Hari telah berganti, kondisi Tian sendiri jauh lebih baik dari hari kemarin. Kesehatannya berangsur membaik namun dokter menyarankan pada keluarga untuk membawa Tian memeriksakan mentalnya. Kecelakaan itu menjadi luka bernanah dalam diri Tian, bayangan-bayangan itu selalu menusuk ingatannya.
Tak ada yang salah dengan Tian, semua baik-baik saja. Hanya saja Tian memang menolak berbicara setelah ia sadarkan diri. Wirman sudah mengatur semuanya, ia akan membawa Tian ikut pulang bersama ke Surabaya.
Tok.. Tok..
Wirma juga Dewi saling bertukar pandang saat mendengar suara pintu di ketuk, Dewi mendekati Tian dan membawanya ke kedalam dekap hangatnya.
"Ayah buka dulu, " ucap Wirma yang mendekat ke arah pintu.
Krekk,
"Selamat siang," sapa laki-laki bertubuh kekar itu pada Wirma yang membukakan pintu.
Dengan sopan Wirma mempersilahkan laki-laki itu masuk dan kembali menutup pintu. Dewi menatap lekat laki-laki yang berjalan ke arahnya itu.
"Siapa Anda?" tanyanya sembari menyembunyikan Tian dibalik pelukannya.
Laki-laki itu tersenyum melihat ketakutan pada Dewi. "Perkenalkan, saya Beno pengacara pribadi dari keluarga Prambu."
Wirma mengenalnya, sebelum sahabatnya itu meninggal ia sempat bercerita tentang kehebatan pengacaranya. Tak disangka kini Wirma dapat bertemu dengan kebanggaan sahabatnya itu. Beno nampak menatap iba pada Tian yang hanya terdiam dengan pandangan kosongnya, ia menghela nafasnya lalu berganti menatap Dewi dengan Wirma.
"Bisa kita bicara? Bertiga saja."
Dan disini lah saat ini ketiganya, balkon kamar Tian. Selain bisa tenang berbicara mereka juga tetap bisa mengawasi Tian yang berada di dalam.
Beno mengutarakan tujuan dari kedatangannya, ia juga sempat meminta maaf karena baru hari ini datang mengunjungi Tian. Setelah mendengar apa yang terjadi dengan keluarga tuan nya Beno memutuskan untuk menghilang sejenak dan mengurus pesan terakhir tuan nya.
"Pesan? Pesan apa yang dibuat Prambu untuk putrinya?" tanya Dewi dengan kening berkerutnya.
Beno kembali berbicara, kini ia juga mengeluarkan selembar kertas dan menyodorkan pada Dewi juga Wirma. Mata keduanya terbelalak ketika membaca apa yang tertulis di dalam surat itu, mereka tak menyangka jika di balik tawa keduanya ada beban berat yang tengah di rasakannya.
"Menikah?"
"Benar nyonya, kita harus segera menemukan laki-laki yang bersedia menikahi nona Tian dan membantunya menjaga semua aset keluarganya," ucap Beno.
"Kita tapi tidak bisa sembarangan, laki-laki ini harus orang yang berpihak pada nona Tian. Jika tidak, hidup nona Tian akan semakin hancur,"sambungnya.
Nampak Dewi juga Wirma berfikir, tak mudah menemukan laki-laki untuk di nikahkan dengan Tian terlebih dengan kondisi seperti ini. Keduanya hanya takut jika salah memilih laki-laki dan malah hanya menginginkan aset Tian semata.
"Beri kami waktu, kami harus memikirkan hal ini dengan sebaik-baiknya."
"Tentu saja, saya akan memberi waktu kepada tuan juga nyonya memikirkan hal ini."
"Satu lagi pak Beno, kami besok berencana membawa Tian ikut serta bersama kami ke Surabaya."
"Saya senang mendengarnya, nona Tian akan lebih aman bersama kalian dari pada harus disini saat ini. Saya mewakili keluarga tuan Prambu mengucapkan terima kasih, " ucapnya.
"Itu tugas kami, saat ini hanya kami keluarga Tian. Mau tidak mau Tian harus ikut kemana kami pergi," tegas Wirma yang menyadari situasi dari cara bicara Beno barusan.
"Saya akan segera mengusur semuanya, saya harap satu minggu ke depan saya bisa berkunjung ke Surabaya."
Wirma tahu apa maksud dari ucapan Beno barusan, ia paham betul dengan itu. Hanya satu minggu, Beno berharap jika Wirma juga Dewi akan menemukan jawabannya.
Sebelum pergi keduanya sempat bertukar kartu nama, bahkan Beno juga sempat mewanti-wanti untuk tak mempercayai siapapun yang nantinya akan datang dengan mengatasnamakan keluarga.
***
Surabaya,
Ketiganya tiba dan di sambut dengan meriah oleh Lecy. Lecy sendiri adalah anak perempuan dari Wirma dan Dewi, lebih tua satu tahun di banding Tian namun keduanya duduk di bangku sekolah yang sama.
"Tian, gue kangen banget sama loe," peluknya pada Tian yang berdiri mematung di depannya.
Tian masih terdiam, ia bahkan tak membalas pelukan dari saudarinya itu. Lecy yang tak menerima balasan segera melonggarkan pelukannya, menatap kesal pada wajah pucat di depannya.
"Loe nggak kangen ya sama gue, gitu banget sih," kesal Lecy memanyunkan bibirnya.
Baik Wirma maupun Dewi belum menceritakan tentang apa yang terjadi dengan keluarga Tian pada anaknya. Masalah ini tidak sesederhana kelihatannya, Wirma juga harus menjaga keselamatan keluarga kecilnya juga.
"Udah, kasian Tian capek. Bawa dia ke kamar dulu biar istirahat ya," pinta Dewi pada putrinya.
"Baiklah, " patuhnya dan menggandeng lengan Tian untuk ikut bersamanya.
Lecy terus memperhatikan Tian hingga keduanya tiba di dalam kamar, ada rasa aneh saat melihat Tian yang terlalu diam.
"Loe kenapa sih Ti, diam mulu dari tadi? Sakit gigi?"
Tian hanya diam, pandangannya kosong menatap kesembarang arah. Lecy yang tak tahu apapun begitu gemas, Tian yang biasanya ceria dan mendadak bisu membuat Lecy merasa curiga.
"Loe habis putus ya sama cowok? Cerita aja sama gue gpp, aman kok nggak bakal bocor," ucapnya dengan gerakan mengunci bibirnya.
Tian masih saja diam, bahkan Tian tak pernah memandang Lecy sedari dia datang.
"Heh anak kota, loe jadi bisu atau bisulan sih? Diam mulu deh ditanyain dari tadi," kesalnya yang tak kunjung mendapat respon.
"Tapi ngomong-ngomong kenapa loe datangnya sama orang tua gue, mana om Prambu juga tante Saci kan gue juga kangen masakan nyokap loe," celoteh Lecy tanpa memperhatikan perubahan wajah Ratian.
Tian yang mendengar nama orang tuanya kembali disebut seperti kembali ke kejadian lalu, kejadian di mana ia juga kedua orang tuanya terjebak dalam mobil yang terbalik. Bayangan itu kembali datang , menusuk semua ingatannya hingga membuatnya menjerit kesakitan.
Lecy terkejut saat Tian histeris berteriak meminta tolong, tak sampai disitu bahkan Tian juga menjauh darinya dan memilih bersembunyi di sudut ruangan.
"Siapa kalian? Pergi, pergi dari sini, aku nggak kenal kalian," teriaknya begitu histeris.
"Tian loe kenapa? Ini gue Ti, gue Lecy. Please loe kenapa?"
Lecy yang tak tahu apapun kini ikut menangis tersedu-sedu melihat Tian begitu terluka di sudut kamarnya. Sedang Wirma yang mendengar teriakan Tian segera berlari memeriksanya.
"Ada apa ini," tanyanya yang terkejut melihat kedua gadis sudah berderai air mata.
"Ayah, ayah kenapa sama Tian? Kenapa Tian takut sama aku," ucap Lecy dengan sedihnya.
"Sayang Tian nggak takut sama kamu, kamu keluar dulu ya dari sini biar ayah yang coba ngobrol sama Tian dulu," bujuk Wirma.
Tak lama Dewi datang dengan nafas memburunya, ia segera duduk di hadapan Tian dan mendekapnya. "Hussh tenang ya, tenang."
"Ayah, Tian kenapa sih?" tanya Lecy lagi.
Wirma hanya terdiam, ia menatap bergantian putri juga istrinya yang sedang memeluk Tian. Ada rasa iba bercampur marah yang datang secara bersamaan.
"Keji sekali mereka, hanya demi harta tega menghancurkan hidup seseorang. Terlalu haus harta," batin Wirma.
"Ayah."
Wirma menatap sang istri yang memanggilnya. Ia tahu arti dari tatapan Dewi padanya.
"Ayah akan bawa psikiater ke rumah."
Setelah mendapat perawatan dari psikiater akhirnya Tian kembali tenang, dokter tersebut juga memberi selembar resep untuk di konsumsi Tian. Tak hanya itu, dokter juga mewanti-wanti untuk tak membahas apapun yang akan memancing emosi Tian."Terima kasih, kami akan mengingat semuanya," ucap Wirma yang mengantarkan dokter tersebut keluar dari rumah.Sedang di dalam kamar nampak Lecy masih terus bertanya tentang apa yang terjadi dengan saudarinya itu. Ia juga bertanya tentang kedatangan Ratian bersama kedua orang tuanya."Di mana om Prambu juga tante Saci?""Lecy, tolong jangan pernah bahas mereka lagi apalagi di depan Tian.""Ya tapi kenapa? Kenapa nggak boleh sih Bun?""Nanti pasti akan kami ceritakan, tidak sekarang sayang," sahut Wirma yang baru masuk ke dalam kamar."Gimana?""Aku suruh bibik beli obatnya," jawab Wirma.Merasa diabaikan membuat Lecy memilih untuk keluar dari dalam kamar, Wirma juga Dewi hanya bisa salin
Semua orang terkejut dengan apa yang Tian lakukan, terlebih Ardan yang berada di depannya saat ini. Wirma yang baru saja masuk terkejut, belum sempat ia melangkah mendekat sudah lebih dulu Tian menggores nadinya."Ratian!"Tetes demi tetes darah mulai berjatuhan mewarnai lantai, Wirma berlari dan merengkuh tubuh yang limbung itu. Semua orang panik, semua orang terkejut dengan tindakan Tian barusan. Di saat semua orang tengah berusaha menyelamatkan Tian, Ardan hanya terdiam di tempatnya dengan pandangan tak percaya di depannya."Bunda, panggil dokter.""Ti loe kenapa sih, loe harus bertahan," tangis Lecy sembari menekan pergelangan tangan Tian dengan sebuah kain."Lihat, lihat apa yang kamu lakukan nak. Ini yang kamu mau?"Ardan terduduk lemah tak berdaya mendengar teriakan ayahnya, ia tak menyangka jika akan seperti ini kejadiannya. Ia tak berniat menyalahkan Tian atas apa yang terjadi dengan orang tuanya, emosi yang membuat Ardan buta denga
Hari yang di tunggupun akhirnya tiba, rumah sudah rapi dengan hiasan beberapa bunga. Tamu yang di undang juga mulai berdatangan, tak banyak hanya beberapa orang juga kolega milik keluarga Prambu juga keluarga Wirma."Saya tidak menyangka jika jawaban dari anda akan secepat ini tuan Wirma," ucap Beno yang tengah berdiri bersama Wirma."Buat saya lebih cepat juga lebih baik, sebelum mereka muncul sebaiknya kita dului dengan rencana yang sudah almarhum rencanakan.""Saya setuju dengan anda tuan, dan mengenai kepulangan nona nantinya kembali ke Jakarta akan saya urus pengawalannya.""Sebaiknya dari kejauhan saja ketika mengawasi, putra saya tidak suka jika privasinya terlalu diusik.""Saya akan mengingat itu."Pembicaraan itu usai ketika penghulu yang ditunggu telah tiba, duduk di tempat yang telah disediakan sembari menunggu kedua pengantinnya.Di dalam kamar nampak Lecy tak hentinya memandangi calon kakak iparnya itu, cantik dan sungguh
Semua orang kini tengah berkumpul dalam satu meja makan, nampak Tian masih canggung dengan status barunya yang harus terbiasa melayani Ardan suaminya. Dewi dengan sabar terus mengajari Tian beradaptasi, membiasakan diri dengan Ardan yang akan selalu bersamanya.Semua orang makan dalam diam, menikmati masing-masing makanan dengan pemikiran berbeda-beda. Usai menikmati makan malam Wirma mengajak semuanya untuk berpindah ke ruang keluarga, di sana ia ingin membahas kelanjutan dari rencana Ardan putranya."Jadi gimana?" tanya Wirma."Apanya ayah?""Gimana rencana kamu setelah ini?""Ardan akan membawa Tian kembali ke Jakarta, Ardan nggak bisa ninggalin kuliah di sana terlalu lama.""Tian, gimana menurut kamu nak?" tanya Dewi yang menggenggam tangan menantunya itu.Tian masih terdiam, ia masih bimbang dengan rasa takutnya. Ia merasa selalu di awasi hingga membuatnya merasa tak nyaman."Om akan sediakan semuanya ketika kalian pindah ke Jakarta kalau begitu," seru Beno membuka suara.Ardan m
"Benar-benar tak bisa dibiarkan!"Suara itu sontak mengejutkan keduanya, suara yang menggelegar dan dihafalnya itu. Siapa lagi jika bukan suara milik nyonya Larasati, ibu kandung dari Wirma yang berarti nenek dari Ardan juga Lecy."Di mana anak tengik itu, siapa dia berani memaksa cucuku menikahinya," ucapnya dengan menggebu-gebu.Terlalu sibuk dengan urusan pernikahan Ardan membuat keduanya lupa dengan nyonya Larasati. Seharusnya mereka mempersiapkan rencana untuk kemarahan Larasati ini, namun nampaknya kali ini mereka melupakan tugas terpenting itu.Larasati adalah wanita dengan ketegasannya, ia sangat menyayangi Ardan dibandingkan dengan Lecy. Baginya Ardan adalah segalanya sebab Ardan lah yang nantinya menjadi penerus keturunan keluarganya.Namun mendengar cucu kesayangannya dipaksa menikah membuatnya mau tak mau harus terbang kembali ke Surabaya. Sudah sejak lama Larasati menikmati masa tuanya di Yogyakarta, jarang sekali berada di Surab
Makan malam terasa begitu dingin, tak seperti sebelumnya. Tian terlihat sedang melayani suaminya saat Larasati tiba-tiba merebut piring itu dan melayani cucunya sendiri."Bu," tegur Wirma melihat kelakuan ibunya.Dewi mengisyaratkan Tian untuk membiarkan Larasarti melakukan apa yang di sukainya. Ia tak ingin melihat Tian kembali mendapat amukan mertuanya itu. Lecy tak suka dengan sikap oma nya itu, sejak dulu oma nya itu selalu pilih kasih membuatnya sedikit tak menyukai perangainya."Kakak ipar, bisa tolong ambilkan aku ayam itu. Jauh," manjanya pada Tian."Jaga ucapanmu, dia bukan kakak iparmu." marah Larasati menatap tajam Lecy di sebrangnya.Lecy hanya bisa memanyunkan bibirkanya melihat reaksi oma nya, ia tak ingin membuat bundanya kembali menjadi bulan-bulanan dari omanya."Ini, mana piringmu." ucap Tian yang menyodorkan ayam pada Lecy.Sedang Lecy yang merasa di perhatikan merasa begitu senang, ia begitu antusias mengangk
Lecy begitu menikmati makan malamnya, sederhana hanya di sebuah angkringan jalan namun banyak peminatnya. Ardan merasa takjub sebab baru kali ini melihat Tian duduk santai di tempat yang tak selevel untuknya."Kalau nggak nyaman kita pulang aja," ucap Ardan pada Tian yang tengah menikmati nasi kucingnya."Nyaman kok.""Baru pertama kali ya ke tempat kayak gini?" tanya Lecy yang mengerti maksud dari kakaknya itu.Tian menggelengkan kepalanya, "Enggak, udah sering sama Papa Mama kalau malam lapar pasti cari angkringan di Jakarta."Semua kembali menikmati makan malamnya, entah kapan lagi akan ada kesempatan seperti ini untuk ketiganya. Namun kali ini hanya ingin menikmati waktu dengan segala ketenangan di hati.Larasati tak bisa memejamkan matanya, ia berulang kali menatap jam dinding di rumahnya. Ia begitu geram dan sangat kesal, ia merasa Tian sengaja membuat cucunya pulang larut malam."Emang ya, nggak tahu aturan. Nggak ada orang tua
Tubuh Tian bergetar menatap tiga laki-laki asing di depannya saat ini, terlebih kini salah satu tangannya di cekal dengan begitu kuat oleh salah satu laki-laki itu. Semakin ia memberontak dan menolak, semakin laki-laki itu dengan kuat mencengkeram tangannya.Tian yang semula kalut dengan emosinya kini berusaha setenang mungkin, ia tak mungkin menghadapi mereka dengan keadaan kalut seperti tadi. Ketiga laki-laki itu terlihat tertawa melihat Tian yang sudah tak memberikan perlawanan, mereka berfikir saat ini Tian sudah bersedia mengikuti keinginannya."Nah gitu dong cantik, nurut. Tenang, nggak akan sakit kok. Yakan coy," serunya tertawa bersama teman-temannya."Oh ya?""Tentu saja.""Sakit tidaknya hanya saya yang boleh menentukan itu," serunya. Kini tatapan mata Tian begitu tajam menatap semua laki-laki itu.Entah bagaimana ceritanya sebab yang pasti saat ini Tian tengah memelintir tangan yang sedari tadi mencengkeramnya. Tak hanya itu