"Jadi kau bukan Maden?"
"Tentu saja bukan." ini suara Emily. Pria itu hanya mengangguk tanda mengiyakan, sementara Aden sendiri kembali menampilkan raut sedihnya.
Emily sungguh tidak peduli dengan suasana hati Aden, meski saat sedih dia mirip seperti anak kecil yang kehilangan permennya. Emily tidak tahu saja yang dirasakan Aden lebih dari itu.
Sebelum Emily berkata lagi, pria itu lebih dahulu berbicara. "Namaku Edgar. Kau sendiri mengapa di sini? Tempat ini terlalu berbahaya bagimu."
Melupakan rasa sedihnya, Aden menjawab. "Mungkin bagi kalian ini terdengar konyol. Tetapi ini memang faktanya,"
Aden menjeda kalimatnya sebentar. Emily tampak gusar, menyuruh Aden agar segera mengatakannya. "Cepat bocah!"
"Aku hidup kembali."
"Apa?"
"Beberapa saat yang lalu aku mati karena luka tembak. Dan entah mendapat keajaiban darimana, aku hidup kembali. Tetapi bukan dalam wujudku yang dahulu, melainkan aku menyusut. Yah seperti yang kalian lihat sekarang."
Dan benar saja mereka berdua melongo, tak paham. Dalam hati mereka sedikit meragukan apakah Aden ini orang waras.
Tiba-tiba Aden jadi teringat sewaktu bertemu dengan Edgar tadi. "Kau bisa membaca pikiranku?"
Edgar menggeleng. "Tidak. Aku hanya menebaknya."
"Lalu mengapa kau bisa tahu soal aku yang tersangkut ranting, dan pertarungan wanita penunggang beruang?" nah kan, pasti kalian juga ingin tahu.
"Aku memang mengintip Emily dan tak sengaja melihatmu yang juga mengintip sama sepertiku. Terus aku mengikutimu. Tak kusangka sewaktu ingin mendarat lukaku terbuka, sehingga aku kehilangan keseimbangan." jelas Edgar sambil menunjuk ke perutnya yang memang terdapat sedikit darah.
Detik berikutnya, Emily melayangkan pukulan di perut Edgar. Edgar meringis pelan. "Mengapa kau memukulku!"
"Masih nanya mengapa? Apa kau tuli? Aku sudah mencarimu ke mana-mana! Dan tadi bukannya langsung menemuiku kau malah mengikutinya!" pandangannya mengarah ke Aden.
"Apa kau cemburu?" Edgar tersenyum. Emily langsung berpose ingin muntah.
"Eh bukankah seharusnya kau mengetahui keberadaanku?"
"Kau lupa kekuatanku sekarang seperti apa?" Emily menjelaskannya dengan sinis. Pasti Edgar pura-pura lupa dan berniat mengejeknya.
Sebenarnya untuk merasakan hawa keberadaan tidaklah sulit. Level awal pun juga sudah bisa. Hanya saja, Edgar menyembunyikannya. Dan untuk mengetahuinya mereka haruslah berada di level tertentu.
Aden yang tidak mengerti apa yang Duo E itu katakan cuma menyimak. Tetapi dia harus menghentikan pembicaraan itu begitu melihat darah yang merembes makin banyak. "Mad eh Edgar, sebaiknya lukamu diobati dahulu. Apa kalian punya kotak obat?"
Edgar menggeleng. Emily menyingkap baju Edgar memperlihatkan lukanya. Meski dia kesal pada Edgar, hanya dia satu-satunya orang yang dia kenal dan tahan dengan segala sikapnya untuk saat ini. Emily lalu menuangkan cairan berwarna hijau dari sebuah botol dan secara perlahan luka itu menutup. Emily meraih kain untuk membersihkan sisa darah.
Aden terbengong. Penyembuhan ini sangat mengejutkan baginya. Di dunianya luka seperti ini pasti akan membutuhkan waktu juga agar bisa benar-benar pulih. Tetapi, itu hanya butuh beberapa saat. Mungkin si Emily ini ...
"Kau penyihir?"
"Ini botol embun. Cairannya bisa menyembuhkan luka." jelas Edgar. Aden ber oh. Pikirnya embun itu yang biasanya ada di atas daun sehabis turun hujan saat malam. Padahal bukan.
"Kalau begitu boleh aku minta?" siapa tahu Aden membutuhkannya nanti. Tetapi Emily menolak mentah-mentah, malah memarahinya juga. Astaga, apa salahnya?
Padahal dia hanya meminta botolnya saja. Embunnya biar dia sendiri yang mengumpulkannya.
Sebenarnya dia berniat ingin merampasnya saja. Tetapi dia sadar itu tidak mungkin. Dia tidak ingin terkena hunusan pedang atau pecutan cambuk milik Emily.
"Selain harganya yang mahal, untuk mendapatkan cairannya juga tidak mudah."
Oke, Aden nurut saja sama Edgar. Tunggu saja dia pasti akan mencurinya dari Emily saat wanita itu lengah.
"Lalu kau habis darimana?" tanya Emily akhirnya.
"Gunung ...."
Aden tidak mendengarkan mereka. Mengingat keduanya memiliki kemampuan di luar kata normal, pasti di dunia ini juga banyak yang seperti mereka. Dan dia yang bukan penduduk asli sini pasti akan menjadi mangsa empuk. Tidak!
Telinga Aden yang mendengar kata melintasi waktu keluar dari mulut Emily, langsung sadar dari lamunannya. "Kau tadi bilang apa?"
"Aku akan memberi bayaran yang layak jika Edgar berhasil menjual ramuanku di pelelangan."
"Kau sendiri tidak tahu itu ramuan apa, mana mungkin aku menjualnya!" ucap Edgar kekeh tidak mau.
"Bilang saja penyakit apapun akan sembuh dalam sekali minum." saran Emily.
Edgar memijit pelipisnya. "Kau bahkan bukan alkimia, yang seenak jidatmu mencampur bahan-bahan obat yang kau temukan. Kalau ketahuan reputasiku akan buruk."
"Jangan biarkan mereka menguji ramuannya dahulu agar tidak ketahuan." Emily masih keras kepala ingin menjualnya.
Aden menghentikan perdebatan itu. "Yang kumaksud kalimat sebelumnya."
Lalu Emily mengulangi kalimatnya hingga apa yang ingin didengar Aden terlontar.
"Soal pusaka mustika yang bisa digunakan untuk melintasi waktu?"
Aden mengangguk cepat.
"Apa kau tertarik dengan benda ini?"
Aden, Nugi, dan Mizu bersiap. Ketiganya berdiri di depan Wuzu dan Lin. Aden mengacungkan pedang, menatap si pemimpin serigala. Serigala itu menggeram melihat mata Aden, merasa seolah-olah bisa mengalahkannya dengan mudah. Nugi dan Mizu saling lirik. Masing-masing membatin akan menunjukkan siapa yang bisa mengalahkan serigala itu lebih banyak lalu mengambil posisi sebagai ketua. Hanya dengan lirikan itu, keduanya seperti merasa sedang berlomba dan berlari maju bersamaan. Beberapa serigala itu pun maju. Mereka melewati Aden karena berpikir dia bagian sang pemimpin. Nugi mengeluarkan tombak serta cambuknya. Kali ini dia akan menggunakan dua senjata itu. Berbeda dari Aden, serigala itu tidak akan berpikir secerdas manusia. Mereka hanya mengandalkan kemampuan bertarung dan bertahan di alam bebas. Dari tiga serigala yang menyerangnya, Nugi berhasil menumpas dua diantaranya. Dia memakai trik yang sama sewaktu bertarung dengan
Pagi ini, para siswa baru sudah berada di lapangan. Masing-masing membawa tas di punggung yang berisi senjata, bekal, serta obat-obatan. Kemarin Zidi berpesan agar mereka membawa obat untuk berjaga-jaga, karena setelah mereka masuk dia tidak mungkin membuntuti mereka dan menolong apabila sesuatu terjadi. Namun, untuk kasus tertentu mereka boleh menyalakan api warna sebagai tanda bahaya. Api warna itu semacam petasan kembang api, namun tidak meledak. Jika dilepaskan ke langit maka akan terlihat warna merah dan kuning. Sebelum mereka berangkat, Zidi memberi kantung penyimpanan untuk wadah tanaman obat yang mereka dapatkan. Batas waktu sampai pukul lima sore. Jadi mereka harus sudah berkumpul kembali di lapangan sebelum waktunya habis. "Siapa yang menjadi ketua?" tanya Mizu melihat kelompoknya. Matanya menilai mereka satu persatu, lalu menghembuskan napas. "Tidak ada yang pantas selain aku." ucap Mizu menunjuk dirinya sendiri. Rautnya agak terbebani, ked
Suasana kelas pagi ini tidak berbeda seperti dua hari yang lalu. Zidi masih saja menyulitkan siswa baru dengan serangkaian tindakan yang didasarkan atas statusnya sebagai guru. Dan mereka sebagai murid tentu harus menurutinya. Hampir sepuluh hari mereka dilatih keras oleh Zidi. Banyak yang mengeluh karena latihannya berat. Bagaimana tidak, Zidi terus membuat mereka menggerakkan tiap bagian tubuh mereka. Alhasil tiap pulang mereka akan kelelahan. Meski begitu, mereka bisa dikatakan beruntung. Karena dari rumor yang ada, angkatan yang dilatih oleh Zidi kebanyakan menghasilkan murid yang hebat. Salah satunya Kirin. Oleh karena itu kemarin Kirin berani menghentikan Zidi yang hendak menampar Yilu. Bagi Zidi Kirin merupakan murid favoritnya, jadi dia tidak begitu perhitungan saat amarahnya mereda. Latihan-latihan yang diajarkan Zidi merupakan tingkatan ketiga dari tahap dasar. Seperti melihaikan gerakan senjata yang dipakai, menggunakannya untuk bertarung d
Kirin melihat token itu sekali lagi, lalu bertanya, "Apa dia mengetahui tentang ini?""Tidak." jawab Edgar cepat, "Ah, namun dia memang ada di sana saat Emily memberikan token itu padaku. Meski begitu dia belum sempat melihatnya." tambah Edgar.Dahi Edgar berkerut, dia mencoba mengingat kembali kejadian dua malam yang lalu.FlashbackMalam ini, awan putih terlihat bergumul di langit. Awan-awan itu bergerak pelan tertiup angin. Udara malam ini tidak terlalu dingin, jadi menguntungkan bagi mereka yang bertugas jaga. Beruntungnya juga hujan tidak turun, padahal beberapa hari terakhir jam-jam segini sudah hujan deras.Kali ini giliran berjaga sampai dini hari merupakan tugas Edgar. Dia bersama dua guru lain dan lima murid senior dibagi menjadi empat kelompok. Kemudian mereka pergi ke arah yang sudah ditentukan.Hampir empat jam lamanya, mereka ke
"Lili." gadis itu memperkenalkan diri. Senyum manis lagi-lagi tak pernah luput dia sunggingkan."Apa kita pernah bertemu?" tanya Aden.Lili terlihat syok karena Aden tidak mengingatnya, sementara Jin menatap keduanya bergantian. Apakah si Lili salah satu fans Aden?Aden benar-benar tidak ingat siapa Lili. Baru saat Lili mengatakan mereka bertemu di padang rumput beberapa hari lalu, Aden ingat."Kita ternyata satu angkatan, ya." Lili mulai bicara karena ketiganya kompak tidak ada yang membuka percakapan. Daripada canggung, bukan?Jin mengiyakan. Dia menanyakan darimana asal Lili. Siapa tahu dia kenal. Lagipula mana bisa dia mengabaikan Lili yang cantik itu."Aku dari Kerajaan Sheng," sahut Lili.Mata Jin terbuka lebar, "Apa kau seorang putri?"Jin begitu terkejut saat Lili menganggukkan kepalanya. Bagaimana dia bisa melewatkan daftar gadis yang bisa menjadi calonnya?Tak!"Aduh!" Jin mengusap dahinya yang terkena r
Yang diucapkan Nugi benar. Besoknya, Aden berada di kelas yang sama dengan Jin dan Nugi. Ini hanya sementara, kalau Edgar sudah selesai dengan urusannya maka Aden dilatih langsung olehnya.Untuk tahun ini, jumlah murid hanya tiga puluh orang. Sangat sedikit ketimbang tahun yang lalu. Sudah jelas ini disebabkan ujiannya. Kalau ditotal dari keseluruhan, murid yang diterima kurang dari sepuluh persen.Seperti yang dikatakan kemarin, mulai sekarang mereka akan berlatih. Entah bisa dibilang keberuntungan atau kesialan, murid baru yang sekarang diajar oleh Zidi.Jubang merahnya dia tepuk-tepuk sebentar, kemudian menaruh kedua tangannya di belakang. Menghitung berapa murid yang sudah duduk.Matanya agak menyipit kala melihat tiga orang yang menonjol datang. Ya, siapa lagi kalau bukan Aden, Nugi, dan Jin. Mungkin kelihatannya Jin hanya pelengkap, namun Jin juga memiliki latar belakang dari keluarga kerajaan meski bukan pangeran. Bangku yang tersisa ada lima. Dua