Pagi itu udara Jakarta terasa berbeda. Jalanan menuju pengadilan dipenuhi awak media, kamera berjejer, mikrofon diarahkan ke setiap orang yang lewat. Spanduk bertuliskan “Dukung UMKM, Lawan Tirani MegaRasa!” terbentang di pagar luar. Aku duduk di dalam mobil bersama Bagas, Riska, dan Pak Jaya. Tanganku dingin, keringat mengalir meski AC mobil menyala kencang. Jantungku berdetak kencang. Ini adalah hari pertama sidang gugatan melawan MegaRasa. “Bu Rani,” suara Pak Jaya terdengar tenang, “hari ini bukan penentuan akhir. Ini baru awal. Tapi awalan ini sangat penting. Jangan gentar. Ingat, semua mata masyarakat ada di pihak kita.” Aku menatap keluar jendela, melihat massa yang membawa poster dengan wajahku terpampang di sana. Sebagian menulis ‘Rani simbol perlawanan UMKM’. Aku menghela napas. “Aku hanya ibu rumah tangga yang ingin melindungi anaknya, Pak. Kenapa jadi sebesar ini?” Pa
Pagi itu rumahku masih porak-poranda. Pecahan kaca belum sempat dibersihkan, coretan ancaman di dinding masih jelas terbaca. Tetangga berdatangan, sebagian membantu, sebagian lagi sekadar ingin tahu. Arsya duduk di pangkuanku, wajahnya masih pucat. Sesekali ia menoleh ke arah pintu yang sudah rusak. “Bu, orang jahatnya balik lagi nggak?” tanyanya polos. Aku mengusap rambutnya dengan lembut, menahan getaran dalam suaraku. “Tidak, Nak. Ada polisi yang jaga sekarang. Arsya aman.” Meski kata-kataku menenangkan, dalam hati aku tahu ancaman itu nyata. Anton tidak akan berhenti hanya dengan sekali serangan. Siang harinya, Bagas kembali bersama beberapa polisi dan seorang pengacara yang direkomendasikan oleh LSM yang sejak awal mendukungku. Pengacara itu bernama Pak Jaya. Usianya sekitar lima puluhan, wajahnya tenang tapi tatapannya tajam. Begitu melihat kondisi rumah, ia menggeleng pela
Malam itu, seluruh kawasan rumah produksi mendadak gelap gulita. Listrik padam secara tiba-tiba, bukan karena hujan atau korsleting—aku yakin ini sabotase. Arsya yang sudah kugendong erat-erat mulai gelisah. “Bu… kok gelap? Aku takut…” suaranya bergetar. “Tenang, Nak. Mama ada di sini.” Aku mencoba menenangkan, meski jantungku berdegup keras tak terkendali. Dari luar terdengar suara kaca pecah. Suara itu disusul langkah berat dan pintu pagar yang digedor paksa. Bagas langsung bergerak cepat, memberi isyarat dengan senter kecil di tangannya pada para penjaga yang kami sewa beberapa hari lalu. “Siaga! Mereka masuk dari arah barat!” serunya. Aku bisa mendengar suara logam beradu—entah linggis atau besi. Tak lama, terdengar teriakan keras salah satu satpam, “Mereka banyak, Bu! Lebih dari lima orang!” Darahku serasa membeku. Ini jelas bukan perampo
Pagi itu udara sejuk Karawang biasanya menenangkan. Namun kali ini, aku tidak bisa merasakan kedamaiannya. Kata-kata pria misterius yang malam sebelumnya datang ke rumah terus terngiang:“Kalau Ibu tetap keras kepala, jangan salahkan kami kalau sesuatu terjadi pada orang-orang terdekat Ibu.”Aku menatap Arsya yang sedang sarapan roti di meja. Senyum cerianya membuat hatiku perih. Aku tidak bisa membiarkan anakku ikut menjadi korban perang kotor ini.“Bu, kok bengong?” tanya Arsya polos.Aku tersenyum hambar, mengusap rambutnya. “Nggak, Nak. Mama cuma lagi mikir kerjaan.”Namun dalam hati, aku bertekad: bagaimanapun caranya, keluargaku harus aman.Hari itu aku memutuskan untuk memperketat keamanan. Aku meminta Bagas untuk membantu mencari satpam tambahan, minimal menjaga rumah produksi dan rumahku.“Bu,” kata Bagas, “saya punya teman yang dulu mantan aparat. Dia bisa dipercaya. Kalau Ibu setuju, saya panggil dia.”“Ya, seg
Malam itu aku hampir tak bisa tidur. Ancaman Anton di telepon terus bergema di kepalaku. Kata-katanya dingin, menusuk, seolah ada bayangan gelap yang akan menelan usahaku kapan saja. Namun aku tahu, mundur bukan pilihan. Jika aku menyerah, bukan hanya Sambal Arsya yang hilang, tetapi juga perjuangan bertahun-tahun, kerja keras tim, dan harapan banyak keluarga yang bergantung pada dapur kecil kami. Keesokan harinya, suasana rumah produksi terasa berbeda. Semua pekerja tahu tentang berita yang tersebar, juga ancaman yang mulai terbuka. Namun, bukannya ciut, mereka justru terlihat semakin solid. “Bu Rani,” kata Riska sambil mengikat rambutnya, “kita nggak boleh kalah. Saya dan teman-teman siap lembur, siap kerja keras, pokoknya jangan kasih mereka kesempatan buat injak-injak kita.” Yang lain ikut mengangguk. Ada semangat baru yang menyala di mata mereka. Aku menatap wajah-wajah itu dengan haru.
Hari demi hari terasa panjang. Sejak Bima ditahan, banyak hal mulai terbongkar sedikit demi sedikit. Namun, aku tahu bahwa kebenaran belum sepenuhnya terlihat. Masih ada sesuatu yang lebih besar bersembunyi di balik semua ini. Suatu pagi, aku dipanggil oleh penyidik kepolisian. Surat resmi sudah dikirim, dan aku diminta datang untuk mendengar perkembangan terbaru kasus Bima. Aku duduk di ruang tunggu kantor polisi dengan hati berdebar. Bagas menemaniku, sementara Riska menjaga dapur produksi. “Tenang, Bu,” ujar Bagas. “Kita nggak sendirian. Kalau dalang ini benar-benar perusahaan besar, pasti mereka panik karena namanya bisa tercoreng.” Aku mengangguk pelan. Namun tetap saja, ketegangan itu seperti menempel di dadaku. Tak lama, seorang penyidik keluar memanggil namaku. Kami pun masuk ke ruangannya. Di meja, ada tumpukan berkas. Sang penyidik, Pak Rudi, langsu