Share

Murid Edgar

"Lupakan saja bocah!"

Dahi Aden berkerut. "Mengapa?"

Lagi-lagi Edgar yang menjelaskan dengan sabar, karena sudah pasti Emily tidak mau bersusah payah. Menurutnya tidak ada gunanya juga jika Aden tahu.

"Benda itu tidak ada satupun yang pernah melihatnya. Yah bisa dikatakan seperti dongeng yang diturunkan ke generasi oleh para leluhur. Konon, barangsiapa yang bisa mendapatkan mustika itu mereka juga bisa menduduki puncak hierarki. Beberapa orang pun ada yang tertarik untuk memilikinya. Jadi mereka mencari ....."

"Bagaimana mereka mencarinya kalau tidak ada yang pernah melihat seperti apa benda itu?" tanya Aden memotong ucapan Edgar.

"Banyak tanya kau!" geram Emily. Dia lantas mengambil sesuatu dari balik bajunya dan melemparkannya ke Edgar. Aden tidak tahu apa itu, karena Edgar langsung memasukkannya ke kantung.

Setelahnya, Emily memanggil Max yang sejak tadi di pinggir sungai dan akan mencebur ke dalam untuk menangkap ikan yang lewat. Max baru mendekat ke Emily setelah memakan hasil tangkapannya tadi. Emily lalu naik ke punggung Max.

"Aku pergi. Jangan cari aku lagi." ucap Emily lalu menghilang di balik rimbunan pohon.

Aden senang tentunya karena dia sangat tidak suka dengan Emily. Akhirnya dia bisa bersama Edgar—ah apa matanya rabun? Mengapa dia melihat Edgar yang tersenyum samar ke arah perginya Emily?

Edgar yang sadar Aden menatapnya, menyimpulkan kalimatnya tadi. "Intinya hanya mereka yang merasa sangat kuat, yang berani berpikir untuk mencari mustika itu."

Benar juga apa yang dibilang Edgar. Makin berharga suatu benda, maka makin banyak pula yang ingin menginginkannya. Kalau nekat dengan modal kekuatan yang tidak seberapa, seperti setor nyawa saja.

Aden mengangguk mengerti. "Lalu apa kau bisa mengajariku? Aku sangat ingin mendapatkan mustika itu. Latihan seberat apapun akan kulakukan."

Aden mengatakannya dengan tegas. Edgar menatapnya beberapa detik, melihat kesungguhan Aden lewat matanya yang hitam kelam. Edgar menghela napas, lalu mengangguk kecil.

"Kau yakin tidak akan mengeluh?"

Pertanyaan macam apa itu. Aden tidak akan ragu lagi. Orang sejak kecil saja dia sudah mendapat latihan keras dari ayahnya. Seharusnya berlatih dengan Edgar yang sabar tidak lebih sulit.

"Yakin!"

"Baiklah. Tetapi lebih dahulu kau harus mengganti pakaianmu," Aden menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Bisakah kau memberiku pakaian? Yang biasa saja tidak apa-apa," inginnya sih yang bagusan, tetapi kan Aden tidak punya sepeserpun uang saat ini. Malu lah ya kalau udah minta, malah request yang bagus pula.

Edgar mengiyakan, lalu memberikan pakaian yang pas di tubuh Edgar. Tak lama Edgar sudah dalam tampilan yang baru. Edgar memujinya kalau dia tampan. Aden hanya berdehem, kan dia sendiri juga sadar kalau dirinya tampan. Terbukti banyak wanita yang ingin menjadi kekasihnya.

"Ayo ke rumahmu." ajak Edgar.

Aden bingung bagaimana harus menjawabnya. Masa iya dia harus bilang tidak punya. Tetapi kan kenyataannya memang begitu. Kalau bohong, apa yang ingin dikatakan?

"Rumahku dirampok dan dibakar." oke alasan yang bagus Aden. Jadi bisa mengisyaratkan kalau kau tidak perlu membayar pakaian dari Edgar.

"Orang tuamu?" tanya Edgar lagi.

"Aku tinggal sendiri," untuk yang satu ini dia tidak berbohong loh. Edgar manggut-manggut. Lalu menadahkan tangannya. "Pegang tanganku,"

Aden nurut saja. Tangan Edgar yang lebih besar darinya itu sudah digenggamnya. Kabut ungu tipis muncul di sekeliling mereka. Lama-lama kabut tersebut menutupi tubuh keduanya.

Aden merasa aneh dengan tubuhnya. Saat dia bertanya mengapa kabut itu tiba-tiba muncul, Edgar tak menjawabnya. Seperti sihir, kabut itu akhirnya lenyap begitu pula dengan Aden dan Edgar.

"Apa yang ....?" Aden heran. Hanya dalam satu kedipan mata dia sudah berada di tempat yang berbeda. "Ini di mana, Ed?"

Saat ini mereka ada di depan gerbang besar. Di sisi kanan dan kiri gerbang tersebut dijaga oleh pria berpakaian sama, yang membawa tombak serta tameng. Sebenarnya di bagian atas gerbang tersebut ada tulisannya, hanya saja karena gelap Aden tidak bisa membacanya.

Belum sempat menjawab, dua orang itu mendekat ke Aden dan Edgar. Mereka lantas menunduk hormat, tepatnya hanya ke Edgar saja. Aden pikir si Edgar ini pastilah punya kedudukan.

"Selamat datang kembali, Tuan Zan." lah kok mereka bukannya memanggil Edgar?

"Maaf saya lancang, tetapi pria di sebelah anda ini?" salah satu pria itu bertanya setelah mereka berdiri tegak.

"Muridku."

Mereka mengerti, lalu memberi jalan. Pintu gerbang dibuka, memperlihatkan apa yang ada di baliknya.

Jalanan berundak, rumah kecil bergaya kuno, lampu-lampu temaram yang pastinya tidak menggunakan listrik berjejer di pinggir jalan, bangunan tinggi di ujung, dan gunung yang berada di bagian selatan.

"Selamat datang, Tuan Zan." suara itu menyapa dari belakang. Aden membalikkan tubuhnya, mendapati seorang wanita cantik yang menampilkan senyum manisnya.

Lagi-lagi Tuan Zan. Mengapa Edgar dipanggil Zan?

Seakan tahu apa yang dipikirkan Aden, Edgar berbisik. "Nama belakangku Zan."

Mata wanita itu memicing ke arah Aden. Aden mendelik. Dia tidak suka dengannya.

"Tuan tahu kan kita tidak boleh membawa masuk sembarang orang kesini?" tanyanya dengan nada lembut. Telinga Aden geli mendengar nada yang dibuat-buat itu.

"Dia bukan sembarang orang." jawab Edgar menatap Aden yang berdiri di sampingnya. "Aden, muridku."

Wanita itu mengubah sikapnya, lalu mengelus kepala Aden. "Kalau begitu ayo, ikut denganku. Aku akan menunjukkan tempat untukmu istirahat."

Aden menatap Edgar, seolah mengatakan agar tidak membiarkan dia ikut wanita itu. Tetapi Edgar tidak menangkapnya. Edgar mengiyakan saja, lalu pergi entah ke mana.

Dia punya firasat buruk soal wanita ini. "Cih, memuakkan. Mengapa bocah seperti kau diperhatikan oleh Tuan Zan!" tuh kan dibilang juga apa.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ms huang
lanjut kk...smangattt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status