LOGIN“Aku bisa gila karena memikirkan pria itu!” keluh Aurelyn berguling di atas ranjang dengan perasaan kacau.
Seharian ini, dia tidak keluar dari kamar karena memikirkan perkataan Zephyr kemarin. Bisa-bisanya pria itu ingin jadi selingkuhan dari tunangan adiknya sendiri.
Aurelyn menatap langit-langit kamar yang kosong, lalu mengubur wajahnya ke bantal dengan frustrasi. "Kenapa hidupku jadi serumit ini?" gumamnya.
Ponsel di atas nakas terus-menerus bergetar. Sudah puluhan pesan masuk dari Aveiro, bahkan dari sahabatnya yang penasaran ke mana Aurelyn menghilang. Tapi semuanya diabaikan.
Yang terngiang justru suara Zephyr.
"Asalkan hanya aku yang boleh mencium dan tidur denganmu."
"Aku tidak keberatan jadi yang kedua."
"Kamu milikku, Aurelyn."
"Aaaargh!!" Aurelyn berguling sekali lagi dan duduk di pinggir ranjang. Rambutnya berantakan, matanya sembab karena kurang tidur, dan pikirannya tak kunjung tenang.
“Aku harus keluar dari kekacauan ini. Harus!” tekadnya mulai muncul. Ia bangkit dan berjalan ke depan cermin. Menatap pantulan dirinya sendiri dengan sorot penuh muak.
“Aku bukan boneka siapa pun. Aku harus bisa lepas dari pria berbahaya itu,” katanya, seolah meyakinkan diri sendiri.
Ketukan di pintu menyadarkan lamunannya.
“Jesse, apa kamu sudah siap? Kita bisa terlambat untuk datang ke acara makan malam.” Terdengar suara ibunya diluar pintu.
“Makan malam?”
Degh!
Hampir saja, Aurelyn melupakan acara ini. Makan malam keluarga dengan keluarga Aveiro untuk menyambut kepulangan Zephyr.
Perut Aurelyn seketika mual. Makan malam yang awalnya ia anggap sebagai formalitas keluarga biasa, kini berubah menjadi siksaan psikologis. Bagaimana bisa dia duduk di meja makan, berpura-pura baik-baik saja, sementara pria yang mengancam dan mempermalukannya akan berada di sana… tersenyum manis di depan semua orang?
Aurelyn menutup matanya, mencoba mengatur napas. Tidak. Dia tidak boleh terlihat lemah malam ini.
“Sebentar lagi, Mom!” serunya, berusaha membuat suaranya terdengar normal.
Begitu suara langkah sang ibu menjauh, Aurelyn kembali menatap cermin. “Kamu harus kuat, Jesse. Jangan beri dia kesempatan untuk menyudutkan dan menggodamu. Jangan!” gumamnya menatap pantulan Dirinya di depan cermin.
Dia membuka lemari, memilih gaun bernuansa anggun dan elegan berwarna navy, bukan untuk menarik perhatian, tapi untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan gadis lemas, dia akan melawan dan tidak merasa takut maupun terancam oleh sosok Zephyr.
Dia akan menghadapi Zephyr. Di meja makan nanti. Di hadapan semua orang.
Wanita itu bersiap dengan makeup natural dan membiarkan rambutnya terurai indah. Setelah siap, dia bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar. Di sana ibu dan ayahnya sudah bersiap.
“Lama sekali,” keluh ibunya.
“Sorry, Mom. Aku tadi ketiduran,” jawabnya dengan senyuman merekah.
“Kalau begitu, kita berangkat sekarang,” ujar ayah Aurelyn.
Mobil keluarga Aurelyn melaju menuju restoran mewah tempat makan malam keluarga itu diadakan. Sepanjang perjalanan, Aurelyn memilih diam. Tangan di pangkuannya saling menggenggam erat, berusaha menyalurkan ketegangan yang bergemuruh dalam dadanya. Senyum yang ia tampilkan barusan hanyalah topeng. Di dalam, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.
Sesampainya di restoran, mereka disambut pelayan yang membawa mereka menuju ruang VIP. Dari kejauhan, Aurelyn sudah bisa melihat keluarga Aveiro duduk rapi di meja panjang. Termasuk… pria itu.
Zephyr.
Pria itu duduk santai di salah satu ujung meja, mengenakan kemeja hitam dengan dua kancing atas terbuka. Matanya langsung menangkap sosok Aurelyn yang baru datang. Dan seperti biasa, senyum miring itu langsung muncul, senyum yang seolah tahu banyak hal tentang Aurelyn.
Namun Aurelyn tak menghindar. Dia menatap balik, mengangkat dagu, dan berjalan mantap ke kursinya. Seolah semua yang terjadi antara mereka tak pernah ada.
“Aurelyn, kamu terlihat cantik sekali malam ini,” puji ayah Aveiro.
“Terima kasih, Uncle,” balas Aurelyn sopan.
“Zephyr, ini Nyonya Emma dan tuan Jose, orang tua Aurelyn. Kamu sudah tau, kan. Aurelyn ini tunangan Aveiro,” ucap Ayah Zephyr memperkenalkan keluarga Aurelyn.
“Ya, Dad. Aku sudah tau, saat di pesta kemarin, kami sempat bertemu dan berkenalan. Bukankah begitu, Aurelyn?” tanya Zephyr sedikit menggoda.
“Um… Ya,” jawab Aurelyn berusaha tenang walau jantungnya berdebar kencang. Dia sangat takut, Zephyr akan bertingkah seenaknya.
“Kamu tidak membalas pesanku, Jesse,” bisik Aveiro yang duduk di samping Aurelyn.
“Ah, maafkan aku. Sebenarnya aku kurang sehat, jadi aku tidur seharian,” jawabnya tersenyum kikuk.
“Kenapa nggak bilang dari tadi?” Aveiro menatapnya dengan khawatir, menggenggam tangannya pelan di bawah meja. “Kamu kelihatan baik-baik saja, tapi kalau belum pulih, kita bisa pulang lebih cepat.”
Aurelyn tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, aku sudah jauh lebih baik.”
Dari seberang meja, Zephyr mengamati interaksi itu dengan tatapan tajam. Genggaman tangan, senyum lembut, perhatian Aveiro—semua itu seperti duri menusuk kesadarannya. Rahangnya mengencang, tapi dia tetap menjaga sikap.
“Kami sangat senang Aveiro akhirnya menemukan wanita baik dan anggun seperti Aurelyn,” ujar ibunda Aveiro.
“Terima kasih, Tante,” jawab Aurelyn cepat, menyembunyikan ketegangan di balik senyum sopannya.
Pelayan mulai menyajikan hidangan pembuka. Suasana menjadi lebih tenang, dengan percakapan ringan antar keluarga. Namun, bagi Aurelyn, ketegangan di meja makan ini seperti bom waktu. Dia bisa merasakan tatapan Zephyr yang terus mengawasinya, meski pria itu berpura-pura sibuk mengaduk wine di gelasnya.
“Aurelyn,” ucap Zephyr tiba-tiba, “kalau kamu masih tidak enak badan, mungkin bisa minta tolong Aveiro mengantar pulang. Atau… aku yang antar?”
Tangan Aurelyn langsung menggenggam sendoknya lebih erat. Tapi dia tetap tersenyum. “Terima kasih atas tawarannya, kak Zephyr. Tapi aku rasa, tunanganku cukup bertanggung jawab untuk Menjaga ku,” jawabnya.
Senyum miring Zephyr semakin lebar. “Tentu, tentu. Aku hanya… khawatir. Kadang, kita butuh orang yang benar-benar mengenal kita, untuk tahu apa yang kita butuhkan.”
Kalimat itu terasa seperti kode tajam yang menusuk langsung ke dada Aurelyn. Ia bisa melihat ekspresi Aveiro yang sedikit bingung, namun belum mencurigai apa pun.
Aurelyn menarik napas dalam-dalam. Tenang. Jangan terpancing. Kamu yang pegang kendali sekarang.
Dia menegakkan tubuhnya dan menatap Zephyr dengan senyum yang tak kalah tajam. “Terima kasih atas perhatian kak Zephyr. Tapi, Aveiro sudah cukup lebih baik untukku,” ujar nya dengan tenang.
Beberapa pasang mata di meja tampak terkejut dengan respon Aurelyn, namun Zephyr hanya terkekeh pelan.
“Touché,” bisiknya pelan. “Kita lihat seberapa lama kamu bisa bertahan, sayang.”
Aurelyn hanya membalas dengan senyum kecil dan mengalihkan pandangan ke Aveiro yang duduk di sebelahnya. Fokus, Jesse. Jangan biarkan dia mengendalikan suasana. batinnya berulang kali mengingatkan.
Percakapan di meja makan berlanjut dengan suasana yang sedikit canggung, meski ditutupi oleh tawa-tawa kecil dan obrolan basa-basi. Namun di balik semua itu, Aurelyn bisa merasakan aura panas yang terpancar dari ujung meja, tepatnya dari Zephyr yang sesekali masih menatapnya seolah hendak menelanjangi pikirannya.
Beberapa menit kemudian, ponsel Zephyr bergetar di atas meja. Ia melirik sekilas, lalu berdiri. “Permisi sebentar, aku harus menerima panggilan ini.”
Dia keluar dari ruang VIP dengan tenang, namun Aurelyn tahu... sesuatu akan terjadi.
Benar saja. Tak lama setelah Zephyr pergi, notifikasi pesan masuk ke ponsel Aurelyn berbunyi. Getaran kecil itu terdengar nyaris seperti ledakan di kepala Aurelyn.
Satu pesan. Dari Zephyr.
“Ikuti aku ke balkon belakang. Sekarang. Atau video itu akan terkirim ke tunanganmu dalam 3 menit.”
Aurelyn menegang. Wajahnya memucat. Tangannya gemetar, tapi ia segera mengatur napasnya.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Aveiro yang melihat ekspresi Aurelyn berubah.
Aurelyn buru-buru tersenyum dan menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku… cuma butuh sedikit udara segar. Aku ke toilet sebentar, ya.”
Aveiro hendak berdiri, tapi Aurelyn menahan lengannya. “Sendiri aja. Aku nggak apa-apa, sungguh.”
Dengan langkah yang nyaris goyah, Aurelyn berjalan keluar. Di lorong panjang menuju balkon belakang, dia melihat pintu kaca terbuka. Angin malam berembus pelan, membawa aroma bunga dan tekanan tak kasatmata yang menyesakkan dada.
Zephyr berdiri membelakangi pintu, menatap langit malam. Suara langkah Aurelyn membuatnya menoleh.
“Kamu datang lebih cepat dari dugaanku,” ujarnya dengan senyum tenang, seolah tak ada yang salah.
Aurelyn mengepalkan tangannya. “Apa kamu nggak punya hati, Zephyr? Mengancamku seperti ini… kamu benar-benar keterlaluan!”
Zephyr berjalan perlahan ke arahnya. “Aku tidak mengancammu, Aurelyn. Aku hanya… menunjukkan caraku untuk membuatmu tetap di sisiku.”
“Dengan mengancam akan mengirim video itu ke Aveiro?” suara Aurelyn bergetar.
Zephyr berhenti satu langkah di hadapannya. “Kamu tahu aku bisa melakukan lebih dari itu. Tapi aku belum. Karena aku masih ingin kamu memilih… dengan sadar. Untuk tinggal bersamaku.”
Aurelyn menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Dan kalau aku bilang tidak?”
Senyum Zephyr memudar sedikit, berubah menjadi tatapan dingin. “Maka aku akan membuatmu membayarnya, bukankah kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu,” ucap Zephyr tersenyum lebar penuh intimidasi hingga Aurelyn tak bisa berkutik.
***
Selama di perjalanan, Aurelyn sesekali menoleh ke arah Zephyr yang fokus menyetir mobil. “Terima kasih sudah nolongin aku,” ucap Aurelyn akhirnya membuka suaranya setelah lama diam. “Kenapa pergi sendirian saat malam hari?” tanya Zephyr. “Apa kamu sedang coba bunuh diri?” walau pertanyaan itu sarkas, tapi Aurelyn tahu kalau Zephyr mengkhawatirkannya.Aurelyn menunduk, jemarinya meremas ujung mantel Zephyr yang kini membungkus tubuhnya. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang masih tersisa.“Aku … aku cuma butuh waktu sendiri,” jawabnya pelan. “Aku nggak sangka mereka tiba-tiba muncul.”Zephyr menoleh sekilas dengan sorot mata dingin. “Kamu pikir dunia ini aman untukmu? Semua orang tahu siapa kamu, Aurelyn. Itu artinya, semua orang juga bisa menjadikanmu sasaran.”Aurelyn terdiam, hatinya terasa semakin berat. Kalimat Zephyr terdengar keras, tapi ia tahu, itu adalah bentuk nyata dari kekhawatiran.“Kalau aku terlambat satu menit saja-” Zephyr menghela napas panjang,
Mobil hitam berlapis baja sudah menunggu, mesin meraung pelan. Blade membuka pintu belakang dengan sigap, sementara Marvel memberi isyarat kepada dua kendaraan pengawal lain untuk bersiap mengikuti.Zephyr masuk ke dalam mobil, duduk tegak dengan wajah kelam. Tangannya mengepal di atas lutut, menahan amarah yang membuncah. “Jika ada goresan sedikit saja di tubuh Aurelyn, mereka semua akan kuhancurkan!”Blade duduk di depan, menoleh sekilas lewat kaca spion. “Tuan, kami bisa mendahului mereka dengan jalur alternatif. Tim pengintai sudah melacak posisi mobil yang membuntuti. Mereka melaju pelan, menunggu momen.”“Tidak ada momen untuk mereka. Aku yang akan menentukan akhir dari permainan ini,” sahut Zephyr dingin.Mobil melaju kencang menembus gelapnya malam. Salju berterbangan, lampu-lampu jalan berkelebat cepat.Sementara itu, di dalam mobil Aurelyn, ia duduk sendirian di kursi belakang, menatap keluar jendela. Matanya sayu, bibirnya terkatup rapat. Dia belum menyadari bahaya yang men
“Marvel, apa kamu sudah menyelidiki Varga dan Arwin Holt?” tanya Zephyr yang duduk di kursi kebesarannya. “Ya, Tuan,” jawab Marvel. “Apa hasilnya?” tanya Zephyr. “Saya tidak menemukan identitas itu. Tetapi, ada nama anak buah dari Jordan Valchev yang bernama itu,” jelas Marvel.Zephyr menyipitkan mata, jemarinya mengetuk pelan sandaran kursi kebesarannya. Ada kilatan dingin di tatapannya, menandakan pikirannya sedang berpacu cepat.“Jadi begitu,” gumam Zephyr lirih. “Jordan berusaha menyusup dengan nama samaran.”Marvel menunduk dalam, lalu menambahkan, “Sepertinya nama Varga dan Arwin Holt digunakan sebagai tameng, Tuan. Identitas asli mereka masih tertutup rapat. Namun, ada catatan pergerakan dana yang mengarah ke jaringan milik Valchev. Itu tidak kebetulan.”Zephyr mendengus dingin. “Jordan selalu bermain di balik bayangan. Dia pikir aku tidak akan menyadarinya. William dan Dimitri jelas melakukan ini dengan bantuan dari Jordan. Mereka pikir, aku bodoh
Langkah Zephyr terhenti di ujung pintu menuju atap. Pandangannya membeku saat melihat Aurelyn menangis di pelukan Aveiro. Nafasnya tertahan, seakan ada tangan kasar yang mencekik lehernya. Hatinya terasa diremukkan sekaligus dibakar api cemburu dan sakit.Aurelyn tidak menyadari kehadirannya, begitu juga Aveiro. Hanya bayangan tubuh Zephyr yang samar tertimpa cahaya lampu atap."Jadi ini, yang sebenarnya?" batin Zephyr. Matanya memerah, bukan hanya karena dingin salju, tapi karena luka yang merambat begitu cepat di dalam dadanya.“Aku mencintai Aveiro.” Kata-kata Aurelyn kembali muncul di kepalanya, seperti pisau yang menghunus langsung ke jantungnya.Ia mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Aurelyn ….” gumamnya lirih. “Padahal aku sudah menunggumu selama ini. Perasaanku tidak pernah berubah padamu, wanita yang memberikan coklat hangat, memberikan kehangatan padaku yang sedang kebingungan dan hilang arah,” batin Zephyr.“Kenapa? Tidak bisakah kamu mencintai
“Kenapa kamu membawaku ke sini, Aveiro?” tanya Aurelyn saat mereka berada di atap gedung perusahaan Clark yang sangat tinggi. Langit malam dengan udara dingin dan hujan salju yang jatuh ke tanah. “Ada yang ingin aku bicarakan padamu, Aurelyn,” ucap Aveiro menatap ke arah Aurelyn di depannya. “Apa?” tanya Aurelyn memandang Aveiro di depannya dengan intens. “Aku tidak bisa melanjutkan rencana perjanjian kita, Aurelyn.” Deg. Aurelyn jelas terkejut mendengar hal itu dari Aveiro. Wanita itu menghela napasnya pelan. “Apa alasannya?” “Aku sudah katakan, aku tidak suka rencana ini. Kamu terus saling serang dengan Zephyr. Mau sampai kapan ini akan terjadi, Rel?” tanya Aveiro. “Apa kamu tidak bisa mengabaikan hal itu?” tanya Aurelyn menatap Aveiro dengan tajam. “Tidak bisa!” jawabnya dengan tegas. “Aku tahu kamu mencintainya, Aurelyn. Kita sudah kenal sangat lama, kita berteman bahkan satu sekolah dan kuliah. Aku sa
“So, dia kan wanita yang kamu sukai, Leo? Tunangan adik sepupumu?” tanya Clarissa menoleh ke arah Zephyr.Clarissa menatapnya dengan tatapan penuh kepuasan, seakan menemukan kelemahan terbesar yang bisa ia gunakan kapan saja. Nada suaranya terdengar ringan, namun penuh dengan racun yang terbungkus manis.Zephyr menoleh perlahan, menatap Clarissa dengan sorot mata dingin yang membuat senyumnya sedikit menegang. “Jangan bicara sembarangan,” ucapnya datar, meski nada suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Clarissa tersenyum samar, tidak gentar sedikit pun. “Kenapa? Aku hanya menebak, kok. Tapi melihat caramu menatapnya tadi ah, rasanya aku tidak perlu menebak terlalu jauh.” Ia tertawa kecil, lalu kembali merapatkan dirinya ke lengan Zephyr, seolah menegaskan bahwa dialah yang kini ada di sisi pria itu.Zephyr berhenti melangkah, rahangnya mengeras. “Clarissa,” suaranya rendah, penuh peringatan, “jangan pernah singgung hal itu lagi.”Untuk pertama kalinya, ekspresi Clarissa sedikit







