“Sel ….” Dewi menyenggol lengan Shayla.
“Apaan?” Shayla bergumam. Matanya masih fokus pada papan tulis. “Lihat … bagus mana? Yang ini … apa yang ini?” Dewi memperlihatkan foto sebuah tas branded di layar ponselnya. “Yang pertama,” jawab Shayla malas-malasan. “Oke,” kata Dewi lantas mengetikan sesuatu di ponselnya. “Om yang mana yang mau ngasih tas itu sama lo?” “Yang duda … terus dia mau nikah jadi mau mutusin gue, makanya kasih hadiah perpisahan … sayang banget padahal om ini paling royal … tapi anaknya ganteng … apa gue deketin anaknya aja ya?” Seketika Shayla terbatuk karena tersedak ludahnya sendiri. Dewi langsung meletakan ponselnya, dia menepuk-nepuk punggung Shayla yang masih terbatuk hingga matanya memerah. “Kenapa kamu?” Dosen tampan bernama pak Zidan bertanya karena merasa terganggu. “Keselek kayanya, Pak!” Dewi yang menjawab karena Shayla belum berhenti batuk. Pak Zidan meraih botol air mineral miliknya dari atas meja kemudian dia berikan kepada Shayla. “Minum,” katanya dengan suara lembut. “Makasih, Pak!” Shayla berujar usai menghabiskan setengah air di botol yang diberikan pak Zidan. Pak Zidan melanjutkan menerangkan materi hari ini, teman-teman yang lain fokus sekali tapi tidak dengan Shayla yang benaknya terus bertanya-tanya. Apakah mungkin om yang dimaksud Dewi adalah om Abraham? Shayla tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya, setelah jam mata kuliah berakhir dan pak Zidan keluar dari kelas—Shayla langsung menarik tangan Dewi keluar kelas. “Pelan-pelan, Sel.” Dewi terseok diseret Shayla. “Wi … gue mau lihat om lo yang lo omongin tadi.” Dewi mengerjapkan matanya. “Memangnya kenapa?” “Cepetan gue mau liat fotonya, atau namanya deh.” Dewi mengotak-ngatik ponselnya lantas menunjukkan sebuah foto melalui layar alat komunikasi canggih itu. “Namanya om Aby.” Deg. Kaki Shayla terasa lemas, napasnya tersendat melihat foto di layar ponsel Dewi mirip sekali dengan om Abraham. Dan nama ‘Aby’ bukannya panggilan kecil dari Abraham? “Ya Tuhan.” Shayla membatin. “Lo kenapa?” Dewi mengerutkan kening melihat wajah pucat Shayla. Sahabatnya itu sekarang membungkuk dengan kedua tangan memegang lutut. “Sel … lo kenapa?” Dewi jadi ikut membungkuk. Shayla menggelengkan kepala. Dia tidak mungkin mengatakan kalau calon ayah tirinya adalah om-om langganan Dewi. Jadi selama ini om Abraham memenuhi kebutuhan seksualnya dengan perempuan muda seusia anaknya? Bahkan Dewi lebih muda usianya dari Ryuga. “Tapi ‘kan Sel, seenggaknya om Abraham mutusin si Dewi karena mau nikah sama mommy.” Entah setan atau malaikat yang ada di dalam hati Shayla yang bicara seperti itu. “Sel … Sel … om Bimo telepon, gue jawab dulu ya … lo tunggu di sini, eh … eh … pak Zidan, tolongin Shayla Pak … aku angkat telepon dulu.” Dasar sahabat lucknut, Shayla sedang sesak napas karena syok seperti ini malah mementingkan panggilan telepon dari om-om dan malah memanggil pak Zidan yang kebetulan sedang lewat untuk menolong Shayla. “Kamu kenapa?” Pak Zidan tiba di samping Shayla sesaat setelah Dewi menjauh. “Enggak Pak, enggak apa-apa.” Shayla menegakan punggungnya. Dia berusaha terlihat baik-baik saja hanya agar pak Zidan tidak khawatir. Shayla tidak ingin ada mahasiswi yang melihat mereka bicara berdua lalu berpikiran macam-macam karena sikap pak Zidan selalu ajaib setiap kali memperlakukan Shayla sementara banyak mahasiswi yang tergila-gila padanya. “Yakin?” Alis pak Zidan mengeriting, dia tidak percaya. “Yakin, Pak … Shayla duluan.” Shayla membungkukan sedikit tubuhnya lantas pergi. “Sel … Shayla!” Pak Zidan memanggil tapi Shayla menulikan telinga dia terus melangkah cepat menunggu kantin. Jadi sebenarnya Shayla sudah merasakan perhatian lebih dari pak Zidan, itu kenapa dia menghindar karena menurut Shayla pak Zidan yang berusia tiga puluh tahun terlalu tua untuknya. Sesampainya di kantin, Shayla mencari meja kosong yang berada di bagian sudut ruangan dan duduk di sana setelah membayar satu botol minuman dingin. Shayla merogoh ponsel dari dalam tas, dia berniat menghubungi mommy untuk memberitahu apa yang baru saja dia ketahui tentang om Abraham dari Dewi. Jempolnya tertahan di udara saat hendak menekan tombol call, rasanya berat sekali karena benak Shayla memutar kembali moment saat makan malam di mana mommy begitu bahagia bersama om Abraham. Shayla mengembuskan napas bersama pejaman mata, dia topang keningnya menggunakan satu tangan yang menggenggam ponsel. Gadis itu merenung selama beberapa lama memikirkan sebuah skenario mengenai bagaimana caranya memberitahu mommy tentang kelakuan om Abraham tanpa membuat beliau bersedih selagi pernikahan belum terlaksana. Di antara riuhnya isi pikiran Shayla, dia menghirup wangi parfum yang familier disusul usapan di kepala. Shayla lantas menoleh ke sosok yang baru saja duduk di sampingnya. “Kak Ryu ….” Shayla bergumam. Si calon kakak tiri tampannya itu berekspresi datar saat menatap Shayla, detik berikutnya mengalihkan pandangan lantas mengangkat tangan. Alih-alih membalas sapaan Shayla, Ryuga malah memanggil pelayan. “Mau makan apa?” Ryuga memberikan buku menu yang diberikan pelayan. “Gue traktir,” kata cowok itu sembari membaca menu, suaranya pelan nyaris tidak terdengar. Mata Shayla yang memang sudah berkhianat dari semenjak pertama kali bertemu Ryuga, kali ini pun tidak bisa Shayla kendalikan. Shayla terus menatap Ryuga dengan segala perasaan berkecamuk di dalam dadanya. Ryuga memberikan buku menu kepada pelayan sembari menyebutkan menu makan siang pesanannya. Dia lantas merentangkan tangan di sepanjang sandaran kursi Shayla dengan badan sedikit menghadap gadis itu. Dia condongkan kepalanya mendekati wajah Shayla. “Lo mau makan apa?” tanyanya mengulang. Shayla menarik kepalanya sedikit ke belakang menjauhi wajah Ryuga kemudian mengalihkan tatapannya kepada pelayan. “Sama kaya kak Ryu,” katanya dengan kerjapan mata cepat. Pelayan lantas pergi setelah mendapatkan buku menu yang tadi dipegang Shayla. “Pulang jam berapa?” Ryuga bertanya. Sekarang tangan Ryuga disimpan di atas meja, posisi duduknya juga menghadap ke depan. “Ja-jam tiga.” Shayla menjawab terbata. “Mau gue anter pulangnya?” Ryuga menoleh membuat netranya kembali bertemu dengan netra Shayla. “Enggak usah.” Shayla yang lebih dulu memutus tatapan, dia memilih untuk memandangan kedua tangannya yang menggenggam ponsel di atas meja melingkari minuman botol yang belum dia sentuh. “Pulang naik apa?” Ryuga bertanya lagi. “Taksi.” Shayla menjawab singkat. “Ya udah … gue anter ya.” Shayla merasakan usapan di kepalanya membuat dia refleks menoleh. “Kata tante Marie ‘kan gue harus jagain lo,” sambung Ryuga dengan suara lembut. Ryuga merebut ponsel yang sedang digenggam Shayla. Shayla terlalu syok dan segan untuk memprotes jadi diam saja hanya bisa melotot ketika Ryuga mengotak-ngatik ponselnya. Tidak lama ponsel Ryuga berdering, dia lantas mengembalikan ponsel Shayla. “Itu nomor gue, save ya!” Ryuga berujar sembari menyimpan nomor Shayla yang baru saja masuk ke ponselnya. Shayla menurut dan menyimpan nomor Ryuga dengan nama ‘Indomie’ karena sesungguhnya Ryuga adalah tipe cowok seleranya. Shayla tampak berpikir sembari menatap layar ponsel hanya agar matanya tidak terus menatap Ryuga yang sialan tampan itu. Apakah Ryuga mengetahui kelakuan papanya? “Lo kenapa?” Shayla merasakan kembali usapan di kepala setelah Ryuga bertanya demikian. “Ini cowok enggak bisa berhenti ngusap-ngusap pala gue apa? Bukan apa-apa, jantung gue overacting terus.” Yang hanya bisa Shayla ucapkan di dalam hati. “Kalau Kak Ryu mengetahui keburukan mommy … apa Kak Ryu akan melaporkannya sama om Abraham?” Selain mata Shayla, sekarang bibir Shayla yang berkhianat karena bisa-bisanya dia malah bertanya demikian kepada Ryuga. “Cari perhatian banget sih! Kepengen ngobrol lo sama kak Ryu!” kata hati Shayla yang meledek dirinya sendiri. “Waktu papa sama mama memutuskan akan bercerai, berulang kali gue membujuk mereka agar memikirkan keputusan itu kembali tapi mereka tetap bercerai … dan sekarang, gue enggak peduli lagi mereka mau nikah sama siapapun … asal lo tahu, nyokap gue nikah sama bule yang usianya hanya beda lebih tua tiga tahun dari gue… dan mereka sekarang tinggal di Bali.” Sorot mata Ryuga meredup saat cerita, dia juga tidak menatap Shayla seperti biasa memberitahu Shayla bila ada luka mendalam di hati Ryuga mengenai perpisahan kedua orang tuanya. Sesungguhnya Shayla pun begitu tapi dia memiliki mommy yang selalu meyakinkannya kalau mereka akan baik-baik saja tanpa daddy.Ryuga begitu cemas, duduknya di ruang tunggu terlihat gundah lantaran di dalam ruang operasi sana sang istri sedang bertaruh nyawa melahirkan putri mereka ke dunia.Shayla dan Ryuga telah mengetahui jenis kelamin si janin semenjak usia kandungan Shayla telah menginjak enam belas minggu.Mereka bahagia menyambut kelahiran sang putri tersebut tapi karena riwayat kuret yang pernah dilakukan Shayla juga satu dan lain hal sehingga dokter menyarankan agar Shayla melakukan persalinan secara caesar untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan.Tapi jadinya Ryuga tidak bisa mengetahui bagaimana keadaan Shayla, ingin sekali Ryuga menerobos pintu besi di depannya untuk bisa segera mengetahui bagaimana kondisi Shayla saat ini.Andaikan Ryuga bisa tukar tempat dengan Shayla pasti sudah Ryuga lakukan.Kehamilan Shayla memang tidak ada kendala dan terbilang cukup sehat dan kuat karena Shayla masih bekerja hingga kandungannya berusia delapan bulan.Tadinya Shayla akan mengambil cuti setelah dia me
“Shayla!” Ryuga berteriak di dalam ruangan IGD mencari istrinya yang katanya dilarikan ke rumah sakit karena pingsan.Dia seperti kesetanan sewaktu mengemudikan kendaraannya menuju rumah sakit setelah mendapat kabar buruk tersebut dari teman sekantor Shayla.“Mas Ryu ….” Suara seorang perempuan membuat Ryuga menoleh.“Suaminya Shayla, kan?” Perempuan itu bertanya memastikan.Sementara itu sekuriti tengah berjalan mendekat dengan ekspresi garang sama garangnya dengan tatapan para petugas medis yang merasa terganggu. Dan Ryuga sama sekali tidak peduli.“Iya … Shayla mana?” Dia berlari menghampiri perempuan itu.“Shayla lagi USG … saya Nita, yang tadi telepon Mas Ryu.” Nita mengulurkan tangannya.“Shayla sakit apa?” Alih-alih menjabat tangan Nita, Ryuga malah bertanya panik.“Menurut tes darah tadi, Shayla hamil … terus Shayla minta USG.” Nita memberitahu.Ryuga terpekur, jantungnya berdetak kencang dan tubuhnya tiba-tiba bergetar.Dia masih ingat bagaimana kalutnya saat beberapa tahun
Saat sesi foto bersama, MC harus memanggil empat pasang orang tua Shayla dan Ryuga.Ini momen yang paling ditakutkan oleh anak-anak broken home.Dan sesi foto tersebut harus dilakukan enam kali.Yang pertama adalah Shayla dan Ryuga bersama Papa Abraham dan mama Diah, selanjutnya bersama Mommy dan daddy lalu setelahnya berfoto bersama Mommy dan Papa, kemudian berfoto bersama mama Diah dan suami brondongnya lantas yang terakhir adalah bersama keluar baru daddy.Namun nyatanya setelah sekarang memiliki keluarga sendiri, Shayla sudah tidak emosional lagi menghadapi perpisahan kedua orang tuanya.Dia berusaha menerima dengan lapang dada dan bersedia dekat dengan keluarga dari daddy begitu juga Ryuga yang mencoba membuka hati untuk suaminya mama yang ternyata sampai detik ini masih setia bersama mama Diah.Acara tersebut dilanjutkan dengan acara resepsi, ada pidato wejangan-wejangan dari para orang tua yang kemudian diteruskan dengan acara makan malam.Resort di mana berlangsungnya acara pe
“Kenapa sih ditelepon enggak diangkat, di chat enggak dibalas? Sebenarnya Kak Ryu itu mau nikah enggak sih sama aku!” Shayla berseru geram.Matanya menatap nyalang Ryuga dengan kedua tangan dia lipat di pinggang.Ryuga malah melongo bingung karena Shayla tiba-tiba datang ke kantor dan berdiri di tengah-tengah ruang kerjanya.“Ah si sayang mah, suka sompral ngomongnya kalau lagi marah ….” Ryuga mengesah, melempar pena ke atas meja lantas melipat kedua tangan di dada dengan alis menukik, dia kesal karena Shayla berkata kalau dia tidak berniat menikahinya.“Terus kenapa masih di sini? Kita harus fitting, Kak … kitu tuh nikah minggu depan … aku bela-belain cuti setengah hari demi bisa fitting tapi Kak Ryu malah duduk di sini mandangin komputer.” Suara Shayla masih tinggi.“Ya ampun sayang, aku lupa ….” Ryuga bangkit dari kursi memburu Shayla.Saat Shayla berada dalam jangkauan tangannya, dia merengkuh pinggang Shayla dan dengan satu kali gerakan mudah, dia membawa Shayla duduk di atas pan
Shayla berdiri di depan cermin, kebaya berwarna emerald membalut tubuhnya begitu sempurna.Makeup hasil tangan dingin MUA kenamaan melengkapi kecantikan Shayla.Ketukan di pintu membuat Shayla berhenti menganggumi dirinya di cermin.Dia menarik handle untuk membuka benda dari bahan kayu tersebut kemudian menemukan wajah pujaan hatinya yang tidak pernah berhenti terlihat tampan.Ryuga terpaku menatap Shayla selama beberapa detik dan ditatap demikian menghasilkan semu di pipi Shayla.“Kak Ryuuuu,” panggil Shayla gemas.“Kamu … bidadari dari mana? Shayla mana?” kata Ryuga menggoda tunangannya.Shayla terkekeh, dia merangkul lengan Ryuga kemudian keluar dari kamar usai mengambil clutch yang berada di kursi meja rias.Dia sudah mengerti kalau kedatangan Ryuga ke kamar pasti untuk menjemputnya karena pasti semua orang sudah menunggu di lantai bawah.Dan benar saja, Papa dan Mommy yang berpakaian rapih telah siap untuk mengantar Shayla wisuda.Seperti biasa, Shayla tidak memaksa daddy mengha
“Nungguin siapa, Sel?” Suara berat dari belakang punggung Shayla bertanya membuatnya menoleh ke belakang.“Eh, Bapak … lagi nungguin pacar, Pak.” Shayla menyahut.Beliau adalah salah satu pejabat di Kemenlu yang sering sekali meminta Shayla melakukan ini dan itu tapi dari sana Shayla banyak belajar karena memang tujuan magang di Kemenlu ini adalah mempersiapkan dirinya terjun ke dunia kerja yang sesuai dengan jurusan yang dia ambil.“Oh … kirain belum punya pacar, tadinya mau saya jodohin sama anak saya.” Pria itu berkelakar.Shayla tersenyum lebar. “Terimakasih Pak, tapi Shayla cinta banget sama cowok yang ini.” Ucapan Shayla yang polos membuat pria itu tertawa renyah.“Ya sudah, saya duluan ya!” katanya saat sebuah mobil berwarna hitam mendekat.“Hati-hati, Pak … sampai ketemu besok.” Pria itu mengangguk sembari tersenyum dan mengangkat tangan sebelum masuk ke dalam mobil.Shayla melambaikan tangan mengiri kepergian mobil hitam tersebut.Dia lantas terkejut saat tiba-tiba sebuah m
Mommy mengatakan kalau daddy datang ke Indonesia, katanya beliau bersama istri dan si kembar tengah berlibur.Daddy ingin sekali bertemu Shayla dan meminta Shayla datang ke hotel tempat dirinya menginap selama di Jakarta.Shayla datang di antar Ryuga, sekalian meminta restu kalau perlu mengancam.Sekarang Ryuga telah memiliki penghasilan sendiri dan memimpin dua perusahaan sekaligus, dia merasa percaya diri bicara dengan David Rodriguez.Restoran hotel menjadi pilihan mereka untuk bertemu, ternyata Shayla dan Ryuga terlambat karena begitu masuk—daddy dan istrinya sudah ada di sana sedang mengawasi si kembar berenang.Shayla menoleh pada Ryuga yang berjalan di sampingnya membuat Ryuga juga menoleh dan berpikir kalau di antara pengunjung restoran itu ada daddynya Shayla.Sekarang Shayla sedang gundah karena akan bertemu dengan orang yang memiliki darah yang sama dengannya namun terasa asing.Ryuga mengeratkan
“Aku pergi sayang.” Papa mengecup kening mommy kemudian beralih pada Shayla.“Papa dengar … kamu akan magang minggu depan di Kemenlu, apa betul?” “Iya, Pa ….” Papa mengangguk-anggukan kepalanya sembari tersenyum penuh arti.“Kalau gitu temani mommy dulu di rumah ya.” Beliau memberikan satu kedipan mata tanpa mommy ketahui.Shayla mengangguk tapi senyumnya tidak selebar tadi.“Mom … Ryu pergi.” Ryuga meraih tangan mommy dan mengecup bagian punggungnya.Ryuga memaksa pergi bekerja meski keadaan tubuhnya belum benar-benar pulih, jalannya masih harus menggunakan tongkat dan ada beberapa bekas luka di kepala yang belum kering sehingga Ryuga masih menggunakan perban tapi Ryuga sedang semangat bekerja demi bisa menghidupi Shayla setelah mereka menikah nanti dan tentunya harus dengan restu kedua orang tua.Ryuga mengusap kepala Shayla sebelum dia pergi meninggalkan ruang makan itu menyusul papa.
“Shayla enggak bisa cerita sama Papa tinggal di mana Shayla selama ini … tapi Shayla masih lanjutin kuliah secara online di kampus yang sama dan sekarang tinggal skripsi.”Jawaban Shayla tetap sama, dia tidak akan membahayakan Zidan.Papa menatap Shayla kecewa, beliau masih ingin mengetahui siapa yang menampung dan membiayai Shayla selama ini.“Shayla pastikan orangnya buka daddy kok, Pa … daddy enggak peduli sama Shayla.” Shayla menundukan pandangan menyembunyikan raut wajahnya yang sendu.“Sel, jangan berpikir seperti itu … daddy kamu sampai nyewa detektif swasta untuk nyariin kamu … Mommy kamu sampai keluar masuk rumah sakit karena memikirkan keadaan kamu, Papa dan Ryu juga cariin kamu terus … kamu enggak tahu gimana khawatirnya kami.” Papa mengatakannya dengan penuh penekanan.“Kami semua sayang sama kamu … tolong maafkan Mommy ya, sayang … pulanglah ke rumah … Mommy juga sudah memperbolehkan kamu ketemu Ryuga … tapi tolong jangan ulangi kesalahan yang dulu ….” Papa mengakhiri per