sedikit bergeser, tampak ujung kertas putih menyembul.Dengan tangan gem







