Langit pagi menyapu Istana Zhaoyang dengan warna keperakan. Kabut tipis menyelusup di antara pilar-pilar giok, menyembunyikan bisik dan bayangan. Di balik dinding dapur kekaisaran, api besar menyala seperti jantung istana yang berdegup, mengolah makanan bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk kekuasaan.
Dapur kekaisaran bukan sekadar tempat untuk memasak. Ia adalah pusat informasi, tempat semua berita dibawa oleh tangan-tangan pelayan, ditaburkan seperti garam, dan dicerna lebih dalam daripada makanan yang dimasak. Dan hari ini, dapur itu menjadi medan perang yang sunyi. Li Qianru berdiri di ujung dapur utama, mengenakan jubah biru pucat, rambutnya disanggul sederhana tanpa perhiasan. Namun, kehadirannya menciptakan tekanan di udara yang tak terlihat tapi terasa—tepat di belakang tulang leher siapa pun yang menatapnya. Di sisinya berdiri kasim muda, Bai Heng, mencatat semua perintah yang keluar dari bibirnya yang tenang namun tajam. “Makanan untuk Yang Mulia harus disiapkan dari tangan pelayan dengan riwayat bersih tiga tahun terakhir,” katanya. “Cek ulang semua bahan mentah, mulai dari tepung hingga daun teh. Dan untuk roti kukus—” Ia berhenti. Matanya jatuh pada pelayan muda yang sedang meletakkan nampan. “Siapa yang menyiapkan adonan ini?” Pelayan itu menunduk, tubuhnya gemetar. “Hamba… hamba hanya menerima adonan dari dapur keempat, Selir.” “Maka pergilah. Dan panggil kepala dapur keempat. Sekarang.” Ketika roti kukus yang baru matang itu diletakkan di atas piring giok, aromanya menyeruak ke seluruh ruangan. Harum manis, menggoda, sempurna. Namun di hidung Qianru, ada sesuatu yang aneh. Terlalu manis. Terlalu tajam. Ia mengambil tusuk perak kecil dari dalam lengan bajunya—alat uji racun warisan ayahnya, Jenderal Li Xian. Dulu, ia sering melihat ayahnya mencelupkan tusuk itu ke dalam makanan sebelum dimakan. “Tak semua musuh datang dengan pedang,” katanya. Qianru menyelipkan ujung tusuk ke dalam roti. Dan saat ia mengangkatnya kembali, warnanya berubah. Dari perak, menjadi ungu kelam. “Luohan Wu,” gumamnya pelan. “Racun lambat dari Selatan. Membunuh hati dan otak dalam waktu tiga hari, seolah tubuhnya mati perlahan karena patah hati.” Bai Heng menatap dengan mata membesar. “Apakah Yang Mulia akan memakan ini hari ini?” Qianru menatapnya sejenak. “Jika aku tidak ada di sini, mungkin ia sudah melakukannya.” Kepala dapur keempat akhirnya tiba, digiring oleh dua pelayan yang pucat. Lelaki tua itu, bernama Guo, tampak ketakutan. Tangan gemetar. Punggungnya membungkuk lebih dari seharusnya. “Siapa yang mengantarkan adonan?” tanya Qianru. “S-saya… saya hanya menyampaikan perintah dari Paviliun Selir Yan, Yang Mulia. Ia ingin mencicipi makanan musim semi, dan memerintahkan tambahan adonan dikirim hari ini.” Qianru tak mengangkat suara, tapi ucapannya menghantam keras. “Selir Yan ingin mencicipi, atau Selir Yan ingin membagi rasa pahit kepada seluruh istana?” Guo berlutut. “Saya… saya tidak tahu apa-apa, sungguh!” “Ketidaktahuan adalah awal dari kematian perlahan,” katanya datar. “Bai Heng, bawa ia ke penjaga istana. Biarkan mereka tahu bahwa mulut yang menyuapi racun lebih mematikan daripada tangan yang menusuk pedang.” Sore itu, Qianru memerintahkan penutupan sementara dapur keempat. Semua jalur distribusi makanan dialihkan. Ia memanggil seluruh kasim senior yang masih setia pada keluarga Li dahulu, membentuk struktur baru. Ia menempatkan orang-orangnya di tempat strategis—penggiling tepung, penjaga pintu gudang rempah, hingga pencatat stok bahan harian. “Siapa yang mengatur makanan, mengatur hidup. Dan siapa yang mengatur hidup… mengatur kekuasaan.” Itulah prinsip yang dipegang Qianru. Dan hari ini, ia merebut kembali peta pertempuran dari balik uap kukusan. Menjelang malam, kabar tentang racun mulai menyebar bagai kabut musim gugur—pelan, pekat, dan menyesakkan. Dan seperti yang sudah diduga Qianru, seseorang datang ke paviliunnya. Tapi bukan pembunuh… melainkan Kaisar sendiri. Xu Jiayan memasuki paviliun tanpa pengawal, wajahnya muram, langkahnya cepat. Pintu dibuka paksa. Qianru sedang duduk di ruang dalam, membaca laporan gudang bumbu. Ia tidak terkejut. “Kenapa aku mendengar kabar dari orang lain, bahwa kau hampir mati diracun?” suara Jiayan dalam, nyaris marah. “Kenapa bukan darimu langsung?” Qianru menutup buku di tangannya dengan tenang. “Karena Yang Mulia akan datang sendiri saat mendengarnya, bukan?” Jiayan berdiri di hadapannya, matanya merah. “Jangan main-main denganku, Qianru. Ini bukan permainan.” “Justru karena ini bukan permainan, maka aku tidak mengatakannya padamu,” katanya tajam. “Jika aku ingin ditolong seperti gadis lemah tak berdaya, aku akan berteriak. Tapi aku bukan lagi Li Qianru yang dulu.” “Kau pikir aku tak akan melindungimu?” desak Jiayan. “Aku tahu kau ingin melindungiku, tapi aku tak mau dilindungi. Aku ingin dihormati.” Jiayan terdiam. Helaan napasnya berat. Dalam cahaya lentera, wajahnya tampak lelah—tapi bukan karena tubuh, melainkan karena perasaan. “Jadi… apa langkahmu berikutnya?” tanya Jiayan akhirnya. Qianru berdiri, menatap jendela yang menghadap kolam teratai. “Aku akan membersihkan istana dari dalam. Selir Yan adalah awal. Tapi ada yang lebih besar.” “Maksudmu?” “Dewan Dalam. Menteri-menteri yang menjatuhkan keluargaku dulu… mereka semua masih duduk di sana. Kau ingin memperbaiki kesalahan? Maka izinkan aku menjatuhkan mereka satu per satu.” “Kau akan menghancurkan sistem yang sudah ada selama puluhan tahun.” Ia menoleh. “Sistem yang menghancurkan ayahku layak dihancurkan. Dan jika kau tidak bisa membantuku… maka jangan berdiri di jalanku.” Jiayan menatapnya lama. Mata mereka bertemu—dan untuk sesaat, dunia sunyi. “Aku tidak akan berdiri di jalanmu, Qianru,” katanya akhirnya. “Tapi jangan meminta aku untuk tidak mencintaimu.” Qianru membalas tatapan itu, tapi kali ini, ada luka yang dalam di matanya. “Aku tidak butuh cintamu, Jiayan. Aku butuh keadilan.” Malam itu, tubuh seorang pelayan ditemukan mengambang di kolam teratai. Mulutnya membiru, matanya terbuka lebar. Namanya Lian Mei—pelayan muda yang selama ini bekerja untuk Selir Yan. Ia adalah pelayan yang terakhir terlihat di dapur keempat sebelum roti kukus itu dimasak. Istana menyebutnya bunuh diri karena takut. Tapi Qianru tahu: tidak semua kebenaran bisa hidup dalam cahaya. Dan kadang, keadilan datang dalam senyap. Pada meja kerja Kaisar malam itu, sepucuk surat tanpa nama diletakkan di atas gulungan kebijakan negara. Tulisannya kecil dan halus: “Kau bisa memilih untuk mencintaiku, atau memilih untuk mempercayaiku. Tapi jangan pernah mengira kau bisa melakukan keduanya.” Xu Jiayan menggenggam surat itu lama, sebelum menatap keluar jendela. Di sana, bulan menggantung penuh, sunyi, seperti saksi bisu dari dua hati yang saling mencintai… tapi tak bisa berjalan beriringan. Dan di paviliunnya sendiri, Qianru berdiri menatap bayangan bulan yang sama. “Jika aku jatuh cinta padamu lagi, Jiayan… maka semua ini akan sia-sia.” “Maka jangan pernah membuatku memilih.”Langit di atas istana tampak terlalu biru untuk hari seperti ini. Tenang, nyaris tanpa awan, seperti sengaja disiapkan untuk menyambut peristiwa penting—atau, mungkin, sebuah eksekusi diam-diam.Qianru melangkah masuk ke Aula Batu Terbuka, tempat forum istana luar biasa diselenggarakan. Bukan pengadilan. Tapi juga bukan jamuan. Ini—dalam bahasa lembut para menteri—adalah “dialog untuk meluruskan pemahaman rakyat.”Tapi semua tahu:Ini adalah panggung jebakan.Di sisi kiri, para menteri duduk berderet.Di sisi kanan, para utusan rakyat—guru, pedagang, kepala madrasah—diundang sebagai penonton.Tapi tak satu pun dari mereka boleh bicara.Dan di ujung aula, duduk Kaisar Jiayan.Wajahnya tegang. Bukan dingin—tapi seperti seseorang yang tahu badai akan datang, dan ia… memilih tidak membawa payung.Qianru berhenti di tengah aula. Ia tidak membungkuk. Ia tidak tersenyum. Tapi ia berdiri dengan tenang, seperti seseorang yang lebih takut kehilangan kata-kata daripada nyawa.Menteri Fei memulai
Hari itu, langit mendung tapi belum hujan. Kota kekaisaran tampak seperti menahan napas. Tidak ada jamuan. Tidak ada pengumuman. Tapi semua orang tahu… sesuatu akan tiba.Di pagi yang seolah biasa itu, surat dari istana tiba di tangan Qianru. Tapi bukan dibawa utusan resmi.Surat itu tiba melalui seorang anak tukang roti, yang berkata:“Tadi pagi, lelaki berpakaian hitam menitipkan ini. Katanya, ‘Untuk Suara yang Tak Lagi Punya Dinding.’”Surat itu tidak memakai lambang kekaisaran. Tidak dimeteraikan emas.Tapi tulisan tangannya… Qianru mengenalnya.Itu tulisan Jiayan.Ia membaca perlahan:“Aku pernah mengira diam adalah cara melindungi.Tapi sekarang aku tahu: diam hanya menyelamatkan istana, bukan orang yang aku cintai.”“Aku tidak tahu bagaimana jadi Kaisar dalam badai.Tapi jika kau masih bersedia… maka biarkan aku berdiri di dekatmu.Bukan di atasmu.”Surat itu membuat ruangan hening.Weixian membaca ulang tiga kali, lalu berkata, “Kalau dia tulus, itu pertanda baik. Tapi kalau i
Langit kota kekaisaran pagi itu dipenuhi kabut tipis dan suara burung-burung pasar. Tidak ada pengumuman. Tidak ada gendang. Tapi desas-desus menyebar seperti api pelan:“Dia akan datang pagi ini. Dia akan bicara.”Tidak semua percaya. Beberapa menertawakannya.Tapi tetap saja… ratusan orang berkumpul diam-diam di Lapangan Utara — tempat dulu diadakan pengumuman bea beras dan eksekusi pendosa. Kini, tidak ada panggung. Hanya batu. Hanya langit. Dan satu tempat kosong di tengah kerumunan.Mereka menunggu.Dan saat jam bayangan menunjukkan waktu pagi keempat, dia datang.Qianru.Tanpa palanquin. Tanpa kasim. Tanpa jubah bangsawan.Ia mengenakan kain polos biru kelabu, tanpa lambang, tanpa payung.Ia berjalan kaki. Sendirian.Orang-orang tak bersorak.Tak juga mencemooh.Mereka… diam.Seperti melihat seseorang yang seharusnya tidak ada di sana, tapi justru tampak paling wajar.Di antara mereka, anak kecil menunjuk dan berbisik:“Itu dia… yang disebut suara.”“Bukan. Itu ibu dari anak dar
Angin dingin dari utara menelusup masuk ke Biara Gunung Qiu sebelum fajar. Pagi tampak tenang, tapi ketenangan seperti itu sering kali bukan pertanda damai—melainkan peringatan yang tertunda. Weixian sudah bangun sejak tengah malam. Ia tidak mempercayai keheningan. Dan kecurigaannya segera terbukti. Seorang pengintai datang tergesa ke dapur biara, napasnya putus-putus, wajahnya penuh debu dan keringat. “Mereka datang,” katanya. “Pasukan dari garnisun selatan. Dua regu kecil. Tidak berseragam resmi. Lewat jalur semak belakang, bukan jalan utama.” Weixian tak perlu bertanya siapa yang mengirim. Dia hanya berkata, “Sembunyikan anak itu. Sekarang.” Di bangunan utama, Qianru sedang duduk di samping An Ji yang tertidur lelap. Tangannya menggenggam potongan bambu kecil, menulis pelan tapi pasti. Di permukaannya terukir kalimat: “Jika aku tak sempat bicara, maka jangan serukan namaku. Tapi bawa kata-kataku lewat langkahmu.” Ia menyelipkan bambu itu ke dalam pakaian dalam An Ji, l
Langit Gunung Qiu diselimuti kabut tipis ketika Qianru tiba di gerbang biara. Langkah kakinya ringan, tapi napasnya berat.Weixian berjalan di belakang, diam. Ia tahu:Perjalanan ini bukan lagi soal membela sejarah… tapi mengukir ulang masa depan.Seorang biarawan tua membuka pintu, matanya lembut tapi awas.“Apakah… kau dari Keluarga Li?” tanyanya.“Aku adalah sisa dari mereka yang dibakar, tapi belum padam.”Biarawan itu menunduk, lalu memberi isyarat.Mereka dibawa masuk melewati lorong batu dan halaman kecil hingga ke bangunan paling dalam.Di sana, di bawah pohon prem tua, duduk seorang anak laki-laki, kira-kira usia delapan.Ia sedang membaca sepotong kayu kecil bertuliskan kutipan Qianru.“Kalau kau tak bisa bicara, maka dengarkan.Dan kalau kau tak bisa menulis, maka hidupkan.”“Namanya An Ji,” kata biarawan. “Kami memberinya nama itu karena ia lahir saat langit terbuka hujan, tapi dia tidak menangis.”Qianru mendekat perlahan. Anak itu menatapnya.“Apa kamu tahu siapa aku?” t
Dua hari setelah pengumuman Kaisar, suasana istana tampak tenang—terlalu tenang.Tapi di balik dinding marmer dan ukiran emas, arah kekuasaan telah bergeser, dan semua yang pernah merasa aman… kini panik dalam diam.⸻Zhou Shixuan berdiri di ruang rahasia di belakang Aula Dokumentasi, dikelilingi oleh belasan gulungan surat. Semua bersimbol lambang Keluarga Li.“Ini bukan surat,” katanya pada kasim bayangannya. “Ini bahan bakar. Dan kita akan bakar semuanya. Malam ini.”“Kalau rakyat tahu?”“Rakyat tak tahu yang dibakar. Mereka hanya tahu yang tersisa.”⸻Sore itu, satu madrasah di barat istana terbakar.Kecil. Tidak memakan korban. Tapi seluruh tulisan Qianru yang disalin para murid… lenyap.Tak lama setelah itu, buku-buku kecil dan kutipan dari Qianru mulai disita.Tidak ada perintah resmi.Tidak ada surat kekaisaran.Tapi para penjaga mulai menyita dan membakar kertas—tanpa tanya.Bai Heng datang ke paviliun Qianru, wajahnya tegang.“Mereka mulai membakar,” katanya. “Bukan hanya su