Home / Rumah Tangga / Kakak Iparku Mencintaiku / Bab 9 - Kelakuan Ernest

Share

Bab 9 - Kelakuan Ernest

Author: EYN
last update Last Updated: 2023-11-24 23:33:07

"HENTIKAAAAN!!" pekik Lillian sekuat tenaga. Melihat wajah panik Lillian memenuhi pandangannya, Harvey menghentikan kepalan tangannya di udara. 

"Kalian berdua kakak beradik! Semua bisa dibicarakan baik - baik. Lihat! Ernest tidak melawan. Apa kamu ingin membunuhnya?" seru Lillian penih emosi. Dia menghampiri Ernest dan membantu laki - laki itu supaya bisa berdiri. Saat ini dia harus memilih untuk mengurus orang yang lebih membutuhkan dirinya.

"Ernest, kamu tidak apa - apa?" tanya Lillian sambil menatap tajam kearah Harvey.

Harvey bergeming. Dia memperhatikan setiap ekspresi yang bercampur menjadi satu di wajah Lillian. Di wajah wanita itu tidak hanya tergambar rasa panik dan cemas tapi juga marah. Rasa khawatir itu tentu saja untuk Ernest, sedangkan kemarahannya sudah jelas ditujukan kepada dirinya.

"Apa kamu marah padaku, Lili?" tanya Harvey pelan.

"Menurutmu?" Lillian balik bertanya, kebiasaannya saat dia marah. Dia mengangkat alisnya tinggi - tinggi.

"Tapi dia sudah membuatmu hidupmu sulit. Kamu dikejar - kejar debt collector karena dia pengecut. Kamu menanggung cicilan kartu kredit si brengsek ini. Enak saja dia hilang dan muncul sesukanya," protes Harvey.

"Tapi bukan seperti ini caranya, Har," ketus Lillian. Dia tahu bagaimana sifat Ernest, laki - laki itu bisa saja mengadukan Harvey ke polisi dengan pasal penganiayaan. Jujur, Lillian lebih khawatir pada nasib Harvey dibandingkan dengan keadaan Ernest yang babak belur saat ini. Tapi mulut dan hatinya seakan tidak sinkron, apa yang terucap berbeda dengan yang dipikirkan.

"Jangan ikut campur urusan kami, Har. Sebaiknya kamu pergi dari sini. Ini urusan rumah tangga. Kam itu cuma orang luar," potong Ernest. Dia duduk di sofa sambil memegang pipinya yang mulai bengkak, sengaja memasang ekspresi kesakitan untuk menarik simpati Lillian.

Lillian memang melihat Ernest kesakitan, tapi dia tidak berani meninggalkan mereka berdua untuk mengambil peralatan P3K. Ruangan ini masih dipenuhi dengan aura permusuhan. Salah - salah, Harvey kembali menghajar adiknya.

Harvey terdiam sambil menatap Lillian. Wanita bertubuh mungil itu tertegun mendapati ada kilatan sedih di dalam mata Harvey. Rasanya Lillian ingin memeluk Harvey saat itu juga. Dia tak tega melihat Harvey yang sakit hati dan kesepian. Sayangnya, disini ada Ernest yang kesakitan. Tidak etis rasanya kalau dia lebih condong ke kakak iparnya dari pada suami sendiri.

"Har, untuk malam ini. Hanya malam ini saja. Pulanglah ke rumahmu sendiri. Ernest benar. Kami akan menyelesaikan masalah ini berdua. Ya?" Kali ini Lillian mengucapkannya dengan nada lebih lembut, ada permohonan disana.

"Kamu juga mengusirku, Lili?" desis Harvey tak bisa lagi menyembunyikan sakit hatinya.

"Tidak, Har. Bukan seperti itu. Ini rumahmu. Tenangkan pikiranmu dulu, lalu kembalilah saat dirimu sudah lebih tenang. Aku tidak suka melihatmu melukai orang hanya karena emosi," jawab Lillian dengan sabar. Dia berusaha meredakan emosi Harvey.

Tapi siapa sangka, Lillian tak sengaja salah memilih kalimat. Kalimat terakhir terasa menyakitkan bagi Harvey. Lillian membela Ernest yang bisanya hanya menyusahkan orang lain. Kekesalan itu meluap begitu saja.

"Terserah kamu saja, Lili," geram Harvey, merasa sia - sia dirinya berada disini. 

Harvey mengalihkan pandangan dari Lillian ke Ernest. "Aku pergi karena Lillian yang memintanya. Jangan berani menyentuh dia seujung jari pun, atau aku akan membunuhmu! Aku tidak main - main," ancamnya.

Setelah itu Harvey keluar rumah dengan membanting pintu keras - keras. Bunyinya sampai membuat Lillian terjengit saking kerasnya. Dalam hati Lillian heran dengan emosi Harvey hari ini.

"Hei, Har! Ada apa denganmu?" Lillian berseru keras dari jendela, tapi Harvey tidak mendengarnya. Dia keluar pagar dan langsung memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Raungannya menggema di jalanan yang sepi.

"Apa yang membuatnya begitu emosi? Apa sebenarnya yang terjadi tadi?" gerutu Lillian sambil mengambil peralatan P3K untuk mengobati memar di wajah dan luka di tangan Ernest. Harvey yang dikenalnya adalah tipe lelaki dewasa yang tenang dan mengayomi.

"Harvey memang gila. Posesif akut. Tukang ikut campur. Sok kuasa." Ernest mencaci maki sambil berkacak pinggang. Dia berdiri di jendela dengan wajah puas karena rivalnya sudah berhasil disingkirkan. Ernest mengenal Lillian dengan baik. Wanita itu pasti membela yang lebih lemah. Oleh karenanya, Ernest sengaja tidak melawan, merelakan diri untuk menjadi samsak bagi Harvey. Dia punya tujuan lain datang ke rumah Lillian malam ini.

"Apa maksudmu?" Lillian berhenti tepat di depan Ernest sambil memegang kotak P3K. Cara bicara laki - laki itu membuat Lillian enggan mendekat, apalagi mengobati. Harvey yang dihina, Lillian yang merasa sakit hati.

Ernest malah berbalik lalu mendorong Lillian dengan kasar. Dia masuk ke kamar Lillian dan berkaca. Tulang pipinya robek tapi darah sudah berhenti. Lillian mengikuti Ernest, sambil terheran - heran pada dirinya sendiri. Sedikit pun tidak ada rasa iba pada Ernest.

Saat ini yang perasaan yang tersisa pada Ernest hanya satu, yaitu kewajiban. Iya. Dia tahu kalau laki - laki di hadapannya adalah suaminya. Seburuk - buruknya Ernest, Lillian tetap harus menghormati. 

"Dimana tasmu?" Ernest balik bertanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar dan menemukan sebuah tas tangan berwarna hitam teronggok diatas nakas.

Lillian mengerutkan kening ketika melihat Ernest menyambar tas miliknya dan menuang begitu saja isi tas ke atas tempat tidur. Ponsel, dompet, alat make up, handsanitizer dan beberapa keperluan wanita lain berserakan disana.

"Apa yang kamu lakukan? Kamu membuat semuanya berantakan," protes Lillian marah.

Ernest tak merespon. Dia mengambil dompet Lillian, membukanya dan mengambil semua lembaran uang yang ada disana lalu mengantonginya.

"Cih, cuma segini uangmu! Ini masih kurang."

Melihat gelagat buruk Ernest, Lillian membelalakkan matanya lebar - lebar. Dengan matanya, Lillian mengikutk gerak gerik Ernest. Kini laki - laki itu beralih ke ponsel Lillian dan mengutak atiknya. "Bagus. Kamu masih menggunakan password yang sama. Dasar bodoh!" ujarnya sambil tertawa licik.

Lillian merasa seperti tersengat lebah. Jangan - jangan.... 

"Hei! Kembalikan ponselku!" seru Lillian marah. Semua akun pribadi ada di ponselnya termasuk rekening bank dan e-money lainnya. Semua password yang dipakainya selalu sama sejak dia masih SMA. Lillian gemetar saat melihat Ernest membuka aplikasi berlogo salah satu bank swasta yang terkenal. Jangan sampai Ernest merampok dirinya. Seingat Lillian, Ernest sering meminjam uang darinya tapi tak pernah sekali pun dia mengembalikan.

"Ernest!" seru Lillian sambil menyambar ponsel miliknya. Namun Ernest lebih cepat, dia berkelit lalu mendorong Lillian hingga wanita itu terpental ke belakang.

"Mengganggu saja!" Ernest mengumpat sambil melanjutkan aksinya sambil berdiri memunggungi Lillian. Di lantai Lillian duduk dengan sambil menyentuh dahinya yang terasa nyeri karena terantuk nakas. Ini bukan pertama kali Ernest berlaku kasar seperti ini. Ingatan - ingatan masa lalu kembali muncul, sikap - sikap kasar Ernest. Setelah menikah, Ernest jadi kasar dan ringan tangan.

Sekali lagi Lillian mengusap dahinya yang sakit, lalu melihat jarinya sendiri. Untung saja tidak berdarah, meski kemungkinan besok akan lebam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nurliza Eri
Keren kak cerita semangat ya kak ...
goodnovel comment avatar
Effie Widjaya
lilian terlalu sabar
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 109 - Keluarga Kecil Bahagia

    Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 107 - Persalinan Darurat

    Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 106 - Misi Penyelamatan

    "Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 105 - Chaos

    "Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 104 - Firasat

    Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 103 - Call Me, Please...

    Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status