Share

4, Tiga Makam Yang Berdampingan

TANAH itu masih merah, tapi kelopak bunga yang menutupi tanah itu mulai layu. Rindang pepohonan membuat tempat itu begitu teduh, tenang, tapi sekaligus juga mistis. Ini adalah tempat yang menjadi penanda batas dua dunia. Tempat kenangan akan yang terkasih berkumpul.

Ketenangan dan kedamaian di tempat itu tidak bisa hadir di hati seorang pemuda. Pemuda yang terlihat sangat berduka meski tetap tanpa airmata. Wajahnya yang muram jelas menggambarkan dukanya. Matahari yang berhasil menyelinap dari sela-sela dedaunan tidak bisa menghadirkan kehangatan di hatinya. Semua terasa beku. Dingin. Mencekam. Setengah mati dia menahan sedih. Mungkin dia berhasil tapi jiwa yang terluka menyisakan marah yang sulit hilang. Marah yang berbuah dendam. Dendam yang akan tergenapkan jika sudah tuntas.

Airlangga duduk bersimpuh di makam itu. Makam kakeknya. Sebuah makam yang baru, diapit dua makam lama.

Makam ayah dan ibunya.

Langkahnya belum lagi kokoh menjejak bumi ketika ayahnya memilih mati berkalang tanah demi membela harga dirinya. Sedangkan ibunya, memilih menusuk jantungnya menyusul kepergian jantung hatinya daripada hidup berjubah nista.

Seorang petinggi Hindia Belanda berhasrat pada tubuh molek ibunya. Menyergapnya ketika sang ibu melintas tanah yang disabotase, sepulangnya dari mencari dedaunan obat di hutan.

Ayahnya menemukan ibunya bergelut berusaha mempertahankan harga dirinya yang telah terkoyak paksa.

Harga dirinya meraung, mengamuk seperti harimau Jawa, dua lelaki itu bergumul, dan dua-duanya meregang nyawa.

Sang ibu, yang merasa telah ternoda, yang tak siap ditinggal pergi sambil menyandang malu, memilih menusukkan belati yang tadi tertancap di jantung suaminya. Apalagi ketika dia melihat anaknya tidak bergerak. Belati itu berpindah tempat. Ibunya menyusul pergi dengan belati tertancap. Meninggalkan Airlangga yang masih tertatih berjalan.

Sembilan belas tahun lalu, ternyata hanya tiga nyawa yang pergi. Satu nyawa berhasil bertahan di bumi. Hidup bahagia dalam asuhan kakeknya. Tumbuh dan berkembang menjadi lelaki kuat yang gagah dan tampan dengan jiwa pemberani dan pantang menyerah.

Sejak kepergian kedua orangtuanya, kakeknyalah yang mengambil alih Airlangga. Mendidiknya menjadi lelaki tangguh, Airlangga tumbuh menjadi pemuda yang sehat dan kuat. Wajah tampannya mewarisi kecantikan ibunya, sementara tubuhnya adalah hadiah kegagahan ayahnya.

Dan sekarang, kakeknya yang tersayang, ikut berkalang tanah menyusul kedua orangtuanya hanya karena kepongahan pendatang itu. Kakek yang selalu bersamanya, kakek yang selalu menjadi dinding kuat penahan jatuhnya, kakek yang selalu melindunginya. Bukannya dia tidak menolak takdir, tapi cara kakeknya pergi itu yang menyakitinya. Membuatnya marah.

Tiga orang terkasih pergi dengan cara yang sama.

Oh, Dewata Agung, maafkan hambaMu jika tidak mampu memadamkan amarah ini. Aku terlalu lemah untuk mengusir dendam ini. Kesumat menjarah tubuh dan pikiranku. Jiwaku tak tenang melihat orang yang kucintai pergi seperti ini. Dulu aku tak berdaya, sekarang aku bertenaga. Dulu aku begitu ringkih, sekarang tubuhku sempurna. Dulu masih ada kakek sebagai penghibur, sekarang semua telah pergi.

Izinkan hamba menuntut balas. Beri petunjuk jalanMu. Aku akan pergi memuaskan dahaga jiwaku akan darah perompak itu.

“Airlangga….” Suara tegas tapi lembut membawanya kembali ke kubur dingin. “Ayo, Nak. Upacara akan segera dimulai.”

Itu Paman Tirta Darma. Adik ayahnya, anak kakeknya. Dia yang akan memimpin desa. Menggantikan kakek. Seharusnya ayahnya yang mendapat kehormatan itu.

Seharusnya.

Mengangguk, tapi tetap menatap nanar ke gundukan tanah di depannya.

Airlangga melepas gelang kesayangannya. Gelang dari kakek ketika dia mencapai usia dewasa. Walau berat, dia tetap melepas gelang itu.

Dia menggenggam erat gelang perak itu. Lalu tangan yang menggenggam gelang itu menghujam masuk ke tanah yang memeluk kakeknya.

Tanah bunda pertiwi.

Di sini mereka dilahirkan, di alam ini mereka berkembang, di tanah ini mereka kembali. Keharibaan bunda.

Kakek, kutitipkan gelang dari Kakek ini. Jaga dia untukku. Aku akan kembali mengambil gelang itu jika kesumatku sudah tergenapkan. Tapi jika tidak, biar aku bertemu gelang itu bersama dengan Kakek dan Ayah-Ibu.

Dia menarik kembali tangan bernoda tanah. Mengelus nisan bisu kakeknya, berjalan mundur menyembah ke arah tiga makam itu.

Aku pamit, Kakek, Ayah, Ibu.

Restumu selalu kunantikan.

***

Walau gelap meliputi langit, tapi malam ini langit tetap terlihat cerah. Bulan bulat sempurna tanpa terhalang awan sejumput pun. Bintang berbias indah bertabur berkerlip seakan mengintip bumi yang cantik. Langit yang segelap hitam menjadi latar semua keindahan itu.

Sempurna.

Di kaki Bromo, sekelompok anak negeri, berpakaian terbaik yang mereka punya, berkumpul bersama dengan tubuh menghamba, mengharap berkah Dewata selalu mengiringi aliran darah mereka. Upacara Yadnya Kasada sudah dari tadi dimulai. Sebentar lagi mereka akan berjalan beriringan menuju puncak Bromo.

Berjalan pelan tapi pasti, menapaki pasir halus lereng Bromo. Puja dan puji tak lepas dari bibir mereka sepanjang jalan, seirama langkah kaki.

Tiba di puncak, mereka bersiap untuk menyerahkan kurban mereka untuk tahun ini.

Mempersembahkan yang terbaik yang mereka miliki, sebagai bakti, bukti syukur tak terhingga atas belai kasih Langit yang senantiasa menaungi mereka.

Airlangga mendorong kancil jantannya. Hewan buruan memang jarang digunakan sebagai kurban, baru tahun ini Airlangga mempersembahkan hewan buruan pada Langit. Dia merasa hutan sudah sangat bermurah hati padanya. Seperti sawah, ladang, dan ternaknya. Kakeknya pun setuju dengan keinginannya itu. Mengingat kakeknya, rasa tak karuan kembali datang.

Kek, kenapa Kakek lebih dulu pergi dari pada kancil itu?

Oh, Dewata Agung. Terimalah pengorbananku yang tak seberapa dibanding kasihMu. Aku hina di hadapanMu. Apa perlu aku yang terjun ke kawah itu, sebagai bukti baktiku?

Sesaji telah pergi tertelan bumi. Kembali, semua berjalan pulang, kembali melanjutkan hidup dengan asa yang senantiasa memayungi mereka. Langit selalu bersamanya.

***

“Apa rencanamu sekarang, Angga?” tanya pamannya.

Hari telah berganti. Malam telah kembali datang melatari bulan dan bintang di langit gelap. Bulan tidak lagi bulat sempurna. Masih dengan kerlip bintang yang sama dan langit hitam yang gelap, mereka duduk di ruang tengah rumah mendiang Kakek.

“Darah dibalas darah. Nyawa dibayar nyawa.” Airlangga masih duduk bersila menatap langit melalui jendela yang terbuka lebar. “Hutang harus dibayar lunas.”

Suara helaan napas pamannya terdengar jelas.

“Kamu melawan penguasa negeri, Nak. Manusia setengah dewa.”

“Nyawaku sudah di tangan Dewata. Biar Dia yang menentukan caranya aku kembali. Kakek yang begitu lembut bisa pergi dengan cara sekeji itu. Lalu untuk apa kita berramah tamah pada mereka? Selama ini kita sudah sangat baik kepada mereka. Kita usir mereka atau kita yang mati. Tidak ada dua harimau di satu hutan.”

Dia kenal anak muda ini, ayahnya mendidiknya sama persis seperti dia dan kakaknya.

Keras. Tegas. Tak kenal kompromi. Kali ini bukan maafnya yang tidak ada tapi dia tidak bisa melupakan sakitnya kehilangan Kakek. Kali ini dukanya tidak akan hilang jika orang-orang itu tidak merasakan duka yang sama.

“Aku mohon restu dari Paman,” ujar Airlangga sambil menundukkan kepalanya. Memohon restu.

“Restuku selalu bersamamu, Nak.” Pamannya menepuk ringan bahu Airlangga.

“Terima kasih.”

Diam.

“Bagaimana hubunganmu dengan Rindang?”

Tiba-tiba bahu kokoh Airlangga merosot lemah. Seperti tak ada tenaga.

“Maaf, Paman. Paman sudah tahu bagaimana perasaanku pada Dinda Rindang. Kami tumbuh bersama, dia selalu menjadi adik kesayanganku. Aku tidak bisa mengubah itu.”

Pamannya menarik napas panjang.

“Ya, Paman tahu.”

***

Fajar baru saja merekah. Semburat jingga merobek langit biru di puncak Bromo. Berhias awan berarak yang menari bersama angin. Meski bintang timur mulai kehilangan cahaya tapi pendar matahari bisa menggantikan keindahan langit.

Indah.

Keindahan yang mengundang penguasa untuk menguasainya.

Untuk apa?

Bukankah keindahan alam ini bisa dinikmati bersama?

Entahlah.

Ego alami manusia menguasai hati.

Tak mau berbagi, hanya ingin menguasai.

Airlangga sudah siap untuk pergi ketika suara gemerisik di belakangnya membuatnya menoleh.

Rindang.

“Kanda Angga,” panggilnya malu-malu.

“Ya, Dinda?”

“Kapan Kanda pulang?”

Menarik napas berat. “Aku tak tahu, Rindang.”

“Apa begitu sulit memaafkan?”

Rahangnya mengeras, giginya gemeletuk menahan marah.

“Untuk kali ini, tidak!”

Tegas.

Keras.

Yakin.

“Tapi—“

Terputus.

“Cukup, Rindang!” putus Airlangga. “Aku tidak mau membahas ini. Cukup ayahmu. Bahkan dia tidak berhasil menahanku.”

“Sendiko, Kakanda.” Menunduk, Rindang menghormat takzim.

“Aku pergi.” Kembali meneguhkan tekad, merapikan busur panah yang terselempang di bahunya.

“Kakanda—“ Suara terputus dan ragu-ragu itu membuat langkahnya kembali terhenti. Menunggu kelanjutannya, Airlangga berdiri mematung terpaku di ambang pintu. Tak menoleh, lurus menatap jalan dengan rahang terkatup rapat.

“Bagaimana dengan kita?” Lemah, pasrah.

Mendengar itu, bahunya melorot, semangatnya menguap.

“Aku tidak bisa, Adinda. Tidak bisa,” ujar Airlangga terdengar putus asa.

“Begitu sulitnyakah menerima aku?” Lirih.

“Terlalu mudah. Tapi aku selalu menganggap kamu adikku. Sulit mengubah isi kepalaku.” Airlangga berbalik, menatap wajah ayu dan sendu di hadapannya. “Aku tidak bisa, Rindang. Bukan tidak mau.”

Betapa inginnya dia jika Rindang bisa menjadi wanitanya.

Tapi…

“Kakanda…”

“Rindang, lupakan aku. Masa depanku lebih tak jelas. Aku pergi tanpa tahu kapan aku pulang, bahkan tanpa tahu apa aku akan pulang.” Tegas. Tidak ingin dibantah lagi. Keras menuntut.

Menarik napas panjang, meneguhkan tujuan.

“Lupakan aku.” Dia kembali berbalik menghadap pintu. “Aku pergi.”

Airlangga pergi menghadapi nasibnya.

Langit sudah menggoreskan pena takdirNya.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status