“Lacak ponsel Aruna, cepat!” perintah Ansel saat tak menemukan Aruna di ruangan itu, tapi ada bekas peralatan makan di meja. Ansel berjalan cepat keluar dari restoran, Rio sendiri buru-buru menghubungi orang kepercayaannya untuk melacak keberadaan ponsel Aruna. “Apa kalian tidak melihat mobil keluar dari restoran?” tanya Ansel saat menemui dua orang suruhannya yang berjaga di depan. Dua pria itu terkejut mendengar pertanyaan Ansel. Mereka saling tatap hingga mengingat mobil yang keluar dari restoran sebelum Ansel datang. “Ada, mobil silver tipe SUV melintas sebelum Anda datang,” jawab salah satu pria. Ansel mengetatkan gigi mendengar penjelasan orang suruhannya. Dia langsung masuk mobil dan duduk di belakang kemudi. Rio sangat terkejut dengan yang dilakukan Ansel. Dia pun langsung masuk dan duduk di samping kursi kemudi. Dua pria suruhan Ansel pun masuk mobil mereka. Ansel mengambil jalan ke kiri sedangkan dua orang tadi ke kanan agar bisa menemukan mobil yang dimaksud. “Mereka
Ansel menginjak pedal rem sambil membanting stir ke kiri agar tidak menabrak mobil SUV yang terbalik di tengah jalan. Sepinya jalan itu, membuat tak banyak mobil yang melintas ketika kecelakaan itu terjadi. Ansel langsung keluar dari mobil karena begitu cemas dengan keadanan Aruna. Jantungnya bahkan berdegup dengan cepat, pikirannya terus berkata jika Aruna baik-baik saja meski tak memungkiri kemungkinan terburuk. Di mobil SUV. Aruna merasa kepalanya pusing karena terluka. Dia yang tak memakai sabuk pengaman, tentunya mengalami cidera parah karena tubuhnya menghantam kabin mobil beberapa kali. Dia berbaring di atas kabin atap sambil memegangi kepala yang berdarah. “Runa, kamu mendengarku.” Ansel sudah berlutut sambil membungkuk untuk melihat apakah benar Aruna ada di dalam mobil itu. Aruna berusaha mengangkat kepala saat mendengar suara Ansel. Hingga dia melihat suaminya ada di luar. “Ans.” Aruna merasakan kepalanya yang sangat sakit. Dia berusaha mengulurkan tangan keluar dengan
Ansel menggeser posisinya dengan Aruna saat melihat Clay siap menarik pelatuk. Dia dan Aruna berada di posisi miring ke Clay, lantas Ansel mengeluarkan tangan yang sudah memegang senjata. Ansel sengaja menjatuhkan diri bersama Aruna ke aspal sambil menarik pelatuk ke arah Clay dengan sasaran kaki agar pria gila itu bisa dilumpuhkan. Peluru yang diarahkan ke Ansel melesat begitu saja di udara, sedangkan peluru Ansel melesat ke arah kaki Clay dan meleset hingga hanya melukai tanpa bersarang di kaki. “Agh!” Clay memekik karena kakinya terkena peluru. Ansel jatuh ke aspal, punggungnya membentur aspal dengan posisi Aruna di atasnya. Clay berniat kembali melesatkan peluru, tapi Rio dengan cepat berlari ke Clay lantas menghantamkan pukulan ke wajah, hingga membuat Clay tersungkur di aspal. Rio menendang pistol Clay yang terlepas dari tangan dan jatuh ke aspal. Dia pun buru-buru membekuk agar Clay tidak melakukan hal gila lagi. “Lepaskan! Dia harus membayar semuanya! Dasar pembunuh!” t
“Kamu pikir bisa melakukan segalanya karena uangmu?” Ansel menatap Clay yang sedang menatap bengis ke arahnya. Dia melihat tatapan penuh kebencian dari mata Clay. Ansel sendiri masih bingung, kenapa Clay membencinya sedangkan dia sama sekali tak pernah merasa jika menyinggung Clay. “Kalau kamu memang merasa punya masalah denganku, hadapi aku tanpa melibatkan orang-orang di sekitarku,” ucap Ansel tegas sambil menatap tajam ke Clay. Clay tertawa terbahak mendengar ucapan Ansel. Dia terus tertawa seolah apa yang dikatakan oleh Ansel adalah sebuah lelucon. Ansel memasang ekspresi datar melihat Clay tertawa. Kini Ansel yakin jika Clay memang gila. “Kamu sudah membuat nyawa orang lain melayang, hingga orang sekitarnya menderita. Sekarang kamu berkata seperti itu? Kamu berpikir sudah menjadi orang yang bijak dengan mengatakan itu?” Clay tersenyum miring, tapi dari tatapan matanya tampak sebuah kepedihan. Ansel hanya diam mendengar ucapan Clay karena memang tak tahu apa-apa soal yang di
“Runa, kamu sudah bangun.” Bintang terlihat begitu lega saat melihat Aruna mulai menggerakkan mata. Ayana dan yang lain langsung mendekat saat mendengar Bintang bicara. Mereka sangat bersyukur karena akhirnya Aruna bangun. Aruna berusaha membuka kelopak mata yang terasa berat. Kepalanya pun masih sangat sakit, membuatnya meringis kesakitan. “Mana yang sakit, hm?” Bintang sangat cemas ketika melihat Aruna meringis. Aruna berusaha membuka kelopak mata karena mendengar suara Bintang, hingga dia akhirnya bisa melihat sang mommy. “Mommy,” lirih Aruna karena masih lemas. “Syukurlah.” Bintang sangat lega karena Aruna mengingat serta menyebut namanya. Semua orang memberi jeda agar Aruna bisa mendapatkan kesadaran sepenuhnya. “Di mana Ans?” tanya Aruna sambil mengedarkan pandangan perlahan ke seluruh ruangan tapi tak mendapati suaminya di sana. “Ans sedang ke kantor polisi. Mungkin sebentar lagi dia datang,” ujar Ayana menjelaskan. “Apa ada yang sakit?” tanya Bintang karena Aruna se
Aruna sudah bisa duduk. Dia dan Ansel duduk melihat berita tentang kasus sabotase dan penculikan Aruna. Manager Clay membuat klarifikasi soal perbuatan Clay. “Depresi? Dia bilang modelnya depresi? Mudah sekali berucap untuk lolos, sedangkan dia tak tahu ada hati yang sakit karena perbuatannya.” Aruna geram melihat berita yang mengatakan jika Clay mengalami depresi berat karena tekanan yang didapat setelah ayahnya meninggal sehingga melakukan tindakan yang tak terduga. “Bukankah seharusnya kita tak perlu terkejut jika ada pertanyaan seperti itu? Agensinya tentu tak mau ikut terseret ke dalam kasus Clay, karena itu mereka membuat pernyataan untuk menyelamatkan diri mereka, tanpa memikirkan perasaan korban,” ujar Ansel menjelaskan, lantas menoleh Aruna. Aruna masih menatap layar televisi. Dia tampak kesal karena bagaimanapun, sengaja atau tidak, Clay sudah membuat impian Aruna menimang bayi harus tertunda. Ansel meraih remote televisi, lantas mematikan benda elektronik itu. “Kenapa
“Jill.” Hanzel menatap Jill yang hanya diam saat dia bertanya. “Tidak, aku tidak sakit,” ucap Jill sambil memulas senyum. Hanzel masih menatap Jill seolah tak percaya dengan jawaban wanita itu. “Oh ya, kenapa kamu di sini. Kamu sakit?” tanya Jill untuk mengalihkan perhatian Hanzel. “Tidak, aku mau jenguk Runa,” jawab Hanzel. “Runa? Dia kenapa?” tanya Jill langsung berubah panik. “Dia kemarin hampir diculik, lalu mengalami kecelakaan dan sekarang masih dirawat karena luka yang didapat,” jawab Hanzel menjelaskan. Jill sangat terkejut hingga menutup mulut mendengar jawaban Hanzel. “Dia terluka parah?” tanya Jill langsung khawatir. “Aku juga belum lihat, ini baru mau jenguk. Kamu mau ikut?” tanya Hanzel menawari. Jill langsung mengangguk tanpa berpikir. Dia dan Hanzel pun akhirnya pergi untuk menjenguk Aruna. Di ruang inap Aruna. Ansel sedang menyuapi Aruna penuh perhatian. “Kapan aku bisa pulang?” tanya Aruna karena tak betah di rumah sakit, belum lagi dia mencemaskan Emily
“Cokelat.” Ansel memberikan secangkir cokelat untuk Aruna yang sedang duduk sendiri di balkon kamar mereka. Aruna mendongak mendengar suara Ansel. Dia lantas menerima cangkir berisi cokelat panas itu. “Terima kasih,” ucap Aruna sambil melebarkan senyum. Ansel duduk di kursi yang terdapat di samping Aruna, lantas menikmati kopi yang dibawanya. Aruna meniup pelan cokelat panasnya, lantas menyesap perlahan. “Di sini dingin, kenapa duduk di luar?” tanya Ansel sambil menoleh Aruna. Aruna baru saja menyesap cokelat panas. Dia menatap langit yang tampak gelap, lantas menoleh ke suaminya. “Duduk di sini terasa menyenangkan,” jawab Aruna lantas meletakkan cangkir di meja. “Masih memikirkan semua masalah yang menimpa keluarga kita?” tanya Ansel karena takut Aruna masih terbebani dengan segala kejadian yang menghampiri biduk rumah tangga mereka. Aruna terkejut mendengar pertanyaan Ansel. Dia hendak membalas, tapi suaminya itu sudah lebih dulu menggenggam telapak tangannya. “Maaf karena