Tidak lama driver yang mengemudikan mobil mewah mommy memberhentikan kendaraan roda empat itu tepat di depan pintu sebuah loby hotel.
Di bagian rooftop-nya memang ada sebuah restoran dan lounge yang khusus untuk para kaum jetset yang setiap menunya dibandrol dengan harga fantastis. Ibu dan anak itu turun dari dalam mobil dan saling bergandengan tangan melintasi loby menuju area lift. “Om Abraham sama anaknya udah sampai.” Mommy bergumam memberitahu Shayla lantas memasukan ponselnya ke dalam tas. Shayla tidak menanggapi, dia diam saja. Ting … Pintu lift terbuka, kedua wanita cantik beda generasi itu kembali melangkah. “Selamat malam! Sudah pesan meja, Bu?” Seorang wanita yang berjaga di depan area pintu masuk resto bertanya. “Abraham Bimasena.” Mommy menyebutkan nama kekasihnya. “Oh, Silahkan lewat sini.” Wanita itu menuntun mommy yang melangkah di belakangnya diikuti Shayla. “Silahkan,” kata wanita itu. “Sayang.” Suara manja mommy terdengar menyapa. Shayla sampai syok karena baru sekarang mendengar suara itu keluar dari mulut mommy. Jelas saja, Mommynya adalah wanita karir, tangguh dan independen bukan tipe wanita manja apalagi menye-menye. “Marie.” Suara berat seorang pria balas menyapa. Tatapan Shayla langsung tertuju pada suara berat tersebut dan dia melihat pria yang masih gagah dan tampan di usianya yang tidak lagi muda itu mengecup pipi kiri dan kanan mommy. Ada gemuruh di dada Shayla, dia marah dan cemburu. “Kenalin, Mas … ini Shayla … anak aku.” Lagi, nada lembut layaknya cewek menye-menye keluar dari bibir mommy. Mommy beralih menatap Shayla yang memang sedang mengarahkan tatap pada beliau karena sanksi kalau yang di sampingnya ini adalah benar mommynya. “Shayla, ini om Abraham.” Tangan pria bernama Abraham langsung terulur ke depan Sheila begitu mommy memperkenalkannya. Shayla menjabat tangan pria itu sembari memberikan senyum tipis. “Shayla.” Shayla bergumam menyebut namanya. “Senang bertemu dengan kamu, Shayla …,” kata Abraham diakhiri senyum. Pria itu lantas menarik kursi untuk mommy kemudian melangkah ke belakang mommy yang sedang duduk. Tahu apa yang dilakukan om Abraham? Pria itu menarik kursi untuk Shayla. Oke, Shayla tersentuh. Kesan pertama om Abraham di mata Shayla bernilai tujuh. Pelayan mulai membagikan buku menu, Shayla fokus ke sana agar tidak perlu berinteraksi dengan om Abraham. “Oh ya, kenalin ini Ryuga … anak aku.” Kalimat om Abraham itu membuat Shayla mendongak. Seorang cowok tampan seperti karakter dalam novel yang sedang dia baca muncul entah dari mana. “Hallo Ryuga, saya Marie.” “Hallo Tante ….” Cowok yang memiliki bibir tipis dan dagu belah itu berujar dengan ekspresi datar. “Ini Shayla, anak Tante.” Mommy mengusap pundak Shayla. Perlahan Shayla mengulurkan tangan sambil menatap Ryuga lekat. Semuanya, tolong Shayla. Mata Shayla berkhianat tidak bisa dikendalikan, terus saja menatap Ryuga. Masih dengan ekspresi datar dan sorot mata dingin—Ryuga menjabat tangan Shayla. Tapi tidak sedingin tatapannya, telapak tangan Ryuga begitu hangat malah Shayla merasakan seperti ada arus listrik berdaya rendah saat bersalaman dengan cowok itu. Setelah bersalaman, Ryuga duduk di kursi tepat di depan Shayla. Dia menyimpan ponselnya di atas meja dengan posisi telungkup. Pandangannya lantas terangkat dan bersirobok dengan Shayla yang sedari tadi mengawasi gerak-gerik pria itu. Shayla langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain setelah tertangkap basah sedang menatap Ryuga. “Shayla kuliah di mana?” Om Abraham bertanya. Pertanyaan om Abraham itu dijawab oleh mommy karena Shayla malah melongo. Bagaimana tidak, tadi om Abraham mengenalkan putranya kepada mommy lalu sekarang bertanya di mana kuliah Shayla. Memangnya mommy dan om Abraham kalau bertemu membicarakan apa saja? Mereka pasti melalui masa pacaran untuk sampai bisa memutuskan akan menikah, bukan? Tapi kenapa antara mommy dan om Abraham seperti tidak saling mengetahui kehidupan satu sama lain? “Wah sama donk sama Ryuga, dia juga sedang melanjutkan S2 di sana.” Ryuga mengangkat pandangan dan Shayla menoleh pada Ryuga membuat tatapan mereka kembali bertemu. “Berarti nanti kalian bisa pulang pergi kuliah bareng ya!” Om Abraham melanjutkan kalimatnya. “Ide bagus, Shayla jadi ada yang jagain …,” timpal mommy antusias. Kalau tidak salah Shayla melihat Ryuga mendengkus geli. “Memangnya gue Babysitter.” Ryuga berujar di dalam hati. Pelayan berdatangan menyajikan menu makanan pesanan mereka. Sambil menyantap hidangan makan malam itu, mommy dan om Abraham sesekali bicara tentang sebuah kasus. Dari sana Shayla semakin yakin jika om Abraham adalah klien yang kasusnya sedang ditangani mommy beberapa minggu terakhir yang sampai menguras waktu mommy. Ah, Shayla kadi kecewa sebab mungkin saja waktu mommy yang sedikit yang semestinya ada untuk Shayla malah digunakan untuk berpacaran dengan om Abraham. Terlepas dari rasa kecewa yang tengah dirasakan Shayla, matanya masih saja melirik dengan sering ke arah Ryuga yang duduk tenang menikmati makan malamnya. Cowok itu santai sekali seakan tidak keberatan daddynya akan menikah lagi. Apa hanya Shayla saja yang terlalu posesif dan berlebihan? Sekarang mereka sampai pada menu penutup, piring-piring kosong baru saja di-cleare up oleh pelayan. “Jadi Ryuga, Shayla … mungkin kalian sudah tahu tentang rencana pernikahan kami dan sekarang kami mau mengumumkan sama kalian kalau rencana pernikahan itu akan kami lakukan satu bulan lagi.” Tangan Shayla yang memegang sendok tiba-tiba berhenti bergerak melayang di udara. Sebulan katanya? Sebulan itu tiga puluh hari kan? “Enggak kecepatan, Mom?” Suara Shayla terdengar serak ketika bertanya. Mommy tertawa pelan, beliau menyerongkan posisi duduknya menghadap Shayla. “Kami akan menikah di sebuah resort di Bali, acaranya intimate party jadi hanya sekitar dua ratus orang saja yang diundang.” Mommy menjelaskan. Lalu apa yang bisa Shayla lakukan selain membulatkan bibirnya membentuk huruf O? Selanjutnya mommy dan om Abraham malah asyik berdiskusi tentang konsep pesta pernikahan. Belum pernah Shayla melihat ekspresi mommy sebahagia ini ketika membicarakan sesuatu dan sorot mata mommy setiap kali menatap om Abraham memberitahu Shayla kalau mommy benar-benar mencintai om Abraham. Begitu juga dengan om Abraham yang selalu menggenggam tangan mommy, mengusap bagian punggungnya menggunakan ibu jari beliau. “Dah lah, gue jadi nyamuk di sini.” Shayla membatin. Dia beranjak dari kursi dan langsung mendapat perhatian seluruh penghuni meja. “Mau ke mana?” Om Abraham yang bertanya. “Shayla ke toilet sebentar, Om.” Shayla menjawab tidak lupa memberikan sedikit senyum. “Anter adiknya ke toilet, Ryu ….” Om Abraham meremat pundak sang putra. Ryuga mendongak menatap dingin terkesan kesal kepada Shayla. Sontak Shayla menggerakan tangan beserta gelengan kepala. “Enggak usah, Shayla bisa sendiri kok Om.” “Dianter aja, toiletnya jauh … harus nyebrang taman luas di belakang restoran.” Om Abraham memaksa dan bersamaan dengan itu Ryuga bangkit dari kursinya. Sesaat Shayla menatap Ryuga lantas mendapatkan tatapan tajam dari cowok itu.“Ryu, makasih ya udah mau bantu Papa … Papa enggak tahu mau minta tolong siapa … Papa harus pergi … kamu ‘kan tahu urusan ini penting banget buat, Papa.” “Iya, Pa … Ryu ngerti, Papa pergi aja … biar Ryu yang jaga mommy.” Abraham menatap sang putra lekat, anaknya selalu bisa diandalkan, selalu mau mengikuti keinginannya.Beliau telah melupakan kesalahan Ryuga yang telah menghamili Shayla karena banyak yang telah Ryuga lakukan untuk menyenangkan hatinya.“Tapi Ryu, sebenarnya mommy kamu enggak setuju waktu Papa bilang kamu yang akan nungguin dia.” Abraham meringis.Menurutnya Ryuga harus tahu agar bisa menyiapkan mental menghadapi Marie.Ryuga mengembuskan napas panjang tapi bibirnya tersenyum kecut.“Ya udah enggak apa-apa, Ryu udah tahan banting kok.” Abraham menepuk-nepuk pundak Ryuga kemudian masuk ke dalam kamar rawat Marie.Mommy tirinya Ryuga itu sering sekali keluar masuk rumah sakit karena memikirkan keadaan Shayla.Marie menyesal telah berniat menyekolahkan Shayla ke Singap
Berkali-kali Adelia menghubungi sang kakak melalui sambungan telepon tapi tak juga mendapat jawaban padahal dia akan berkunjung ke rumahnya sekarang.Taksi online yang Adelia tumpangi sudah berhenti di depan rumah sang kakak, dia turun dan melangkah menyebrangi halaman parkir mobil yang luas.Mengetuk pintu sebanyak tiga kali tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana.Adelia mengembuskan napas kecewa, tapi kemudian tangannya iseng menekan handle pintu dan pintu pun terbuka.Pintu utama rumah kakanya ternyata tidak terkunci.“Baaang!” Adelia memanggil, dia langsung pergi ke lantai dua menuju kamar kakaknya karena di lantai satu tampak sepi.Begitu sampai di depan kamar sang kakak yang terbuka sedikit pintunya, dia mendengar suara air shower di dalam kamar mandi.“Oooh, lagi mandi.” Adelia bergumam.Setiap weekend memang tidak ada asisten rumah tangga, jadi tidak akan ada yang membukakan pintu tapi beruntung pintu depan tidak dikunci.Adelia pergi ke dapur, tenggorokannya kerin
“Kak Ryu?” Kedua alis Dewi terangkat mendapati Ryuga ada di loby apartemennya. “Dew ….” Ryuga bangkit dari sofa menghampiri Dewi. “Lo tahu enggak Shayla di mana?” Ryuga meremat pundak Dewi cukup kencang. “Enggak tahu, Kak … ini ‘kan libur semester … kita enggak ketemu juga enggak chat-chatan.” Sudah dua orang selama dua hari ini yang menanyakan Shayla kepadanya dan Dewi sungguh tidak tahu Shayla ada di mana. Dia juga khawatir. “Coba lo telepon dia, gue udah coba telepon dia tapi hapenya enggak aktif … siapa tahu nomor gue diblok sama dia.” Ryuga pun menjauhkan tangannya dari pundak Dewi. “Waktu om Abraham telepon gue dan ngabarin Shayla kabur, gue udah coba telepon dia tapi enggak aktif … sebentar ya, gue telepon lagi… siapa tahu dia kemarin kehabisan batre.” Dewi mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Dia lantas menempelkan ponsel ke teling
“Loh … Shayla belum turun dari kamarnya seharian ini ya?” Marie yang sedang membaca majalah di kamar hanya mengangkat bahunya tidak peduli ketika sang suami berujar demikian.Abraham mengembuskan napas berat, beliau keluar dari kamar lalu menaiki anak tangga menuju kamar Shayla.Dia ketuk beberapa kali tapi tidak ada jawaban lantas membuka pintu dan ruang kosong yang dia dapati.Tidak ada Shayla di sana.“Sel … Shayla.” Abraham memanggil sembari melangkah menuju kamar mandi.Namun dia menemukan kamar mandi dalam keadaan kosong.Abraham kembali ke lantai satu untuk menemui asisten rumah tangganya.“Bi, Shayla mana?” “Saya belum liat dari pagi, Pak.” Abraham menghela napas panjang lagi, dia pergi ke kamarnya.“Sayang, coba kamu telepon Shayla … kayanya dia enggak pulang tadi malam, di kamarnya enggak ada dan bibi juga enggak liat dia dari pagi.” Abraham tampak panik.Marie mengangkat pandangannya. “Palingan anak kamu bawa Shayla pergi lagi.”Dengan entengnya Marie menuduh Ryuga.“Ka
Pak Zidan sampai harus menepikan kendaraannya karena Shayla tidak kunjung memberitahu alamat rumah.Tadi Shayla menceritakan semuanya yang sebagian sudah Pak Zidan ketahui tentang hubungan Shayla dengan Ryuga beserta janin yang akhirnya gugur dan menyebabkan mereka berpisah. Shayla juga menceritakan keegoisan sang mommy dan bagaimana hancurnya perasan Shayla saat ini.Banyak air mata menyertai cerita Shayla barusan dan pak Zidan tidak bisa berbuat apa-apa selain mendengarkan.Berulang kali pak Zidan mengembuskan napas kasar apalagi setelah mendengar Shayla mengungkapkan keinginan untuk kabur demi membuat sang mommy menyesali perbuatannya.“Jadi kamu mau ke mana sekarang?” Pak Zidan akhirnya bertanya.Dia sudah memberikan nasihat panjang lebar agar Shayla pulang dan sabar menghadapi sang mommy tapi Shayla bersikeras tidak mau pulang.“Ya udah, Shayla turun di sini aja, Pak.” Zidan menahan pundak Shayla yang tangannya hendak menarik handle pintu.“Terus kamu mau ke mana?” Pak Zidan m
Merasa ada yang memperhatikan, Shayla mendongak dari layar MacBooknya.Shayla memindai sekeliling coffeshop tempat di mana dia berada sekarang dan tidak menemukan seseorang yang tengah menatapnya.Pandangannya berhenti pada seorang pria yang duduk sendiri dan tengah sibuk dengan ponselnya, wajah pria itu tampak familier tapi Shayla lupa di mana pernah melihatnya.“Sel!” Dewi berseru dari pintu.Shayla menoleh lalu tersenyum tapi kemudian senyumnya pudar saat melihat sosok Kabir berjalan di belakang Dewi.“Hai Sel, apa kabar? Kurusan nih …,” sapa Kabir basa-basi lalu duduk di samping Dewi di depan Shayla.“Tadi gue ketemu Dewi di depan, katanya lo di sini dan kebetulan gue juga mau ke sini jadi barengan sama Dewi,” sambung Kabir memberitahu “Kabar baik, Kak … Kak Kabir enggak sama temennya?” Shayla menoleh ke pintu.Harapannya adalah bisa bertemu Ryuga.Shayla ingin tahu bagaimana ekspresi cowok brengsek itu saat bertemu dengannya.“Tadi gue sama Ryu ….”Deg.Jantung Shayla seakan ber
Shayla menjadi pemurung, dia menghabiskan banyak waktu di kamarnya hanya untuk melamun.Segala perasaan berkecamuk hingga dadanya terasa sesak.Kalau tahu begini akhirnya, Shayla akan ikut daddy saja jadi tidak perlu mengenal Ryuga.Ya, lebih baik tidak pernah mengenal cowok itu dari pada harus menerima kenyataan ditinggalkan oleh Ryuga ketika sedang sayang-sayangnya.Shayla jadi berpikir kalau Ryuga mungkin hanya menyayangi janin itu tapi tidak dengannya.Buktinya, setelah Sakura dinyatakan tidak selamat—Ryuga malah meninggalkannya.Shayla mendengkuskan tawa sumbang sembari menyusut air mata yang tiba-tiba saja mengalir.Betapa bodoh dirinya yang mau saja dirayu oleh cowok brengsek seperti Ryuga.Semestinya Shayla sudah bisa memprediksi masa depannya bila bersama Ryuga setelah mengetahui kalau Ryuga meninggalkan mamanya, cowok itu juga dengan mudah meninggalkan Adelia dengan alasan paling brengsek yaitu sudah tidak mencintainya lagi.Shayla menangkup wajahnya menggunakan kedua tangan
“Janinnya apa mau dimakamkan atau dibuang saja? Karena sebenarnya yang tersisa kecil sekali,” kata perawat paruh baya sembari mengecek selang infusan Shayla.“Dibuang saja!” “Dimakamkan!” Mommy dan Shayla secara bersamaan menjawab.Perawat itu mengangkat kedua alisnya kebingungan.“Saya mau memakamkan janin itu.” Shayla berujar kembali dengan suara bergetar namun tegas.Tapi perawat malah menoleh menatap mommy meminta persetujuan.“Paaa, bantuin Shayla nguburin anak Shayla … itu cucu papa juga.” Merasakan kasih sayang papa yang ternyata besar untuknya, sekarang Shayla lebih suka meminta apapun kepada papa.Shayla marah sama Mommy.“Iya sayang, iya.” Papa bangkit dari sisi mommy, tidak lupa menoleh pada mommy meminta persetujuan tapi papa malah mendapat delikan mommy.Setidaknya sang istri tidak memberikan protes terang-terangan jadi mungkin masih bisa dia memba
“Gue brengsek, Vik … gue unboxing Shayla sampe hamil terus gue ninggalin dia.” Ryuga yang disokong Kabir ketika berjalan itu meracau diakhiri tawa.Vikram menggelengkan kepala disertai hembusan napas panjang.Dia tahu kalau Ryuga membawa Shayla pergi dari rumah tapi dia terlalu sibuk untuk mencari tahu keadaan Ryuga dan Shayla setelah itu.“Si Ryu tinggal di mana? Gue anter aja! Lo bawa mobil?” Vikram bertanya pada Kabir.Kabir terlihat kesulitan memapah Ryuga yang tubuhnya tinggi besar, peluhnya mulai bercucuran membasahi pelipis juga kaos yang dia kenakan.“Jangankan mobil, motor juga gue enggak punya Bang.” Kabir menyahut dengan napas tersengal.Vikram sama sekali tidak mau membantu Kabir, dia sudah mengeluarkan uang sebanyak belasan juta untuk membayar minuman beralkohol yang membuat Ryuga jadi seperti ini.Tapi dia masih bersedia membuka pintu mobil, Kabir mendorong tubuh Ryuga masuk ke dalam kabin belakang hingga berbaring di sana, menutup pintu lalu duduk di kursi penumpang dep