Главная / Fantasi / Kakak iparku yang terlalu sempurna / Bab 23 - Langkah Kecil Menuju Besar

Share

Bab 23 - Langkah Kecil Menuju Besar

Aвтор: Diky
last update Последнее обновление: 2025-08-26 16:17:17

Aku baru saja menidurkan Arsya di box kayu buatan Arga ketika suara motor kurir berhenti di depan teras. Arga, yang masih sibuk membungkus nasi uduk, langsung berdiri sambil membersihkan tangan di celemeknya.

“Bang, ini pesanan ke rumah Bu Rahayu ya? Tolong hati-hati, lauknya masih panas banget.” kata Arga sambil menyerahkan kantong-kantong plastik berisi nasi uduk, sambel terpisah, dan kerupuk.

Kurir mengangguk, senyum lebar.

“Siap, Bang. Aman! Nasi uduk Bang Arga udah langganan orang komplek sini kok.”

Aku berdiri di balik pintu, menahan senyum sambil merapikan rambut yang kusut. Dulu aku tak pernah membayangkan akan melihat suamiku yang keras kepala itu membungkuk sopan pada pelanggan, menulis nota pesanan sendiri, dan rela begadang demi memastikan semuanya beres.

Setelah kurir pergi, Arga berjalan ke dapur, meneguk air putih, lalu menatapku sambil tertawa kecil.

“Hah, lega! Pesanan pagi ini ludes, Ran. Tinggal yang sore, 20 bungkus untuk tahlilan di ujung gang. Kamu capek nggak?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Заблокированная глава

Latest chapter

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 125 - Langkah ke Dalam Kabut

    Matahari sore meredup, langit berubah jingga pucat di balik kabut tipis yang menggantung. Desa kecil itu kini bagaikan benteng cahaya—parit yang sudah dipenuhi minyak berkilauan, obor besar menyala di tiap sudut, dan api unggun besar berdiri kokoh di tengah lapangan. Namun meski persiapan tampak lengkap, tak seorang pun bisa benar-benar menyingkirkan rasa takut yang menggantung di hati mereka.Di tepi desa, Bima berdiri dengan tombak bambu di tangannya. Luka di tubuhnya sudah dibalut kain, namun masih terasa nyeri setiap kali ia bergerak. Di sampingnya, Arif, Danu, dan Joko sudah siap dengan peralatan seadanya: obor panjang, bambu runcing, serta botol kecil berisi minyak kelapa yang digantungkan di pinggang.Rani berdiri di depan Bima, wajahnya memucat sejak pagi. Ia menggenggam erat selendangnya, berusaha menahan air mata. “Bima… kau tidak harus pergi. Kita sudah bertahan semalam, mungkin kita bisa terus melakukannya.”Bima menggeleng pelan. “Ran, kabut i

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 124 - Rencana di Balik Api

    Pagi datang dengan cahaya pucat. Matahari yang biasanya bersinar hangat, kini terhalang kabut tipis yang tak kunjung hilang sejak malam. Suara ayam jantan terdengar sayup, namun desa tetap sunyi. Tak ada canda anak-anak, tak ada suara riuh orang-orang berangkat ke sawah. Semua masih tegang, seakan malam panjang itu belum benar-benar berakhir.Di balai desa, orang-orang sudah berkumpul. Obor-obor masih menyala di sekeliling ruangan, seolah api menjadi satu-satunya pelindung dari ketakutan yang masih membayangi. Bima duduk di depan bersama Arif, Danu, Joko, Rani, dan kepala desa. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi matanya tetap tajam, penuh tekad.“Kita semua melihat apa yang terjadi semalam,” kata kepala desa membuka pertemuan. Suaranya parau karena semalaman hampir tidak tidur. “Makhluk itu tumbang, tapi kabutnya tidak pergi. Malah, kita melihat sesuatu yang lebih menakutkan: cahaya merah di dalam pusaran kabut. Apa pun itu, aku yakin itu sumber dari sem

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 123 - Bayangan Setelah Kemenangan

    Desa itu dipenuhi sorak-sorai. Orang-orang memeluk satu sama lain, ada yang berteriak lega, ada yang menangis sambil tertawa, dan ada pula yang langsung berlutut bersyukur. Anak-anak kecil yang tadi ketakutan kini berlari ke pelukan orang tua mereka. Obor-obor yang masih menyala tampak seperti bintang-bintang kecil di tengah malam, memantulkan cahaya hangat di wajah para pejuang desa.“Bima! Kau pahlawan kita!” teriak salah seorang pemuda desa sambil mengangkat obornya ke udara. Yang lain ikut bersorak, menyebut nama Bima berulang kali.Namun di tengah kegembiraan itu, Bima hanya duduk terengah di tanah, wajahnya pucat dan tubuhnya penuh luka. Rani bersimpuh di sampingnya, merawat dengan kain yang ia sobek dari selendang. “Jangan banyak bergerak, Bima. Kau kehilangan banyak tenaga.”Bima menatapnya dengan senyum tipis. “Aku baik-baik saja. Lebih penting… bagaimana dengan semua orang? Ada yang terluka parah?”Kepala desa menghampiri, wajahnya tegan

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 122 - Pertarungan dalam Kabut

    Kabut semakin tebal, menutupi hampir seluruh jalan masuk kampung. Obor-obor yang berderet di sekeliling desa bergetar ditiup angin dingin yang aneh, seakan ada kekuatan tak kasat mata yang mencoba memadamkannya.Bima berdiri paling depan bersama Arif, Danu, dan Joko. Wajah mereka pucat karena dingin, namun mata mereka menyala penuh tekad. Di belakang, warga desa menggenggam obor dan tombak bambu, berusaha menahan rasa takut.“Jangan biarkan cahaya padam!” teriak Bima lantang. “Selama api menyala, mereka tak bisa masuk!”Namun suara itu segera ditelan oleh raungan keras dari dalam kabut. Bayangan besar bergerak, tanah bergetar setiap kali langkahnya menghentak. Perlahan, sosok itu muncul—makhluk hitam setinggi pohon kelapa, matanya merah membara, mulutnya dipenuhi gigi tajam yang berkilat.Orang-orang desa berteriak ketakutan. Beberapa mundur, sebagian hampir menjatuhkan obor mereka.Arif menegakkan tubuhnya. “Bima, ini jauh lebih besar da

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 121 - Kabut yang Kembali

    Malam itu kampung sedang tenang. Obor-obor padam satu per satu, hanya cahaya bulan yang menerangi jalan setapak. Anak-anak sudah terlelap, suara jangkrik memenuhi udara, dan angin malam bertiup sejuk. Semua terasa damai… hingga tiba-tiba anjing-anjing desa menggonggong keras, menggema ke segala penjuru.Rani yang baru saja hendak memejamkan mata sontak terbangun. Ia duduk tegak, tubuhnya merinding. Dari jendela kecil rumah, ia melihat kabut tipis mulai merayap perlahan di permukaan tanah. Kabut itu berbeda—warnanya keabu-abuan, berputar seperti asap, dan bergerak melawan arah angin.“Tidak…” bisiknya, wajahnya pucat.Tak lama kemudian, terdengar teriakan dari arah sawah. “Kabut itu kembali! Kabut kembali!”Bima yang tidur di ruang sebelah segera terbangun. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, ia bergegas keluar rumah. Tatapannya langsung menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir: kabut tipis menyebar dari hutan ke arah desa, menutupi

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 120 - Bayangan di balik tenang

    Beberapa hari terakhir, kampung benar-benar terasa damai. Anak-anak kembali berlarian, para petani mulai menanam bibit baru di sawah, dan ibu-ibu menggelar tikar di depan rumah sambil mengupas sayuran, bercengkerama ringan.Bima, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, mulai ikut membantu pekerjaan ringan di ladang. Rani selalu menemaninya, memastikan ia tidak memaksakan diri.“Kau belum sepenuhnya sembuh, Bima,” kata Rani sambil menatapnya khawatir. “Kalau kau terlalu memaksa, lukamu bisa terbuka lagi.”Bima tersenyum menenangkan. “Aku tidak bisa hanya duduk diam sementara orang lain bekerja. Lagi pula, udara segar sawah membuatku lebih cepat sembuh.”Rani mendesah, namun akhirnya hanya mengangguk. Ia tahu keras kepala Bima tak mudah dibantah.Sore itu, setelah pekerjaan selesai, Bima berjalan sendiri menuju tepian hutan kecil di dekat sawah. Angin sore bertiup lembut, namun ada sesuatu di udara yang membuatnya merasa waspada. Suara burun

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status