"Keluyuran kemana saja kamu? Apa gunanya membawa ponsel kalau susah sekali dihubungi?"
Tubuh Lillian menegang saat mendengar suara seorang laki - laki, sebuah hardikan yang familiar dari seberang sana. Tanpa sadar matanya refleks menatap Harvey dengan perasaan nelangsa. Seharusnya dia yang bertanya kemana Ernest keluyuran selama ini, bukan malah dibalik seperti sekarang ini. Ernest lebih dulu menuduhnya keluyuran.Memang beberapa jam ini, Lillian tidak menyentuh ponselnya. Tapi apakah semua ini salahnya? Toh selama ini Ernest tidak pernah menghubungi Lillian.
Belum sempat Lillian menjawab, perintah berikutnya sudah kembali terdengar, "Bukakan pintu untukku! Lima belas menit lagi aku sampai rumah."
Akhirnya perjalanan pulang dilalui Lillian dengan perasaan yang terombang ambing. Setelah sekian lama tanpa kabar, akhirnya Ernest menelepon dengan nomer baru. Seharusnya seorang istri senang saat suaminya memberi kabar akan pulang ke rumah. Tapi pada kenyataannya, Lillian sama sekali tidak merasa bahagia. Sebaliknya, hatinya terasa sakit saat mengingat tuduhan semena - mena Ernest di telepon tadi. Suaminya sama sekali tidak merindukan Lillian.Lillian duduk di mobil sambil mengepalkan tangan di pangkuan. Dia benci situasi seperti ini, dikejar rasa bersalah karena sudah mengkhianati Ernest. Seharusnya dirinya bisa marah tapi rasa bersalahnya lebih besar dibandingkan dengan kemarahannya pada Ernest.Kalau Lillian benci terhadap situasi yang melilitnya. Harvey juga benci pada perlakuan kasar Ernest terhadap wanita yang disayanginya. Dada Harvey bergemuruh menahan emosi yang menggunung dan hatinya penuh caci maki terhadap adiknya. Sialnya, Lillian memilih mengalah dan patuh pada Ernest. Semua ini gara - gara wanita itu masih menganggap bahwa Ernest adalah suaminya.Harvey menghentikan mobil tepat di depan rumah, ternyata Ernest belum datang. Kesempatan ini dia gunakan untuk berbicara pada Lillian."Lili.""Ya?""Ingat baik - baik. Jangan pernah kalah pada intimidasi Ernest. Kamu tidak melakukan kesalahan apapun. Dia yang salah." ujar Harvey sambil menatap Lillian dibawah remangnya cahaya lampu jalan.Lillian menangkap ada marah bercampur gelisah di dalam mata teduh Harley. "Har.... ""Please, Lili. Tanamkan di kepalamu kalau kamu tidak bersalah. Bersikaplah tegas pada Ernest." Harvey meraih pipi Lillian, mengelus lembut kulitnya dengan ujung jari.Lillian menunduk. Dia malu tapi merasa harus mengatakannya pada Harvey. "Aku salah, Har. Aku sudah tidur denganmu. Bahkan aku yang menciummu lebih dahulu."Harvey menarik napas dalam - dalam sebelum berbicara, "Lili, sebenarnya aku ingin memberitahumu sebuah fakta. Aku sedang menunggu waktu.. --"Suara ketukan dari jendela mobil terdengar, bunyinya terdengar tak sabar dan penuh emosi. Harvey dan Lillian menghentikan adegan 'romantis' mereka, sempat terkejut, tapi kemudian Lillian segera mengendalikan dirinya. Dia keluar dari mobil dan menyapa Ernest. Harvey segera menyusulnya.
"Kamu sudah datang?"
Seharusnya Lillian memeluk dan mencium Ernest setelah lama tak berjumpa. Tapi kakinya terasa kaku, membuatnya berat untuk mendekat.
"Bukakan pintu! Aku lelah."
"O'ya. Sebentar." Lillian mengambil kunci dari dalam tas, lalu menoleh ke Harvey yang sudah turun dari mobil dan berdiri di dekat mereka.
"Apa kamu tidak menawariku untuk mampir, Lili?" tanya Harvey dengan santai.
"Ini rumahmu. Kamu boleh kemari kapan pun kamu mau," sahut Lillian cepat.
Harvey mengusap kepala Lillian dengan lembut tapi matanya menatap tajam ke arah Ernest.
"Apa saja yang kamu kerjakan diluar sana, Dude?"
"Tentu saja bekerja." jawab Ernest acuh.
Lillian bergeser dan membuka pintu untuk mereka. Ernest langsung masuk diikuti oleh Lillian dan Harvey.
"Naiklah keatas. Bersihkan tubuhmu. Aku ingin bicara sebentar dengan Ernest," titah Harvey.
Lillian mengangguk patuh dan naik keatas tanpa berpamitan pada Ernest. Kebetulan sekali Harvey menyuruhnya pergi, dia merasa tak nyaman berdekatan dengan Ernest. Di dekat Ernest, Lillian merasa sangat tertekan.
Di ruang keluarga, Ernest membuka lemari kaca, mencari koleksi minuman yang disimpannya disana. Jumlahnya berkurang.
"Kamu tidur disini saat aku tidak ada di rumah?" tanya Ernest dengan nada sinis. Ya. Ernest tahu kalau satu - satunya orang yang selalu menemani Lillian minum adalah Harvey.
"Ya, ada masalah?" Harvey balik bertanya tanpa merasa bersalah.
Ernest tersenyum licik. "Dengar, Har. Ini adalah tempat tinggal seorang wanita bersuami. Apa kata orang kalau tau ada laki - laki lain yang selalu menginap disini? Apalagi disaat suaminya sedang tidak ada di tempat."
"Aku bukan orang lain bagi Lillian. Aku adalah sahabat, saudara dan juga orang yang disayangi dan menyayanginya dengan tulus."
"Harvey, dia itu istriku."
"Sudah bukan lagi sejak kamu meninggalkannya," bantah Harvey.
"Bagi Lillian, aku masih suaminya. Kepala keluarga. Aku berhak atas Lillian, termasuk membatasi hubungan kalian. Malam ini tidurlah yang nyenyak di rumahmu sendiri."
Harvey menahan sakit hatinya. Ernest dengan tidak tahu malu mengusirnya. "Ini juga rumahku. Aku berhak untuk disini kapan pun aku mau." ujarnya meniru ucapan Lillian.
"Terserah kamu saja. Jangan salahkan aku kalau malam ini tidurmu terganggu oleh aktifitas kami di kamar tidur."
Seketika darah melonjak naik ke kepala Harvey.
"Tutup mulutmu, brengsek!" umpatnya dengan kedua tangan mengepal. Dia tak suka membayangkan Ernest menyentuh Lillian.
Ernest tertawa penuh kemenangan. Dia menuang wine dan meminumnya dengan gaya yang dibuat - buat. Memuakkan!
"Aku benar - benar tak sabar untuk menghabiskan malam ini bersamanya."
Detik dimana Ernest menyelesaikan kalimatnya, detik itu juga Harvey menerjang Ernest hingga adiknya tersungkur ke lantai. Gelas kaca yang dipegangnya jatuh dan pecahannya mengenai tangan Ernest. Tanpa banyak bicara, Harvey mendaratkan bogemnya ke wajah Ernest. Lagi dan lagi.
Kemarahan Harvey benar - benar meledak. Lillian masih menganggap Ernest sebagai suami jadi Harvey tidak bisa melarangnya untuk tidur bersama Ernest. Kenyataan itu membuat Harvey semakin membabi buta memukuli adiknya.
Kegaduhan itu terdengar sampai ke kamar Lillian. Wanita itu tergopoh - gopoh menuruni tangga menuju tempat kejadian perkara.
"STOP! STOP!" lerai Lillian panik.
Stamina Harvey lebih bagus dari pada Ernest yang suka mabuk. Tentu saja Ernest terkapar di lantai. Lilliam ternganga saat Harvey tidak juga berhenti memukuli.
"HAR! Apa yang kamu lakukan?" Lillian menarik tubuh Harvey supaya tidak terus merangsek Ernest.
"Dia memanfaatkan situasi, Lili! Jangan mudah terkecoh." Harvey lagi - lagi memukul Ernest tapi Ernest tidak membalas atau melindungi wajahnya dari serangan itu. Seakan - akan dia pasrah dan layak mendapatkannya. Melihatnya, emosi Harvey kian meluap.
"Har, aku mohon, berhentilah," mohon Lillian setengah menangis. Wajah Ernest terluka, darah keluar dari hidung dan sudut mulut. Kalau begini terus, Harvey bisa membunuh Ernest. Dan buntutnya, Harvey akan berurusan dengan polisi.
Bukannya berhenti, Harvey malah semakin kalap. Matanya tertutup oleh cemburu karena Lillian terlihat seperti memihak pada Ernest.Sekali lagi Harvey melayangkan pukulan. Lillian meloncat, lalu merangsek di antara dua laki - laki yang sedang berseteru itu.
"HENTIKAAAAN!!" pekik Lillian sekuat tenaga.
Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per