Sudah dua minggu aku tinggal di rumah Siska. Sejak hari pertama, rasanya rumah ini benar-benar nyaman. Kakakku memang tipe perempuan perfeksionis — setiap sudut rumah bersih, rapi, wangi. Tapi aku tahu, di balik rapi itu, rumah ini terlalu sunyi. Siska selalu pulang larut malam, kadang baru pulang dini hari kalau pekerjaannya menumpuk.
Dan di antara kesunyian itulah, aku jadi sering hanya berdua dengan Dimas. Hari ini pun sama. Siska berangkat sejak subuh, katanya ada presentasi mendadak di luar kota. Aku terbangun agak siang karena semalam begadang menulis lamaran kerja. Begitu keluar kamar, aku mendengar suara air mengalir di halaman belakang. Penasaran, aku berjalan pelan ke arah dapur, kemudian menengok ke taman kecil di belakang rumah. Di sana, Dimas sedang mencuci mobil. Ia mengenakan kaos putih polos dan celana pendek selutut. Keringat menetes di pelipisnya, membasahi kerah bajunya. Entah kenapa, pemandangan itu membuat dadaku berdebar aneh. Astaga, Rani. Dia suami kakakmu. Aku mengutuk diri sendiri sambil menegakkan badan. Tapi sudut mataku tetap saja nakal, mencuri pandang ke dada bidangnya yang kadang terlihat saat ia menunduk. Mungkin aku berdiri terlalu lama di ambang pintu. Dimas tiba-tiba menoleh, dan tatapan mata kami bertemu. Aku refleks terkejut, nyaris menutup pintu lagi. Tapi Dimas malah tersenyum, senyum kecil yang seperti menahan tawa. “Bangun siang ya? Mau sarapan? Bentar lagi Mas selesai,” katanya sambil membasuh sisa busa di bodi mobil. Aku hanya bisa membalas dengan senyum kaku dan mengangguk. Tanpa kata, aku berbalik, kembali ke dapur, pura-pura sibuk mengambil gelas dan air minum. Padahal tangan gemetar. Tak sampai lima belas menit kemudian, Dimas masuk ke dapur. Rambutnya masih basah, dia baru saja membilas diri di keran taman. Ia mengambil handuk kecil di gantungan dan mengusap lehernya. Aku bisa mencium aroma sabun dan keringatnya bercampur jadi satu. Bau maskulin yang entah kenapa malah membuatku gugup setengah mati. “Masak mie instan aja ya? Atau kamu mau nasi goreng?” tanyanya, berdiri hanya beberapa langkah dariku. “Mie aja nggak apa-apa, Mas. Nggak usah repot-repot.” “Nggak repot kok, kamu kan tamu di sini. Lagi pula, Siska nitipin kamu ke Mas. Jadi Mas harus pastikan kamu nggak kelaparan.” Kalimatnya sederhana, tapi entah kenapa menohok. Aku tahu Dimas mengatakannya tulus, sebagai kakak ipar yang baik. Tapi di telingaku, suaranya terdengar terlalu hangat, terlalu manis. Membuatku lupa dia adalah ‘suami orang’, suami kakakku sendiri. Aku duduk di kursi makan, menunduk, memainkan jari-jari di atas meja. Sementara Dimas sibuk di dapur. Bau bawang putih dan mie rebus perlahan memenuhi ruangan. Beberapa kali aku curi pandang ke punggungnya. Bahunya lebar, gerakannya cekatan, seolah-olah ini rutinitas biasa. Saat mangkuk mie dihidangkan di depanku, aku hanya bisa menatapnya dengan perasaan campur aduk. “Makan dulu. Habis ini kalau mau ke pusat perbelanjaan, bilang sama Mas. Sekalian belanja mingguan, biar nggak bosan di rumah terus.” Aku mengangguk pelan. “Makasih, Mas Dimas.” Ia tersenyum lagi, tatapannya lurus menembus mataku. Sejenak dunia seperti berhenti berputar. Rasanya kalau terus begini, aku bisa benar-benar jatuh pada tatapan itu. Seketika aku sadar, aku harus pergi dari meja makan secepatnya sebelum pikiran ini makin gila. Aku pura-pura batuk kecil, lalu berpura-pura sibuk menyendok mie panas ke mulutku. Tapi di sela-sela keheningan, jantungku tetap berdetak seolah berteriak: Apa yang kau lakukan, Rani? Ingat, dia suami kakakmu…Matahari sore meredup, langit berubah jingga pucat di balik kabut tipis yang menggantung. Desa kecil itu kini bagaikan benteng cahaya—parit yang sudah dipenuhi minyak berkilauan, obor besar menyala di tiap sudut, dan api unggun besar berdiri kokoh di tengah lapangan. Namun meski persiapan tampak lengkap, tak seorang pun bisa benar-benar menyingkirkan rasa takut yang menggantung di hati mereka.Di tepi desa, Bima berdiri dengan tombak bambu di tangannya. Luka di tubuhnya sudah dibalut kain, namun masih terasa nyeri setiap kali ia bergerak. Di sampingnya, Arif, Danu, dan Joko sudah siap dengan peralatan seadanya: obor panjang, bambu runcing, serta botol kecil berisi minyak kelapa yang digantungkan di pinggang.Rani berdiri di depan Bima, wajahnya memucat sejak pagi. Ia menggenggam erat selendangnya, berusaha menahan air mata. “Bima… kau tidak harus pergi. Kita sudah bertahan semalam, mungkin kita bisa terus melakukannya.”Bima menggeleng pelan. “Ran, kabut i
Pagi datang dengan cahaya pucat. Matahari yang biasanya bersinar hangat, kini terhalang kabut tipis yang tak kunjung hilang sejak malam. Suara ayam jantan terdengar sayup, namun desa tetap sunyi. Tak ada canda anak-anak, tak ada suara riuh orang-orang berangkat ke sawah. Semua masih tegang, seakan malam panjang itu belum benar-benar berakhir.Di balai desa, orang-orang sudah berkumpul. Obor-obor masih menyala di sekeliling ruangan, seolah api menjadi satu-satunya pelindung dari ketakutan yang masih membayangi. Bima duduk di depan bersama Arif, Danu, Joko, Rani, dan kepala desa. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi matanya tetap tajam, penuh tekad.“Kita semua melihat apa yang terjadi semalam,” kata kepala desa membuka pertemuan. Suaranya parau karena semalaman hampir tidak tidur. “Makhluk itu tumbang, tapi kabutnya tidak pergi. Malah, kita melihat sesuatu yang lebih menakutkan: cahaya merah di dalam pusaran kabut. Apa pun itu, aku yakin itu sumber dari sem
Desa itu dipenuhi sorak-sorai. Orang-orang memeluk satu sama lain, ada yang berteriak lega, ada yang menangis sambil tertawa, dan ada pula yang langsung berlutut bersyukur. Anak-anak kecil yang tadi ketakutan kini berlari ke pelukan orang tua mereka. Obor-obor yang masih menyala tampak seperti bintang-bintang kecil di tengah malam, memantulkan cahaya hangat di wajah para pejuang desa.“Bima! Kau pahlawan kita!” teriak salah seorang pemuda desa sambil mengangkat obornya ke udara. Yang lain ikut bersorak, menyebut nama Bima berulang kali.Namun di tengah kegembiraan itu, Bima hanya duduk terengah di tanah, wajahnya pucat dan tubuhnya penuh luka. Rani bersimpuh di sampingnya, merawat dengan kain yang ia sobek dari selendang. “Jangan banyak bergerak, Bima. Kau kehilangan banyak tenaga.”Bima menatapnya dengan senyum tipis. “Aku baik-baik saja. Lebih penting… bagaimana dengan semua orang? Ada yang terluka parah?”Kepala desa menghampiri, wajahnya tegan
Kabut semakin tebal, menutupi hampir seluruh jalan masuk kampung. Obor-obor yang berderet di sekeliling desa bergetar ditiup angin dingin yang aneh, seakan ada kekuatan tak kasat mata yang mencoba memadamkannya.Bima berdiri paling depan bersama Arif, Danu, dan Joko. Wajah mereka pucat karena dingin, namun mata mereka menyala penuh tekad. Di belakang, warga desa menggenggam obor dan tombak bambu, berusaha menahan rasa takut.“Jangan biarkan cahaya padam!” teriak Bima lantang. “Selama api menyala, mereka tak bisa masuk!”Namun suara itu segera ditelan oleh raungan keras dari dalam kabut. Bayangan besar bergerak, tanah bergetar setiap kali langkahnya menghentak. Perlahan, sosok itu muncul—makhluk hitam setinggi pohon kelapa, matanya merah membara, mulutnya dipenuhi gigi tajam yang berkilat.Orang-orang desa berteriak ketakutan. Beberapa mundur, sebagian hampir menjatuhkan obor mereka.Arif menegakkan tubuhnya. “Bima, ini jauh lebih besar da
Malam itu kampung sedang tenang. Obor-obor padam satu per satu, hanya cahaya bulan yang menerangi jalan setapak. Anak-anak sudah terlelap, suara jangkrik memenuhi udara, dan angin malam bertiup sejuk. Semua terasa damai… hingga tiba-tiba anjing-anjing desa menggonggong keras, menggema ke segala penjuru.Rani yang baru saja hendak memejamkan mata sontak terbangun. Ia duduk tegak, tubuhnya merinding. Dari jendela kecil rumah, ia melihat kabut tipis mulai merayap perlahan di permukaan tanah. Kabut itu berbeda—warnanya keabu-abuan, berputar seperti asap, dan bergerak melawan arah angin.“Tidak…” bisiknya, wajahnya pucat.Tak lama kemudian, terdengar teriakan dari arah sawah. “Kabut itu kembali! Kabut kembali!”Bima yang tidur di ruang sebelah segera terbangun. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, ia bergegas keluar rumah. Tatapannya langsung menangkap pemandangan yang membuat darahnya berdesir: kabut tipis menyebar dari hutan ke arah desa, menutupi
Beberapa hari terakhir, kampung benar-benar terasa damai. Anak-anak kembali berlarian, para petani mulai menanam bibit baru di sawah, dan ibu-ibu menggelar tikar di depan rumah sambil mengupas sayuran, bercengkerama ringan.Bima, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, mulai ikut membantu pekerjaan ringan di ladang. Rani selalu menemaninya, memastikan ia tidak memaksakan diri.“Kau belum sepenuhnya sembuh, Bima,” kata Rani sambil menatapnya khawatir. “Kalau kau terlalu memaksa, lukamu bisa terbuka lagi.”Bima tersenyum menenangkan. “Aku tidak bisa hanya duduk diam sementara orang lain bekerja. Lagi pula, udara segar sawah membuatku lebih cepat sembuh.”Rani mendesah, namun akhirnya hanya mengangguk. Ia tahu keras kepala Bima tak mudah dibantah.Sore itu, setelah pekerjaan selesai, Bima berjalan sendiri menuju tepian hutan kecil di dekat sawah. Angin sore bertiup lembut, namun ada sesuatu di udara yang membuatnya merasa waspada. Suara burun