Beranda / Romansa / Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai! / 03. Aku mencintaimu, Liam

Share

03. Aku mencintaimu, Liam

Penulis: ZuniaZuny
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-03 04:32:07

"Aku mencintaimu sejak dulu. Bahkan sebelum kamu mengenal Bella," ucap Alesya parau.

Liam terdiam sejenak, detik berikutnya tertawa sinis. "Cinta? Hah! Aku menikah denganmu karena terpaksa." 

Liam mengangkat tangan menahan Alesya yang hendak mendekatinya, seakan berkata jika di antara mereka berdua harus ada jarak.

"Kamu hanya beban yang harus aku tanggung."

Alesya merasakan hatinya hancur berkeping-keping mendengar kata-kata suaminya. Ia mencoba mencari kekuatan untuk bangkit, namun Liam kembali menghujatnya.

"Kamu tidak akan bisa menjadi istri yang baik. Kamu hanya menambah penderitaan dalam hidupku."

Tak mampu menahan rasa sakit hatinya, Alesya menatapnya sambil berujar," Liam, seharusnya kamu tahu, orang yang mendonorkannya padamu itu…"

"Ada apa ini?" Bella datang mendekat, memotong ucapan Alesya dan mencoba melerai pertengkaran yang terjadi. "Alesya, kenapa kamu menangis seperti itu?"

Alesya tersenyum samar, menghapus air mata yang sedari tadi tak mau berhenti. "Kebetulan ada kamu, Bella. Aku ingin mengatakan bahwa wanita yang mendonorkan..."

"Ah, itu… Iya aku lupa jika Liam meminta bukti padaku. Jadi aku baru saja mengambil laporan terkait hasil tes kecocokan sumsum tulang belakang dan beberapa prosedur sebelum operasi yang dilakukan tiga tahun lalu. Ini berkasnya, Liam."

Bella tiba-tiba memotong kata-kata Alesya dan menyerahkan sebuah map coklat pada Liam.

Diterima dan dibuka secara kasar berkas yang diinginkan Liam itu. Semua hasil mengacu pada keberhasilan operasi dan nama pendonor adalah Bella.

Srekh.

Dengan tatapan tak acuh, Liam mengarahkan berkas itu pada Alesya yang langsung mengambilnya.

Dengan cepat Alesya mengambil dan membacanya, "Ini tidak mungkin."

"Bukti itu akurat. Apanya yang tidak mungkin? Akulah pendonornya yang berarti akulah malaikat penolongmu. Benarkan Liam?"

Liam diam tak bergeming membuat Alesya tak mengerti. "Apa ini motif yang kamu rencanakan untuk kembali mengambil hati Liam, hah?"

Mendengar cacian dari adiknya sendiri, Bella menunduk sedih, berpura pura menjadi korban disini. Bella berusaha mendapatkan simpati dari Liam yang mulai terpengaruh permainannya.

Alesya kembali mendekati Liam, menatapnya dan berharap ia tahu jika ia begitu mencintainya, bahkan ketika cintanya tak sedikitpun dibalas oleh Liam.

Selama tiga tahun ia berusaha menjadi sosok istri yang baik di hadapan Liam. Mengobati kepedihannya setelah ditinggal kakaknya dengan lelaki lain dan mengorbankan segalanya demi membuat lelaki itu bahagia kembali.

Tahu jika tindakan apapun akan sia-sia, Alesya mengusap lembut mata Liam sambil tersenyum kecil. Usapan penuh cinta, membuat Liam terbuai sesaat. Namun detik berikutnya…

“Singkirkan tanganmu dari wajahku, Alesya!"

Ucapan Liam seperti belati yang menusuk hatinya. Senyum Alesya seketika pudar, ia kemudian mundur beberapa langkah dari hadapan Liam.

Bella segera mendekati Liam, yang langsung merangkul pria itu dengan manja. Pemandangan di depannya membuat mata Alesya seketika panas. "Aku sudah mengetahui semuanya, Alesya."

Alesya mengernyit bingung, berusaha keras mencerna ucapan Liam. "A–apa maksudmu, Liam?"

"Aku menemui Dokter yang mengoperasiku tiga tahun lalu. Dia mengatakan jika wanita pendonornya adalah B-E-L-L-A."

Dieja satu persatu huruf pada nama Bella memberi ketegasan. "Ya, Bella. Kenapa kamu masih meragukannya"

"Apa?"

Liam segera pergi dengan Bella menuju parkiran mobil, meninggalkan Alesya yang masih membeku menatap kepergia dua orang itu dari hadapannya.

Sementara Liam masih belum bisa melepaskan tatapan Alesya dari pikirannya. 

Walaupun bukti-bukti sudah terpampang nyata di hadapannya, hatinya masih bimbang. Tatapan Alesya padanya begitu berbeda dari tatapan yang Bella berikan padanya.

Tangan yang semula bergelayut manja kini dihempas kasar oleh Liam membuat Bella seketika pias.

"Hentikan drama ini."

"Liam, aku sudah memberi bukti nyata padamu. Apa yang membuatmu masih meragukanku?" tanya Bella kecewa. Dia tahu betul seorang Liam tak akan mudah memaafkan siapapun yang telah menyakitinya.

Perselingkuhan adalah hal yang paling dibenci Liam. Sekalipun Bella sudah mengakui kesalahannya, tetap saja Liam belum bisa memaafkan. Goresan luka itu akan terus membekas di hati paling dalam.

"Kita bicara lagi nanti. Aku pergi dulu."

Mobil Liam melaju kencang, meninggalkan Bella yang masih terpaku atas sikap suaminya. Dulu Liam sangat memuja dirinya namun sekarang Liam begitu membencinya.

Semua memang sepadan dengan apa yang dilakukan Bella pada Liam. 

"Semua ini pasti karena Ale. Mungkin saja selama tiga tahun ini dia sudah meluluhkan hati Liam," gerutu Bella.

Di sisi lain, Tubuh Alesya merosot ke lantai, mencoba menahan rasa sakit yang mendera hatinya. Air mata mengalir deras di pipi, mencoba mencari jalan keluar dari hati yang terluka.

Liam telah memilih percaya dan pergi bersama Bella. Kakaknya itu telah berhasil menghasut Liam untuk mendengarkan omongan penuh tipu muslihatnya ketimbang percaya kebenaran dari Alesya sendiri.

Tubuh Alesya terasa lemah, tak ada tenaga yang tersisa di dalam dirinya. Apakah ini rasanya dikhianati oleh orang yang paling dicintai? Alesya menunduk, mengepalkan kedua tangannya erat-erat, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak.

"Tidak, semua ini tak boleh terjadi," gumam Alesya sambil beranjak pergi. Ada satu tempat yang harus dikunjungi saat ini yaitu Rumah Sakit.

Butuh waktu 30 menit menuju Rumah sakit. Sampai disana Alesya langsung bergegas ke bagian resepsionis.

"Aku mencari Dokter Roy," ucap Alesya pada resepsionis.

"Maaf Nyonya, Dokter Roy baru saja mengundurkan diri. Dia membawa semua barangnya keluar Rumah Sakit barusan."

"Apa?"

"Jika tak percaya, Anda bisa pergi ke ruangan Dokter Roy untuk memastikannya," jelas resepsionis.

"Baiklah."

Alesya diantar menuju ruangan Dokter Roy. "Dokter!"

"Dokter Roy!"

Alesya berteriak, mencari di setiap sudut ruangan yang terlihat kosong tak berpenghuni. Dicari terus, berharap ada petunjuk yang bisa Alesya dapatkan namun kosong.

Alesya harus menelan pil kekecewaan. Orang satu satunya saksi kejadian tiga tahun lalu itu telah pergi. Semua terasa janggal bagi Alesya tapi dia tak bisa menemukan titik temu dari kepergian Dokter Roy.

Kenapa semua terjadi secara kebetulan? Bella tiba-tiba mendapatkan berkas yang berkata dialah pendonor sumsum tulang belakang untuk Liam. Dan sekarang, dokter Roy yang menangani operasi itu tiba-tiba pergi dari rumah sakit?

Kepergian dokter Roy yang membuat Alesya tak berdaya. Tak ada lagi yang bisa membantu Alesya. Apa jangan-jangan ini semua adalah bagian dari rencana Bella?

Alesya pun memutuskan untuk pulang. Memikirkan masalah ini membuat kepala terasa hampir pecah. 'Apa yang kamu inginkan, Bella?'

Dan untuk Liam, Alesya tak habis pikir dia bisa dengan mudah terpengaruh oleh Bella. 'Apakah rasa cinta bisa menghancurkan benteng kebencian yang telah dibangun selama tiga tahun ini?'

Alesya menghembuskan nafas kasar, dada kembang kempis, kebingungan diantara dua pilihan, menguatkan hati untuk berjuang mempertahankan cinta atau berhenti karena semua terasa sia sia.

Krekh.

Alesya masuk ke dalam Istana megah namun terasa hampa milik Roderick. Langkah kaki Alesya terhenti saat menuju lantai dua, lambat laun dia mendengar pembicaraan Bella dengan seseorang.

Merasa penasaran, Alesya mendekat lagi dan bersandar di balik pintu, memasang dengar telinganya pada pembicaraan itu.

"Semua sudah beres. Aku telah menyingkirkan Dokter Roy. Kamu tahu betapa hebatnya kekuasaanku kan? Bagiku, Liam adalah tujuan utama hidupku. Selama tiga tahun ini aku benar benar bodoh."

Bella terkekeh, membiarkan suara di seberang sana menertawakan dirinya.

"Sudahlah berhenti tertawa dan dengarkan langkahku selanjutnya. Aku akan menarik perhatian Liam kembali tapi sepertinya lelaki itu cukup sulit ditaklukan. Mungkin karena ada Alesya di sisinya. Jadi aku akan menyingkirkan Alesya terlebih dahulu."

Alesya membungkam mulutnya sendiri, sungguh tak percaya dengan ucapan Bella, kakak kandungnya sendiri.

'Sebenarnya siapa yang ditelepon Bella?'

"Alesya adalah batu kerikil yang menghalangi jalanku jadi sebaiknya aku sapu saja."

"Bella!?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   120. Malam ke-dua, penuh gairah

    Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   119. Malam pertama

    "Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   118. Pernikahan ulang

    "Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   117. Menikah lagi?

    Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   116. Memberi balasan yang setimpal

    "Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   115. Akhirnya ....

    "Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status