Ledakan demi ledakan terus mengguncang rumah aman. Dinding beton mulai retak, jendela-jendela hancur berhamburan. Asap memenuhi udara, membuat pandangan semakin terbatas. Suara tembakan, jeritan, dan dentuman bergema seakan malam itu menjadi neraka di dunia nyata. Bima bersama beberapa pengawal bertahan mati-matian. Setiap kali musuh berhasil menerobos masuk, ia langsung melumpuhkan mereka dengan kecepatan dan ketepatan yang mengejutkan. Namun jumlah lawan seolah tidak ada habisnya. Dewi, meski ketakutan, tetap berusaha menjaga ketenangan. Di balik meja yang penuh kabel dan laptop, ia mengaktifkan sesuatu yang sudah lama ia siapkan—rencana cadangan jika Anton benar-benar menyerang dengan kekuatan penuh. Ia menekan sebuah tombol di layar laptopnya. “Aktifkan protokol Phoenix,” bisiknya. Seketika, sistem listrik darurat rumah aman menyala. Generator bawah tanah menghidupkan serangkaian perangkat elektronik yang sudah ia modif
Langit malam di kota itu tampak berbeda. Bintang-bintang seakan bersembunyi, digantikan awan gelap pekat. Di sebuah pelabuhan tua yang sudah lama ditinggalkan, belasan truk kontainer berhenti berbaris. Dari dalamnya keluar puluhan pria berpakaian hitam, bersenjata lengkap, wajah-wajah keras tanpa emosi. Mereka bukan sekadar preman jalanan. Mereka adalah pasukan bayaran internasional—mantan tentara, pembunuh profesional, orang-orang yang sudah terbiasa dengan darah dan maut. Anton berdiri di depan mereka, jas hitamnya berkibar tertiup angin laut. Di sampingnya, dua kontraktor asing itu menatap layar tablet yang memperlihatkan peta lokasi rumah aman tempat Dewi dan Bima bersembunyi. “Target kita sederhana,” kata salah satu kontraktor dengan suara tegas. “Hancurkan tempat ini. Bunuh siapa pun yang ada di dalamnya. Tidak ada negosiasi, tidak ada sandera. Semuanya harus hilang.” Anton mengangkat tangannya, menatap para prajurit
Di sebuah ruang kerja mewah yang remang, Anton duduk di balik meja kayu besar. Cerutu menyala di tangannya, asapnya mengepul tebal, menutupi wajahnya yang penuh amarah. Telepon genggam di atas meja baru saja meletakkan kabar buruk—Surya, tangan kanannya, tertangkap hidup-hidup. “Keterlaluan…!” Anton menghantam meja keras hingga gelas kristal berisi anggur merah terjatuh dan pecah berantakan. Wajahnya memerah, matanya menyala seperti bara api. Seorang anak buahnya, dengan tubuh gemetar, melapor pelan, “Bos… polisi menyerang mendadak. Gudang itu ternyata jebakan. Kami kehilangan banyak orang. Surya dibawa pergi hidup-hidup.” Anton berdiri mendadak, kursi mahalnya terjungkal ke belakang. “Bagaimana mungkin? Surya orangku yang paling cerdas di lapangan. Dia tidak mungkin kalah begitu saja!” Anak buah itu menunduk, tidak berani menatap wajah bosnya. “Mereka sudah menyiapkan segalanya, Bos. Kamera, rekaman… semua. Mereka menjebak
Pagi itu, rumah aman kembali dipenuhi suasana serius. Dewi duduk menatap laptop, jarinya bergerak cepat mengetik dokumen baru. Di sebelahnya, Bima memperhatikan dengan dahi berkerut, sementara Pak Aditya bolak-balik berjalan, sesekali menatap layar ponselnya. “Aku sedang menyiapkan laporan palsu,” kata Dewi sambil terus mengetik. “Isinya seolah-olah kita akan menyerahkan semua data ke jaksa hari ini pukul dua siang. Kita biarkan informasi ini bocor melalui jalur yang pasti dipantau orang-orang Anton.” Bima mengangguk paham. “Kalau begitu, Anton akan mengerahkan pasukannya ke kantor kejaksaan. Mereka akan berpikir kita benar-benar ke sana.” “Ya,” sambung Dewi. “Sementara itu, kita sendiri akan bergerak ke lokasi lain. Tempat yang sudah kita siapkan untuk menjebak mereka.” Pak Aditya akhirnya berhenti berjalan. Ia menatap Dewi dengan penuh pertimbangan. “Ide ini berisiko besar. Jika Anton sadar bahwa kita sedang memancingnya,
Malam kian larut, namun di rumah aman yang sunyi itu suasana penuh ketegangan. Dewi, Bima, dan Pak Aditya duduk mengelilingi meja kayu sederhana. Di meja itu, beberapa berkas dan laptop terbuka, menampilkan bukti-bukti dari flashdisk yang baru saja diperiksa. “Data ini luar biasa lengkap,” ujar Pak Aditya dengan nada kagum. “Ada catatan transaksi bertahun-tahun, bahkan ada tanda tangan elektronik dari pejabat tinggi yang bisa langsung dijadikan bukti kuat di persidangan. Kalau ini kita bawa ke pengadilan, Anton tidak akan punya ruang untuk membela diri.” Bima menarik napas dalam-dalam. “Tapi saya tahu, Anton tidak akan diam. Dia punya banyak orang, bahkan di dalam lembaga hukum. Saya takut sebelum semua ini sampai ke tangan hakim, dia sudah bergerak.” Dewi menatap mereka berdua. Suaranya tegas namun lembut. “Itu sebabnya kita tidak boleh gegabah. Kita harus punya cadangan. Data ini jangan hanya ada satu. Aku sudah membuat tiga salinan. Sa
Pagi itu langit Jakarta cerah, seolah tidak terjadi apa-apa semalam. Tapi bagi Dewi dan Bima, bayangan kegelapan justru semakin dekat. Dewi duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop. Di sana ada file hasil duplikat dari flashdisk yang diberikan Bima semalam. Data itu penuh dengan rincian transfer, kode proyek fiktif, hingga nama-nama besar yang selama ini mereka duga ada di balik semua manipulasi Anton. Ia mengetik pesan singkat ke Wahyu yang masih ditahan di rutan: “Tetap kuat. Jalan menuju kebenaran semakin dekat.” Pesan itu dikirim lewat jalur resmi komunikasi keluarga, agar tidak mencurigakan. Sementara itu, Bima sudah memutuskan langkah besar: ia akan mengajukan diri sebagai justice collaborator. Meski berat, ia tahu itu satu-satunya cara untuk mendapat perlindungan hukum sekaligus menjatuhkan Anton. “Kalau aku jatuh sendirian, semua sia-sia. Tapi kalau aku bicara di depan penyidik, An