Home / Fantasi / Kakak iparku yang terlalu sempurna / Bab 4 - Detik Yang Membuat Lupa Siapa Kita

Share

Bab 4 - Detik Yang Membuat Lupa Siapa Kita

Author: Diky
last update Last Updated: 2025-06-23 00:31:54

Malam datang dengan sunyi yang mengganjal. Hujan masih setia menetes di atap rumah, menimbulkan suara berirama yang seharusnya menenangkan. Tapi bagiku, setiap tetes justru menambah gelisah yang merambat di dada.

Siska mengirim pesan lagi:

“Rani, kayaknya aku nginep di hotel dulu. Besok pagi baru balik. Kamu sama Mas nggak apa-apa kan? Titip rumah yaa…”

Aku membalas seadanya, kemudian meletakkan ponsel di meja nakas. Sudah beberapa jam aku hanya berbaring, mencoba tidur tapi tak bisa. Pikiran berputar-putar, membayangkan Dimas di ruang kerja lantai bawah, hanya beberapa meter dariku.

Berapa kali aku harus menepuk pipi sendiri agar sadar? Berapa kali aku harus berdoa agar perasaan ini padam? Kenapa rasanya justru makin menggebu setiap kami berdekatan?

Aku bangkit, duduk di pinggir ranjang. Hujan mereda menjadi rintik halus. Tanpa sadar, aku berjalan ke jendela, membuka sedikit tirai, menatap taman belakang yang basah. Lampu teras masih menyala, temaram menerangi jalan setapak menuju ruang keluarga.

Ada suara pintu terbuka. Aku menoleh cepat, menajamkan pendengaran. Langkah kaki pelan mendekat ke arah tangga. Degup jantungku ikut naik turun mengikuti suara langkah itu. Beberapa detik kemudian, pintu kamarku diketuk pelan.

“Rani? Kamu belum tidur?”

Suara Dimas. Lembut, nyaris seperti bisikan. Aku buru-buru merapikan rambut, menarik napas panjang, lalu menjawab,

“Belum, Mas. Ada apa?”

Dimas membuka pintu sedikit, hanya menampakkan kepalanya. Matanya tampak lelah, rambutnya sedikit berantakan. Tuhan… kenapa dia harus terlihat sesempurna ini?

“Mas bikin susu hangat. Kamu mau? Biar bisa tidur nyenyak,” katanya, suaranya masih pelan.

Aku mengangguk. Dalam hati kutanya, kenapa dia begitu perhatian? Kenapa dia tak pernah lelah menjaga aku tetap nyaman? Bukankah itu membuatku makin sulit menahan perasaan ini?

Beberapa menit kemudian, Dimas kembali dengan dua gelas susu hangat. Dia masuk, berdiri di depan ranjangku, menatapku sambil menyerahkan segelas. Aku menerimanya dengan tangan gemetar, mencoba menghindari tatapannya.

“Makasih, Mas. Maaf jadi merepotkan terus…”

Dimas tertawa kecil, suaranya hangat.

“Kamu ini adiknya Siska, jadi adik Mas juga. Mana mungkin repot.”

Kalimatnya sederhana, tapi menikam. Andai perasaan ini benar-benar sekadar adik-kakak ipar. Sayangnya, sejak kapan aku berhenti menganggap dia sekadar kakak ipar? Aku sendiri tak tahu jawabnya.

Hening beberapa detik. Hanya suara hujan tipis di luar. Dimas tiba-tiba duduk di tepi ranjang, menatapku yang menunduk dengan gelas di tangan. Nafasku tercekat, jarak kami terlalu dekat. Aku bisa mencium aroma sabun dan susu hangat bercampur jadi satu.

“Rani, kamu betah tinggal di sini, kan?” tanyanya tiba-tiba. Aku mendongak. Tatapan mata kami bertemu. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti.

“Betah… Tapi kadang… kadang aku takut, Mas.”

“Takut apa?” Suaranya merendah, matanya menatapku seolah menelanjangi hatiku.

Aku ingin berbohong, ingin bilang aku takut sendirian di rumah besar ini. Tapi lidahku kelu. Yang keluar justru kejujuran yang kutahan mati-matian.

“Takut… terlalu nyaman. Takut nggak bisa pergi dari sini. Takut… makin suka sama suasana di sini.”

Senyum Dimas menipis, berganti dengan raut serius. Tangannya terulur, meraih gelas di tanganku, meletakkannya di meja nakas. Kini tangannya menggenggam tanganku. Hangat. Erat. Nafasku terhenti.

“Rani… Kamu nggak boleh bilang gitu. Kamu harus bisa jaga diri. Mas juga harus bisa jaga diri.”

Suaranya bergetar. Aku melihat dengan jelas: ada pergulatan di matanya. Antara logika dan perasaan. Antara benar dan salah.

“Aku tahu, Mas. Tapi… aku nggak bisa bohong sama hati aku.” Kalimat itu seolah membakar jarak di antara kami. Dimas mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya, detak jantungnya.

Untuk beberapa detik, aku berharap dia menciumnya — atau aku yang lebih dulu merobohkan semua batas. Tapi suara petir tiba-tiba membelah malam, membuat kami sama-sama terlonjak sadar. Dimas melepaskan genggamannya, berdiri terburu-buru. Matanya merah, napasnya berat.

“Maaf, Rani. Mas nggak seharusnya di sini. Tidurlah. Besok kita bicara lagi.”

Tanpa menunggu jawabanku, Dimas keluar, menutup pintu rapat. Aku terduduk di pinggir ranjang, menatap pintu yang baru saja dia tinggalkan. Tanganku masih hangat, bekas genggamannya menempel, membuatku menggigil sekaligus ketagihan.

Malam ini, aku semakin yakin. Aku tak lagi sekadar menumpang di rumah ini. Aku sudah menumpang di hatinya. Dan dia pun, tanpa sadar, menumpang di hatiku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 20 - Menjemput Hari Baru

    Pagi pertama setelah kepulangan kami dari rumah bidan adalah pagi yang paling sunyi sekaligus penuh kehangatan. Tidak ada suara panci nasi uduk yang meletup-letup di dapur. Tidak ada suara tawar-menawar pelanggan yang menanyakan sambal tambah berapa. Hanya suara bayi mungilku, yang menangis pelan minta disusui. Aku duduk bersandar di dipan kayu di ruang tengah, selimut melilit pinggang, rambutku masih berantakan, tapi aku merasa jadi perempuan paling lengkap di dunia. Di sebelahku, Arga masih setia menjaga, menyiapkan air hangat, memijat pundakku yang kaku karena kurang tidur. Wajahnya lelah, tetapi senyumnya tak pernah hilang sejak mendengar tangisan pertama putra kami. “Bapak… liat dia deh, bibirnya mirip kamu banget,” kataku pelan sambil menatap bayi kami yang tertidur di dadaku, masih hangat dan beraroma asi. Arga tertawa kecil, menyingkap kain bedong pelan-pelan, lalu mencium kening anaknya. “Muka Bapak, tapi rambutnya mirip Ibu. Hidungnya juga, nih… mancung kaya kamu.” Aku

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 19 - Dalam Dekap Kasih

    Tanda-tanda itu datang tepat di malam Jumat, saat hujan rintik membasahi genting kontrakan kami. Arga baru saja selesai salat Isya, aku pun sudah berbaring di kasur tipis dengan bantal disusun di kiri kanan untuk menopang pinggulku yang pegal. Aku merasa perutku menegang lebih sering, disusul rasa nyeri yang berbeda dari kontraksi palsu sebelumnya. Awalnya kupikir hanya mulas biasa, tapi semakin lama, rasa sakitnya datang bergelombang, membuatku tak bisa berbaring tenang. “Ga… sakit lagi, Ga… ini beda…” suaraku bergetar, menahan nafas panjang. Arga yang sedang menggulung sajadah langsung menghampiriku. Wajahnya tegang, tangan dingin menggenggam jemariku yang basah keringat. “Kontraksi lagi? Rutin? Udah berapa menit sekali?” tanyanya cemas, menahan suaranya agar tetap terdengar tenang. Aku hanya meringis, berusaha bicara di sela rasa sakit yang mencengkeram perut bawahku. “Sakit… lima belas menit… tadi… sekarang makin deket…” Arga langsung mengeluarkan ponsel, menelpon Si

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 18 - Menanti Dalam Doa

    Hari-hari menjelang persalinan terasa seperti menunggu hujan turun di musim kemarau. Aku sudah tak kuat lagi duduk lama di warung. Bu Lastri dan Siska bergantian datang menemaniku di rumah kontrakan kecil kami. Setiap pagi, suara panci nasi uduk tetap terdengar dari dapur. Arga masih setia bangun sebelum azan Subuh. Tangannya gesit menanak nasi, menggoreng tempe, menyiapkan sambal kacang — semua ia lakukan sambil sesekali mengintipku di kamar, memastikan aku tertidur nyaman. Di ruang tengah, tumpukan popok kain, baju bayi lungsuran dari Siska, dan satu keranjang berisi perlengkapan melahirkan sudah tertata rapi di pojok. Siska membantuku menatanya, menuliskan daftar apa saja yang perlu kubawa kalau tiba-tiba kontraksi lagi. “Ran, kalau nanti air ketuban pecah, langsung telepon aku atau Arga. Jangan panik, ya,” kata Siska, menepuk pahaku pelan. Aku mengangguk pelan. Di dada, degup jantungku makin cepat setiap kali membayangkan hari itu datang. Perasaan campur aduk: takut, cemas, ta

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 17 - Menunggu Kehadiranmu

    Perutku semakin besar, jalanku semakin lambat. Kadang aku tertawa sendiri saat melihat bayangan di cermin: kaki bengkak, punggung pegal, tapi di dalam perutku ada nyawa mungil yang setiap malam menendang pelan seolah mengingatkan, “Ibu, aku di sini, sabar ya…” Warung sarapan tetap buka, meski tak lagi kutangani sepenuhnya. Arga yang kini benar-benar jadi “juru masak dadakan” dibantu Bu Lastri dan beberapa tetangga. Aku hanya duduk di bangku kayu, membungkus nasi, sambil sesekali mengelus perut. “Ran, istirahat aja. Biar aku sama Bu Lastri yang kelarin,” kata Arga hampir setiap pagi. Tapi aku selalu menggeleng. “Nggak apa-apa, Ga. Aku cuma duduk kok. Kalau bengong terus malah mikir aneh-aneh.” Sebenarnya, di balik senyumku, aku cemas. Tabungan kami menipis lagi karena biaya kontrol rutin dan kebutuhan tambahan bayi. Belum lagi kontrakan akan jatuh tempo dua bulan lagi. Kadang, kalau Arga tidur pulas, aku duduk di sampingnya, menatap wajah lelahnya yang masih muda. Di situ aku ber

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 16 - Membuka Pintu Rezeki

    Kabar kehamilanku pelan-pelan menyebar di lingkungan sekitar. Tetangga datang silih berganti, menjenguk sambil membawa pisang, kacang hijau, susu ibu hamil. Beberapa ibu-ibu bahkan memberikan baju bayi bekas yang masih bagus. Arga tampak lebih sibuk dari biasanya. Selain membantu Bu Lastri di warung, dia mulai menerima kerja serabutan — jadi kurir antar barang, tukang cat pagar rumah, hingga bantu Pak RT memperbaiki saluran air. Suatu malam, Arga pulang dengan baju penuh cat dan tangan lecet. Aku yang sedang menyiapkan air hangat menatapnya iba. “Ga, kamu capek banget. Udah deh, nggak usah kerja sampe malam begini. Kamu bisa sakit.” Arga mendekat, mencium keningku. “Capek, Ran… tapi pas lihat kamu sama perut kamu, capeknya ilang. Aku kerja keras sekarang, biar nanti kamu bisa makan enak, anak kita sehat.” Aku memeluknya erat. “Aku sayang kamu, Ga. Tapi janji, kalau kamu sakit nanti malah bikin aku repot.” Dia tertawa, mengusap rambutku. “Iya, Bu. Siap laksanakan.”

  • Kakak iparku yang terlalu sempurna   Bab 15 - Kabar Baru

    Sudah hampir tiga bulan sejak pesta kecil pernikahan kami di rumah Bu Lastri. Hidupku terasa seperti mimpi yang setiap pagi harus ku yakinkan lagi: Ini nyata. Ini milikku. Ini hasil tangisku, jatuhku, dan kebangkitanku. Suatu pagi, aku bangun dengan perut yang aneh — mual, pusing, bau nasi goreng pun membuatku ingin muntah. Awalnya kupikir hanya masuk angin atau capek bekerja di warung. Tapi setelah seminggu, Arga mulai curiga. “Ran, kamu kenapa sih? Pagi-pagi udah pucat begini? Kemarin juga muntah-muntah waktu goreng tahu di warung,” katanya, suaranya campur khawatir dan geli. Aku yang sedang duduk di teras cuma mengangkat bahu. “Ya mungkin kecapekan, Ga. Atau masuk angin.” Tapi Arga mendesah, duduk di sebelahku, lalu menatapku penuh arti. “Ran… kamu sadar nggak? Kamu telat kan…” Aku menoleh cepat. Dalam hati, aku menghitung-hitung tanggal — dan dadaku mendadak berdegup lebih cepat dari motor tuanya. “Arga… jangan bikin aku seneng dulu…” Dia tertawa kecil, meski matanya berk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status