Home / Romansa / Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai! / 04. Sakit hati terdalam

Share

04. Sakit hati terdalam

Author: ZuniaZuny
last update Last Updated: 2024-05-03 04:33:44

"Bella!"

Suara Liam menggelegar, memenuhi seluruh ruangan lantai dua. Dia segera mendekat.

"Li–Liam?" ucap Bella gemetar, ia tak menyangka jika Liam ada di Kediaman Noderick saat ini. 'Apakah Liam mendengarnya?' batin Bella cemas.

"Se–sejak kapan kamu ada disini?"

"Baru saja. Sedang apa kamu disini?"

"Aku… aku sedang menelpon bibiku di luar negeri."

"Sudah larut, tidurlah!"

"Baik." Bella merasa lega setelah kepergian Liam, berfikir jika Liam tak mendengar pembicaraannya di telepon.

Alesya sendiri segera berlari setelah mendengar ancaman Bella menuju kamar tidurnya, merasa tak ada lagi tempat yang aman untuknya.

Ia sungguh syok mendengar ucapan Bella. 'Bagaimana bisa, kamu berani mencelakai adikmu sendiri?' batin Alesya menangis, merasa terpuruk dan tak ada harapan, seluruh kebahagiaan yang pernah ia rasakan seolah sirna seketika.

Alesya duduk di tepi tempat tidurnya, menghela napas panjang. Ia kembali merasa kesepian di ranjang mereka. Liam yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, seringkali tidur di kamar tamu atau bekerja hingga larut malam. Sekarang setelah Bella kembali, Liam tak akan datang untuk tidur bersamanya.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana aku bisa selamat dari Bella kali ini?"

Alesya terisak, meratapi nasibnya yang seolah tak pernah berpihak kepadanya. Ia merasa dunia ini begitu kejam, mengambil segala yang ia miliki hingga tak tersisa apapun lagi.

Ceklek.

Tiba tiba Liam masuk kamar dan tidur di ranjang yang sama dengan Alesya. Hal itu membuat Alesya bingung sekaligus bahagia. Meski tak melakukan kewajiban di atas ranjang, berdua dengan Liam saat ini sudah membuat Alesya bahagia.

"Tidurlah!"

Alesya memilin piyama tidurnya, bersusah payah untuk mengatakan apa yang dirasakan saat ini.

"Ada yang ingin aku katakan."

Tangan Liam terangkat dengan wajah berpaling membuat Alesya mengerti jika Liam tak mau mendengar apapun dari mulutnya. Sama sekali tak berarti, Alesya memutuskan tidur membelakangi Liam.

Alesya tak mampu menahan isak tangisnya. Hatinya kini merasa terluka dan hancur berkeping-keping. Matanya tak berhenti meneteskan air mata mendapatkan penolakan dari Liam.

Dalam hati, Alesya bertanya-tanya apakah selama ini cintanya pada Liam hanya semu? apakah dirinya hanya menjadi pelengkap kehidupan Liam sejak kepergian Bella? Lalu kini Bella telah kembali, mungkinkah dirinya berarti?

Alesya berusaha memejamkan mata meski tubuhnya gemetar dan terasa nyeri. Rasa sakit yang begitu mendalam kembali menusuk hatinya yang rapuh.

Alesya datang ke Perusahaan untuk mengirim kotak makanan pada Liam. Kegiatan yang setiap minggu dilakukan selama tiga tahun ini. Meski Liam tak pernah peduli pada Alesya, ada satu hal yang patut dibanggakan Alesya. Setidaknya Liam selalu memakan habis setiap makanan yang dimasaknya.

Langkah Alesya tiba tiba terhenti saat pemandangan mesra menyapa mata lentiknya. Liam sedang makan bersama Bella dan sepasang relasi bisnisnya. Bella dengan anggun menyuapi sushi ke mulut Liam menggunakan sumpit.

Keahlian yang Bella miliki dalam mengambil hati Liam Empat tahun lalu. Dan Alesya tak bisa melakukannya, bahkan menggunakan sumpit saja dia tak bisa.

Alesya merasa hidupnya tak lagi berarti, kebahagiaan yang dirasakan selama ini hanyalah bayang-bayang semu yang tak pernah nyata.

"Liam, terima kasih karena kamu telah memaafkanku dan mau menerimaku kembali," ucap Bella di hadapan dua relasi bisnis Liam.

Liam tersenyum tipis membuat kedua relasi merasa canggung.

"Kamu ini bicara apa, Bella? Kamu menyelamatkan hidup Liam, jadi kamu harus disisi Liam, selamanya."

"Benarkah itu sayang?" tanya suami dari Okta, yang tak lain sahabat Bella.

"Benar. Berita ini sudah tersebar di media massa jika Bella adalah pendonor sumsum tulang belakang untuk Liam. Besok Bella akan mengadakan jumpa pers mengenai hal ini. Anda setuju kan Tuan Liam?" tanya Okta.

Liam menghembuskan nafas kasar. Dia sungguh tak bisa berbuat banyak saat ini. Media massa sudah meliput, bagaimanapun hal ini perlu diklarifikasi. Hal itu membuat Liam menjawab dingin, "Terserah Bella."

"Lalu, Alesya?"

Bella berusaha mengungkit adiknya saat tahu Alesya di depan pintu dari tadi.

"Kenapa sekarang kamu membahasnya, Bella?"

"Oh begitu. Maaf ya sayangku, aku tak tahu jika kamu membencinya. Bukankah tiga tahun cukup untuk memupuk rasa cinta diantara kalian?"

"Tidak untukku. Sudahlah, lanjutkan urusan kalian!"

Liam bangkit dan berjalan keluar ruangan. Dirinya berhadapan dengan Alesya yang dari tadi berdiri disana. Tatapan dingin itu menatap tajam pada manik mata hazel Alesya.

Liam pergi tanpa mengatakan apapun, hal itu membuat Alesya tak tahan lagi. Sikap dingin Liam sungguh membuatnya ingin mati saja.

"Ardo, ini untukmu."

Alesya memberikan kotak makanan pada Asisten Liam dan pergi dari perusahaan.

Tak ada lagi yang tersisa dari hatinya selain kepedihan yang tak berkesudahan. Alesya merasa bahwa tak ada lagi harapan untuk meraih kebahagiaan bersama Liam, pria yang kini telah berpaling darinya.

Alesya mencoba mencari kekuatan untuk bangkit kembali.

Ia tidak boleh terus terpuruk dalam keputusasaan, ia harus menemukan cara untuk melupakan Liam dan menghadapi kenyataan bahwa lelaki itu kini bukan lagi miliknya.

Dengan mata sembab, Alesya mengepak pakaian dalam koper besar. Tatapan Alesya tertuju pada pigura berisikan foto pernikahannya dengan Liam. Dalam foto tersebut Liam terlihat angkuh dan berpaling dari Alesya. Hanya foto pernikahan itu, satu satunya memori yang dimiliki Alesya bersama Liam.

Alesya segera memasukan foto itu di koper bersama barang berharga lainnya. Aktivitas berhenti saat Alesya melihat cincin pernikahan di jari manisnya. Dilihat sejenak cincin dengan ukiran nama Liam di dalamnya.

Seseorang yang diharapkan bersama Alesya selamanya seperti ukiran yang telah terpatri di cincin dan dipakai Alesya saat ini.

Harapan hanyalah harapan, tak bisa terwujud dan sirna bersama hembusan angin malam pekat yang menerpa. Alesya sadar diri, tak lagi mengharapkan cinta seorang Liam.

Dilepas cincin Alesya dan ditaruh di nakas samping ranjang. Tak lupa dikunci rapat nakas tersebut dan dibawa kunci itu pergi.

Liam sendiri terbaring lemah di ruang pribadi kantornya. Bella sudah diusir dari tadi. Pergi bersama dua relasi yang hendak berinvestasi pada Perusahaan Roderick.

Sambil mengurut dahinya, Liam teringat kembali bagaimana Alesya mengusap matanya, ada perasaan aneh yang timbul saat Alesya melakukannya. Hal itu mengganggu pikiran Liam saat ini.

"Apa yang kamu pikirkan, Liam. Tidurlah!" gumam Liam bermonolog dan berusaha menutup mata.

Pagi hari.

Persiapan untuk jumpa pers sudah siap. Banyak sekali reporter yang datang guna meliput berita ini. Bella sungguh telah mempersiapkan semua ini.

Semalam Liam pulang ke kediaman Roderick saat tengah malam. Kini dia baru bangun dari tidurnya, dilihat jam masih menyisakan waktu tiga puluh menit untuk bersiap.

Liam membuka gorden putih dan menggeser pintu kaca serta berjalan menuju balkon. Moment di pagi hari yang dilakukan Alesya adalah berjemur. Liam terus mengamati kegiatan itu dari atas.

Liam mengernyitkan kening, merasa aneh karena Alesya tak berjemur hari ini. Dalam hati bertanya tanya, 'Kamu dimana, Ale?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   120. Malam ke-dua, penuh gairah

    Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   119. Malam pertama

    "Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   118. Pernikahan ulang

    "Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   117. Menikah lagi?

    Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   116. Memberi balasan yang setimpal

    "Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman

  • Kakak Ipar, Mari Kita Bercerai!   115. Akhirnya ....

    "Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status