Beranda / Romansa / Kaisar Tunduk Padaku / Bab 5 : Bayangan Yang Bangkit Dari Abu

Share

Bab 5 : Bayangan Yang Bangkit Dari Abu

Penulis: Selvy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-16 13:58:58

Hujan tipis turun di atas ubin batu istana Zhaoyang, membentuk pola-pola air yang meliuk seperti tinta di atas kanvas. Dingin yang datang bersamaan dengan hujan membawa rasa yang tidak biasa, seolah-olah udara sendiri tahu bahwa masa lalu yang dibungkam selama lima tahun, mulai merangkak naik dari tanah.

Di dalam paviliunnya, Li Qianru duduk diam. Di tangannya ada selembar kertas. Isinya singkat.

“Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.”

Tangannya bergetar—sesuatu yang tak lagi biasa baginya. Lima tahun dia membangun dirinya dari puing luka menjadi batu karang. Tapi kalimat ini… memecahkan keheningan yang tak pernah berani ia sentuh.

Kakaknya, Li Weixian. Putra sulung Jenderal Li. Saudara yang ia lihat terakhir kali terbakar bersama gudang belakang kediaman mereka.

“Jika ini benar,” bisiknya lirih, “maka dendam ini bukan lagi milikku sendiri.”

Pertemuan Senja: Bayangan dan Darah

Sore itu, taman bambu di sisi timur istana basah oleh hujan yang belum selesai. Tapi Qianru berjalan tanpa payung, mengenakan jubah hitam tipis. Di ujung taman, Pangeran Ketiga, Xu Weiyan, telah menunggunya. Tubuhnya disandarkan ke tiang batu, mata penuh senyum namun berbahaya.

“Kau terlihat seperti bayangan dalam puisi patah hati,” katanya, menawarkan payung.

Qianru tidak mengambilnya. “Dan kau terdengar seperti penghibur yang terlalu sering memuji bulan agar tak terlihat haus kuasa.”

Xu Weiyan tertawa. “Begitulah politik. Antara bulan dan bayangan, hanya satu yang terlihat… tapi keduanya saling membunuh dalam diam.”

Qianru duduk di bangku batu di depannya. “Aku tidak datang untuk puisi. Aku ingin tahu kenapa kau mengirim surat itu.”

“Kakakmu?” tanya Weiyan pelan. “Aku ingin tahu reaksimu dulu, sebelum aku bicara lebih jauh.”

Qianru menatap lurus ke matanya. “Kau tak pernah melakukan sesuatu tanpa imbalan. Apa maumu?”

Pangeran Ketiga menurunkan nada suaranya. “Aku ingin kau menjatuhkan Menteri Zhou. Dan aku tahu, satu-satunya orang yang punya bukti untuk melakukannya… adalah Li Weixian. Aku tahu dia masih hidup. Aku tahu dia ada di luar tembok istana. Dan aku tahu… dia menunggu lampu dinyalakan dari dalam.”

Qianru menggigit bibir. Hatinya dipenuhi badai. “Apa jaminanmu ini bukan perangkap?”

“Kau sudah di tengah perang, Qianru. Yang harus kau pilih… hanya arah panahmu.”

Hening panjang terjadi di antara mereka. Hujan terus jatuh, tapi perlahan, suara detaknya menyatu dengan detak jantung mereka.

“Aku akan cari dia,” ucap Qianru akhirnya. “Tapi jangan ganggu jalanku. Sekali kau mengkhianatiku, Weiyan… aku takkan kirim racun. Aku akan kirim seluruh pengawal pribadi Kaisar.”

Weiyan tersenyum. “Satu ancaman darimu terdengar lebih jujur daripada seribu janji dari istana.”

Di Balik Tirai Singgasana

Malam itu, Kaisar Jiayan memanggil Qianru. Tidak sebagai selir, tidak sebagai pengurus istana, tapi… sebagai seseorang yang ia tak mampu singkirkan dari pikirannya.

Mereka duduk di dalam ruang kerja Kaisar. Hanya mereka berdua, tanpa kasim. Tirai sutra merah muda berkibar lembut. Di luar, suara rintik hujan masih samar terdengar.

“Kau bertemu Weiyan tadi,” kata Jiayan langsung.

Qianru mengangkat alis. “Kau memata-mataiku?”

“Aku mengawasimu. Ada perbedaan.”

“Mengawasi untuk apa, Jiayan? Kau takut aku akan menikammu?”

“Aku takut kau akan menjauh lebih jauh… dari tempat yang bisa kugapai.”

Qianru tertawa kecil. “Kalau begitu, seharusnya kau pegang tanganku lima tahun lalu, bukan biarkan aku ditarik pergi oleh pengawal kerajaan.”

Jiayan menunduk. Kata-kata itu seperti bilah tipis yang menusuk pelan tapi dalam.

“Kalau aku berkata bahwa aku menyesal… bahwa setiap malam aku bermimpi melihatmu terbakar bersama gudang itu—”

“—jangan,” potong Qianru. Suaranya lembut, tapi matanya tajam. “Jangan ubah luka menjadi puisi. Aku sudah belajar bertahan hidup di dalamnya.”

“Kalau aku berkata aku masih mencintaimu?”

Qianru memejamkan mata sejenak. “Cinta yang tidak membela di saat penting, lebih menyakitkan daripada kebencian yang jujur.”

“Qianru…”

“Aku datang ke sini bukan untuk hatimu, Jiayan. Tapi kalau kau masih menyimpan hati itu… maka berdirilah di sisiku. Bukan di atas singgasana.”

“Dan jika aku tidak bisa?” Jiayan menatapnya penuh getir.

Qianru berdiri. “Maka aku akan menjadi alasan kenapa kau tidak bisa duduk tenang di atasnya.”

Surat Rahasia dan Peta Berdarah

Malam itu, Qianru membuka kembali kotak kayu hitam yang ditinggalkan ayahnya. Di dalamnya tersimpan peta tua—bukan peta medan perang, tapi peta jalur pelarian rahasia dari istana ke wilayah perbatasan barat. Di bagian sudutnya, terdapat tanda kecil: “W.X.”

Itu bukan hanya peta. Itu adalah rute yang digunakan kakaknya untuk melarikan diri malam pembantaian itu.

Dengan tangan gemetar, ia menyalin ulang peta tersebut dan menyelipkannya ke dalam buku puisi tua. Besok malam, ia akan ke tempat itu. Tapi sebelum itu, satu hal harus diselesaikan:

Menteri Zhou.

Api dari Mata Lama

Di sebuah paviliun sunyi, Menteri Zhou Shixuan berdiri di depan cermin, mencabut uban dari janggutnya.

“Li Qianru…” gumamnya. “Kau anak dari harimau yang dulu terkubur. Tapi harimau pun bisa dijinakkan, jika kau tahu di mana harus menusukkan pisau.”

Ia berjalan menuju rak buku, membuka satu laci rahasia. Di dalamnya, tergolek kalung dengan ukiran lambang keluarga Li—berdarah.

“Aku membunuh ayahmu,” bisiknya pelan. “Dan aku akan membunuhmu… saat waktunya tiba.”

Dan di kejauhan, bayangan seorang pria berjubah gelap menuruni jalan berbatu menuju kota tua. Di dadanya, kalung yang sama tergantung—retak.

Langkahnya ringan. Tapi setiap tapaknya… menggetarkan takdir.

Hujan mengguyur Istana Zhaoyang dengan lembut, seperti kenangan yang turun diam-diam ke atas hati yang sudah lama membeku. Di balik tirai putih paviliunnya, Li Qianru duduk dengan punggung lurus, tangan di atas meja giok, memandangi secarik kertas dengan tinta hitam pekat.

“Tuan mudamu belum mati. Dan dia mencarimu.”

Satu kalimat yang cukup untuk menghancurkan ketenangan yang susah payah ia bangun. Di bawah cahaya lentera, matanya tak berkedip, dan jantungnya berdetak dalam ritme yang asing. Li Weixian. Kakaknya. Orang terakhir yang ia peluk sebelum istana keluarga mereka dilahap api.

Ia menggenggam surat itu, lalu merobeknya perlahan. Tidak karena ingin melupakannya. Tapi karena ia tahu—sejak saat ini, semuanya berubah. Dendam yang selama ini terasa pribadi, kini menjadi warisan yang belum lunas.

“Jika kau hidup, Gege… maka kita akan menyelesaikannya bersama.”

Sore itu, taman bambu sisi barat basah oleh sisa hujan. Kabut melayang di antara batang-batang hijau, seperti bisikan tak kasat mata yang menyambut dua tokoh yang bermain dalam skema kekuasaan. Pangeran Ketiga, Xu Weiyan, berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung, mengenakan jubah biru gelap. Ia tampak seperti bayangan yang berpikir.

Qianru tiba tanpa suara.

“Kau memanggilku.”

“Kau datang cepat,” ujar Weiyan. “Mungkin karena suratku.”

Qianru tak menjawab, hanya menatap lurus. Dalam dirinya, badai sudah menunggu untuk dilepaskan. Tapi wajahnya tetap tenang seperti permukaan danau yang menyembunyikan arus kuat di bawahnya.

“Weixian hidup,” kata Weiyan langsung. “Aku mendapat kabar dari penghubungku di barat. Seorang pria dengan bekas luka bakar di sisi kiri wajah, mengenakan liontin keluarga Li, sedang membentuk jaringan rahasia di wilayah perbatasan. Tapi ia tak berani bergerak sebelum mendapat sinyal dari dalam istana.”

“Mengapa kau memberitahuku ini?”

Weiyan menoleh, menatapnya penuh makna. “Karena aku tahu kau akan bertindak. Dan aku lebih suka berada di pihakmu daripada di sisimu sebagai lawan.”

“Kau ingin menjatuhkan Zhou Shixuan.”

“Aku ingin menjatuhkan semua yang membuat takhta ini layak untuk ditaklukkan.”

Qianru berjalan perlahan, suaranya rendah. “Jangan kau kira aku berjuang untuk memberimu singgasana.”

“Aku tidak. Tapi aku tahu: kau akan membuka jalan. Dan jika nanti singgasana kosong… yang tersisa hanyalah siapa yang cukup cepat untuk duduk.”

Mata mereka bertemu. Tak ada cinta di sana, hanya saling pengakuan: dua bidak utama di papan yang sama. Qianru melangkah pergi, tapi sebelum ia menghilang di balik bayangan bambu, ia berkata:

“Kalau kau mengkhianatiku sekali saja, Xu Weiyan… kau tidak akan sempat duduk di singgasana yang kau inginkan.”

Weiyan tersenyum. “Ancaman darimu lebih jujur daripada janji dari seluruh istana.”

Malam turun pelan. Di ruang kerja pribadi Kaisar, Xu Jiayan menatap langit dari balik jendela kayu. Angin membawa wangi bunga plum dari halaman dalam. Tapi hatinya gelisah. Laporan-laporan terus masuk: Qianru bertemu Pangeran Ketiga, pergerakan dapur istana mulai dikendalikan penuh olehnya, dan… rumor bahwa ia sedang mengumpulkan bukti pengkhianatan para menteri.

Saat pintu dibuka, Qianru masuk tanpa menunduk. Ia tahu aturan, tapi ia juga tahu siapa dirinya sekarang.

“Kau bertemu Weiyan,” kata Jiayan, tidak memutar kata.

“Aku tidak datang untuk menjelaskan siapa yang kutemui.”

“Dia berbahaya.”

“Dan kau?” Qianru menatapnya. “Kau membiarkan orang-orang seperti Zhou Shixuan duduk di sekelilingmu, meracuni setiap keputusanmu. Kau tahu ayahku difitnah. Kau tahu mereka semua pembohong. Tapi kau… kau tetap diam.”

“Karena saat itu aku tidak berkuasa.”

“Kau sekarang Kaisar. Tapi hatimu masih Putra Mahkota yang takut pada bayangan istana.”

Jiayan mendekat, suaranya lebih lembut. “Kalau aku berkata bahwa aku masih mencintaimu, Qianru… apakah itu akan mengubah jalan yang kau pilih?”

Qianru memejamkan mata. Untuk sejenak, ada retakan kecil di tembok hatinya. Tapi ia tak memberi celah.

“Cinta yang lahir dari kelambanan hanya membawa luka. Aku tidak butuh cinta, Jiayan. Aku butuh keadilan.”

“Keadilan yang penuh darah?”

“Lebih baik darah dari kebenaran… daripada mahkota yang berdiri di atas kebohongan.”

Jiayan terdiam. Tangannya yang ingin menyentuh lengan Qianru terhenti di udara. Ia sadar, jarak mereka bukan pada langkah, tapi pada pilihan yang tak bisa diputar kembali.

Malam itu, Qianru membuka kembali kotak rahasia peninggalan ayahnya. Di dalamnya, tersembunyi peta tua jalur pelarian dari istana ke barat. Di sudutnya tertulis inisial: W.X.

Tangannya mengusap lambang itu perlahan.

“Weixian… kau benar-benar hidup.”

Ia membakar peta tiruan, hanya menyimpan ingatan di kepala. Di jari manisnya kini tergantung liontin perak kecil—pecahan dari kalung yang dulu dibagi dua antara ia dan kakaknya. Potongan yang lain… kini ada entah di mana.

Tapi tidak lama lagi, mereka akan bertemu.

Dan dunia istana akan berubah.

Di sisi lain istana, dalam paviliun sunyi yang hanya diterangi satu lentera, Menteri Zhou Shixuan duduk di depan cermin. Ia mencabut satu uban dari janggutnya, matanya kosong.

“Li Qianru… anak dari harimau tua. Kau muncul dari abu dengan kepala tegak.”

Ia membuka laci rahasia, mengeluarkan liontin tua—retak, berkarat. Lambang keluarga Li.

“Dulu aku jatuhkan ayahmu dengan satu surat. Kali ini… aku akan membunuhmu dengan senyuman.”

Dan di luar istana, di kota tua yang basah oleh kabut dan kenangan, seorang pria berjubah hitam berjalan perlahan menuruni jalanan batu. Wajahnya tertutup sebagian oleh luka lama. Di lehernya tergantung liontin setengah pecah—serupa dengan milik Qianru.

Tatapannya tidak gentar. Langkahnya membawa denting pelan. Tapi setiap langkahnya, mendekatkan dunia pada badai yang tak bisa dihindari.

Dan dalam pikirannya hanya satu nama.

“Qianru.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 19 : ketika anak kecil bicara diruangan orang dewasa

    Langit di atas istana tampak terlalu biru untuk hari seperti ini. Tenang, nyaris tanpa awan, seperti sengaja disiapkan untuk menyambut peristiwa penting—atau, mungkin, sebuah eksekusi diam-diam.Qianru melangkah masuk ke Aula Batu Terbuka, tempat forum istana luar biasa diselenggarakan. Bukan pengadilan. Tapi juga bukan jamuan. Ini—dalam bahasa lembut para menteri—adalah “dialog untuk meluruskan pemahaman rakyat.”Tapi semua tahu:Ini adalah panggung jebakan.Di sisi kiri, para menteri duduk berderet.Di sisi kanan, para utusan rakyat—guru, pedagang, kepala madrasah—diundang sebagai penonton.Tapi tak satu pun dari mereka boleh bicara.Dan di ujung aula, duduk Kaisar Jiayan.Wajahnya tegang. Bukan dingin—tapi seperti seseorang yang tahu badai akan datang, dan ia… memilih tidak membawa payung.Qianru berhenti di tengah aula. Ia tidak membungkuk. Ia tidak tersenyum. Tapi ia berdiri dengan tenang, seperti seseorang yang lebih takut kehilangan kata-kata daripada nyawa.Menteri Fei memulai

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 18 : ketika surat tidak ditulis di istana

    Hari itu, langit mendung tapi belum hujan. Kota kekaisaran tampak seperti menahan napas. Tidak ada jamuan. Tidak ada pengumuman. Tapi semua orang tahu… sesuatu akan tiba.Di pagi yang seolah biasa itu, surat dari istana tiba di tangan Qianru. Tapi bukan dibawa utusan resmi.Surat itu tiba melalui seorang anak tukang roti, yang berkata:“Tadi pagi, lelaki berpakaian hitam menitipkan ini. Katanya, ‘Untuk Suara yang Tak Lagi Punya Dinding.’”Surat itu tidak memakai lambang kekaisaran. Tidak dimeteraikan emas.Tapi tulisan tangannya… Qianru mengenalnya.Itu tulisan Jiayan.Ia membaca perlahan:“Aku pernah mengira diam adalah cara melindungi.Tapi sekarang aku tahu: diam hanya menyelamatkan istana, bukan orang yang aku cintai.”“Aku tidak tahu bagaimana jadi Kaisar dalam badai.Tapi jika kau masih bersedia… maka biarkan aku berdiri di dekatmu.Bukan di atasmu.”Surat itu membuat ruangan hening.Weixian membaca ulang tiga kali, lalu berkata, “Kalau dia tulus, itu pertanda baik. Tapi kalau i

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 17 : Ketika Kota menyaksikan tanpa memihak

    Langit kota kekaisaran pagi itu dipenuhi kabut tipis dan suara burung-burung pasar. Tidak ada pengumuman. Tidak ada gendang. Tapi desas-desus menyebar seperti api pelan:“Dia akan datang pagi ini. Dia akan bicara.”Tidak semua percaya. Beberapa menertawakannya.Tapi tetap saja… ratusan orang berkumpul diam-diam di Lapangan Utara — tempat dulu diadakan pengumuman bea beras dan eksekusi pendosa. Kini, tidak ada panggung. Hanya batu. Hanya langit. Dan satu tempat kosong di tengah kerumunan.Mereka menunggu.Dan saat jam bayangan menunjukkan waktu pagi keempat, dia datang.Qianru.Tanpa palanquin. Tanpa kasim. Tanpa jubah bangsawan.Ia mengenakan kain polos biru kelabu, tanpa lambang, tanpa payung.Ia berjalan kaki. Sendirian.Orang-orang tak bersorak.Tak juga mencemooh.Mereka… diam.Seperti melihat seseorang yang seharusnya tidak ada di sana, tapi justru tampak paling wajar.Di antara mereka, anak kecil menunjuk dan berbisik:“Itu dia… yang disebut suara.”“Bukan. Itu ibu dari anak dar

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 16 : Angin dari Utara

    Angin dingin dari utara menelusup masuk ke Biara Gunung Qiu sebelum fajar. Pagi tampak tenang, tapi ketenangan seperti itu sering kali bukan pertanda damai—melainkan peringatan yang tertunda. Weixian sudah bangun sejak tengah malam. Ia tidak mempercayai keheningan. Dan kecurigaannya segera terbukti. Seorang pengintai datang tergesa ke dapur biara, napasnya putus-putus, wajahnya penuh debu dan keringat. “Mereka datang,” katanya. “Pasukan dari garnisun selatan. Dua regu kecil. Tidak berseragam resmi. Lewat jalur semak belakang, bukan jalan utama.” Weixian tak perlu bertanya siapa yang mengirim. Dia hanya berkata, “Sembunyikan anak itu. Sekarang.” Di bangunan utama, Qianru sedang duduk di samping An Ji yang tertidur lelap. Tangannya menggenggam potongan bambu kecil, menulis pelan tapi pasti. Di permukaannya terukir kalimat: “Jika aku tak sempat bicara, maka jangan serukan namaku. Tapi bawa kata-kataku lewat langkahmu.” Ia menyelipkan bambu itu ke dalam pakaian dalam An Ji, l

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 15 : ketika darah sendiri menolak dibungkam

    Langit Gunung Qiu diselimuti kabut tipis ketika Qianru tiba di gerbang biara. Langkah kakinya ringan, tapi napasnya berat.Weixian berjalan di belakang, diam. Ia tahu:Perjalanan ini bukan lagi soal membela sejarah… tapi mengukir ulang masa depan.Seorang biarawan tua membuka pintu, matanya lembut tapi awas.“Apakah… kau dari Keluarga Li?” tanyanya.“Aku adalah sisa dari mereka yang dibakar, tapi belum padam.”Biarawan itu menunduk, lalu memberi isyarat.Mereka dibawa masuk melewati lorong batu dan halaman kecil hingga ke bangunan paling dalam.Di sana, di bawah pohon prem tua, duduk seorang anak laki-laki, kira-kira usia delapan.Ia sedang membaca sepotong kayu kecil bertuliskan kutipan Qianru.“Kalau kau tak bisa bicara, maka dengarkan.Dan kalau kau tak bisa menulis, maka hidupkan.”“Namanya An Ji,” kata biarawan. “Kami memberinya nama itu karena ia lahir saat langit terbuka hujan, tapi dia tidak menangis.”Qianru mendekat perlahan. Anak itu menatapnya.“Apa kamu tahu siapa aku?” t

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 14 : Api Tak Membakar Kebenaran

    Dua hari setelah pengumuman Kaisar, suasana istana tampak tenang—terlalu tenang.Tapi di balik dinding marmer dan ukiran emas, arah kekuasaan telah bergeser, dan semua yang pernah merasa aman… kini panik dalam diam.⸻Zhou Shixuan berdiri di ruang rahasia di belakang Aula Dokumentasi, dikelilingi oleh belasan gulungan surat. Semua bersimbol lambang Keluarga Li.“Ini bukan surat,” katanya pada kasim bayangannya. “Ini bahan bakar. Dan kita akan bakar semuanya. Malam ini.”“Kalau rakyat tahu?”“Rakyat tak tahu yang dibakar. Mereka hanya tahu yang tersisa.”⸻Sore itu, satu madrasah di barat istana terbakar.Kecil. Tidak memakan korban. Tapi seluruh tulisan Qianru yang disalin para murid… lenyap.Tak lama setelah itu, buku-buku kecil dan kutipan dari Qianru mulai disita.Tidak ada perintah resmi.Tidak ada surat kekaisaran.Tapi para penjaga mulai menyita dan membakar kertas—tanpa tanya.Bai Heng datang ke paviliun Qianru, wajahnya tegang.“Mereka mulai membakar,” katanya. “Bukan hanya su

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status