Malam itu Jakarta diguyur hujan. Lampu jalan berpendar temaram, memantul di genangan air aspal. Sebuah kafe kecil di sudut kota menjadi tempat yang dipilih Dewi untuk bertemu dengan Bima. Kafe itu hampir sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang tampak asyik dengan ponsel masing-masing.
Dewi duduk di pojok ruangan, mengenakan jaket hitam sederhana, mencoba menyamarkan dirinya. Ia memesan secangkir kopi hitam, tetapi sejak sepuluh menit lalu tangannya tak berhenti memainkan sendok kecil di meja. Degup jantungnya kencang—ia tahu pertemuan ini bisa menjadi titik balik, atau justru bumerang yang membahayakan semua orang. Pintu kafe terbuka. Seorang pria dengan mantel gelap masuk, wajahnya sebagian tertutup masker. Tatapannya tajam, gelisah, seperti orang yang selalu waspada terhadap bayangannya sendiri. Itu Bima. Ia menyapu ruangan dengan pandangan cepat sebelum melangkah ke meja pojok. “Kamu sendiri?” bisiknya begitu sampai.Beberapa hari terakhir, kampung benar-benar terasa damai. Anak-anak kembali berlarian, para petani mulai menanam bibit baru di sawah, dan ibu-ibu menggelar tikar di depan rumah sambil mengupas sayuran, bercengkerama ringan.Bima, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, mulai ikut membantu pekerjaan ringan di ladang. Rani selalu menemaninya, memastikan ia tidak memaksakan diri.“Kau belum sepenuhnya sembuh, Bima,” kata Rani sambil menatapnya khawatir. “Kalau kau terlalu memaksa, lukamu bisa terbuka lagi.”Bima tersenyum menenangkan. “Aku tidak bisa hanya duduk diam sementara orang lain bekerja. Lagi pula, udara segar sawah membuatku lebih cepat sembuh.”Rani mendesah, namun akhirnya hanya mengangguk. Ia tahu keras kepala Bima tak mudah dibantah.Sore itu, setelah pekerjaan selesai, Bima berjalan sendiri menuju tepian hutan kecil di dekat sawah. Angin sore bertiup lembut, namun ada sesuatu di udara yang membuatnya merasa waspada. Suara burun
Pagi itu kampung terasa berbeda. Burung-burung berkicau lebih riang, udara segar masuk lewat celah-celah dinding bambu rumah, dan cahaya matahari menimpa dedaunan yang masih basah oleh embun. Penduduk desa seakan hidup kembali setelah sekian lama dihantui rasa takut.Bima terbangun dengan tubuh masih penuh perban. Luka-lukanya mulai mengering, tapi nyeri yang tertinggal membuatnya sulit bangkit. Ia terduduk di tikar, menghela napas panjang, matanya menerawang keluar jendela.Rani masuk membawa semangkuk bubur hangat. Senyum kecil menghiasi wajahnya, meski lingkar hitam di matanya menunjukkan betapa ia kurang tidur selama beberapa hari terakhir.“Kau sudah bangun. Aku buatkan bubur, supaya kau cepat pulih,” katanya pelan.Bima menatapnya penuh rasa syukur. “Terima kasih, Rani. Kalau bukan karenamu, mungkin aku takkan bisa kembali duduk di sini.”Rani meletakkan mangkuk itu di depannya, lalu duduk di sampingnya. Ia menunduk, jari-jarinya me
Langkah kaki mereka terasa berat namun penuh kelegaan. Bima, Arif, Danu, dan Joko menuruni bukit yang masih diselimuti sisa kabut tipis. Tubuh mereka penuh luka dan kotor, pakaian sobek di sana-sini, wajah pucat, tapi mata mereka memancarkan rasa lega—seakan beban yang menghimpit dada selama ini akhirnya runtuh.Angin sore berhembus, membawa aroma tanah basah dan dedaunan hutan yang baru saja diguncang badai. Burung-burung mulai berkicau lagi, menandakan kembalinya ketenangan setelah pertarungan dahsyat.“Rasanya… kita baru saja kembali dari neraka,” gumam Joko, napasnya terengah-engah.Arif menepuk pundaknya pelan. “Setidaknya kita bisa pulang. Itu yang terpenting.”Bima hanya diam. Langkahnya mantap meski tubuhnya nyaris roboh. Di dalam hatinya, satu nama terus ia sebut: Rani. Semua kekuatan yang tersisa seakan ditarik oleh keyakinan bahwa ia akan kembali melihat wajah gadis itu.Setelah hampir satu jam menuruni bukit, cahaya lampu-lamp
Raungan itu mengguncang udara, membuat pepohonan di sekeliling bukit bergetar. Kabut hitam semakin pekat, menelan cahaya sore yang seharusnya indah. Mata merah menyala dari kegelapan, memandang Bima dan ketiga temannya dengan penuh amarah.“KAU BERANI MENANTANGKU LAGI, MANUSIA KECIL?” suara makhluk itu bergema, berat dan menyeramkan.Bima berdiri paling depan, meski lututnya gemetar. Nafasnya tertahan, tapi genggaman pada tasbih kecil di tangannya tak pernah lepas. Arif, Danu, dan Joko berdiri di sampingnya, saling menguatkan.“Kita tidak sendiri,” kata Bima dengan suara mantap. “Ada yang melindungi kita.”Makhluk itu tertawa keras, suaranya seperti petir yang menyambar. “Lindungan? Doa kalian tak akan berarti apa-apa di hadapanku!”Kabut tiba-tiba melesat, menyerang seperti gelombang besar. Mereka berempat hampir terseret, tapi Bima berteriak, “Baca doa itu! Sekarang!”Arif, Danu, dan Joko serempak melantunkan doa dengan suara g
Pagi menyingsing di hutan. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan, menyisakan hawa lembab yang menusuk tulang. Suara burung-burung perlahan terdengar, seolah mencoba mengembalikan kehidupan setelah malam panjang yang mencekam.Bima duduk bersandar di batang pohon besar, wajahnya pucat, matanya sayu. Semalam benar-benar menguras tenaga, bahkan napasnya masih terasa berat. Arif, Danu, dan Joko duduk tak jauh darinya, sama-sama kelelahan.“Kita… benar-benar hampir tidak selamat,” gumam Arif dengan suara serak.Danu mengangguk pelan, lalu menoleh ke Bima. “Tapi aku yakin, kalau bukan karena kau dan… entah siapa cahaya itu, kita pasti sudah habis.”Bima terdiam sejenak. Bibirnya bergerak lirih, “Itu Rani.”Ketiga temannya menoleh bersamaan. “Rani?” tanya Joko, keningnya berkerut.“Ya,” jawab Bima mantap. “Aku mendengarnya. Aku melihatnya… meski hanya sebentar. Dia berdoa untuk kita dari jauh. Aku yakin doa-doanya yang mengu
Malam itu, udara di kampung begitu hening. Rumah-rumah sudah tertutup rapat, hanya suara jangkrik dan sesekali gonggongan anjing yang terdengar. Di biliknya yang sederhana, Rani duduk di atas sajadah. Matanya sembab, namun tidak kunjung berhenti menengadah dan memanjatkan doa.Ia merasa ada sesuatu yang aneh. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, seolah tubuhnya ikut merasakan ancaman yang sedang dihadapi Bima di tempat yang jauh.“Ya Allah… apa yang terjadi padanya sekarang? Kenapa hatiku gelisah sekali malam ini?” bisiknya lirih.Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri. Namun tiba-tiba telinganya berdengung, seperti ada suara samar memanggil dari kejauhan. Suara itu tidak jelas, tapi ia yakin itu suara Bima.“Rani…”Rani terperanjat. Ia membuka matanya, menoleh ke kanan dan kiri, namun tentu tidak ada siapa-siapa. Ruangan itu tetap sepi, hanya lampu minyak yang berkelip pelan.“Bima?” bisiknya penuh ragu.Ta