DIA tahu, seluruh penduduk desa adalah keluarganya, yang akan selalu melindungi sesamanya. Namun, dia tetap berhati-hati. Negeri ini juga memelihara begitu banyak pengkhianat. Berjalan dan memutar, ada satu urusan lagi yang harus dia selesaikan. Hari memang masih gelap, tapi kehidupan tentu sudah ada di balik pintu-pintu rumah. Dia berusaha berjalan biasa saja. Sampai di suatu jendela, dia mengetuk pelan daunnya. Tak lama, jendela itu terbuka mengantarkan sesosok pemuda lain yang tidak kalah gagah dari Airlangga.
Mengetahui Airlangga berdiri di luar, gesit, dia melompati ambang jendela. Tak lama keduanya sudah berlari menuju tujuan yang sama.
Di tepi hutan, mereka semakin gesit dan leluasa menyelinap di antara perdu dan pohon. Sampai di bawah pohon angsana, Airlangga yang memimpin di depan menghentikan langkahnya.
“Dayana.” Dia tentu tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang dia panggil. Matahari masih sangat jauh di timur bumi sementara bulan sudah nyaris tenggelam di cakrawala barat. Dan rindang dedaunan membuat cahaya matahari sulit menembus ke dasar hutan.
“Ya.”
Mereka sudah sangat saling mengenal, tanpa perlu cahaya sebenderang siang mereka bisa saling melihat menelisik.
“Aku akan pergi.”
“Apa sudah waktunya?” Dia bergerak duduk bersila di tanah. Berusaha lebih santai menyikapi Airlangga.
“Aku tidak bisa menunggu terlalu lama.” Dia ikut duduk di dekat sahabatnya.
“Kalau terlalu cepat, mereka akan mudah menghubungkan ulahmu dengan kematian Kakek.”
“Aku tidak ingin niatku berubah.”
Udayana menghela napas. “Justru itu yang sedang aku lakukan, Angga. Sebaiknya kamu batalkan niatmu. Masih ada cara lain untuk membalas dendam.”
“Apa? Selama ini kita hanya bisa diam. Semakin kita diam kita semakin diinjak.”
“Angga, bahkan Kanjeng Pangeran Diponegoro pun gagal. Apalagi kau. Siapa kau ini? Kau cuma rakyat jelata tanpa gelar tanpa pengikut.” Perang besar itu baru tahun lalu berakhir, tanah Jawa masih berduka kehilangan pemimpin yang dibuang ke seberang pulau. Berharap pesonanya tidak bisa membangunkan macan tidur di Jawa.
“Tapi Kanjeng Pangeran sudah berusaha. Dan dia tidak gagal, Dayana. Dia berhasil menunjukkan pada penjajah bahwa kita bisa melawan ketika mereka semena-mena. Dia berhasil membuat rakyat bergerak. Dia berhasil membuat kita percaya bahwa kita bisa. Apa yang kau sebut gagal tidak akan terjadi jika Belanda berlaku adil. Dia tidak akan gagal kalau mereka tidak licik. Dia berhasil mengacak-ngacak mereka. Mengobarkan perang besar selama lima tahun.” Meski mendesis, tapi keyakinannya terdengar jelas.
“Sampai saat ini pendukunya masih menunggu titah kembali bertempur. Sawo kecik ditanam di depan rumah-rumah mereka. Cukup satu berita, semua berkobar lagi.”
“Tapi siapa kamu, Angga….” Udayana menarik napas lelah. Setiap bertemu sahabatnya selalu saja dia ingatkan soal ini. “Kamu hanya akan menyerahkan nyawamu saja.”
“Aku tidak bermaksud mengacak-ngacak pertahanan mereka seperti yang Kanjeng Pangeran lakukan. Aku tahu diri. Siapa aku? Aku hanya ingin mereka tahu bahwa mereka tidak bisa semena-mena di tanah kita. Bahwa akan selalu ada anak negeri yang akan melawan.”
Udayana menarik napas masygul. Dia kenal sahabatnya seperti dia kenal dirinya sendiri. Tapi haruskah dia menyerah? Dia menyayangi sahabatnya. Dia tidak ingin kehilangan yang terbaik yang alam berikan untuknya.
“Apa yang akan kamu lakukan itu terlalu berisiko, Angga. Sadarlah.”
“Dayana, bahkan Paman Tirta tidak berhasil mengubah keputusanku. Apalagi kamu.”
“Lalu maumu apa?”
“Aku butuh bantuanmu.”
“Apa?” Dia akan melakukan apa pun yang Airlangga minta.
“Tolong jaga keluargaku.”
Udayana langsung berdiri mengentak tubuh. Kesal. “Itulah yang harus kamu pikirkan berulang-ulang, Angga. Ulahmu sangat berbahaya. Jangan kau korbankan keluargamu hanya karena emosimu. Sadarlah, Angga.”
“Aku tidak berulah, Dayana.” Airlangga berdesis dengan gigi saling mengerat sampai rahangnya kaku.
“Apa pun. Apa pun yang akan kau lakukan akan membahayakan keluargamu. Keluarga kita. Sedesa akan merasakan semua.”
“Tidak akan terjadi jika mereka tidak tahu pelakunya.”
“Percayalah, Angga, aku tidak akan menjadi pengkhianat dengan menyebut namamu. Tapi mereka pun punya kepala yang berisi otak. Mereka bisa berpikir dan mencarimu sendiri tanpa berbekal info apa pun.”
“Lakukan saja yang terbaik yang bisa kamu lakukan, Dayana.”
“Aku pasti akan melakukannya untukmu, tapi tolong, masih ada waktu untuk menghentikan niatmu dan mengubah jalanmu.”
“Tidak.”
Tegas. Keras. yakin.
Airlangga tidak akan tergoyahkan untuk apa pun.
“Aku akan melakukan apa pun yang aku yakini harus aku kerjakan.”
Dayana menarik napas panjang. “Kalau begitu, izinkan aku membantumu, Angga. Sahabat itu saling membantu.”
“Cukup jaga keluargaku saja.”
“Yang butuh dijaga itu kamu.”
“Cukup korbankan satu nyawa. Jangan dua. Kamu harus bertahan di desa. Jangan pernah tinggalkan desa apa pun yang terjadi sampai urusan ini selesai.”
“Lalu apa tanda urusanmu selesai?”
Airlangga terdiam.
“Aku atau dia yang kembali ke rumah tinggal nama.”
“Kalau pun kau berhasil kembali pulang masih bernyawa, mereka akan selalu memburumu, Angga. Bahkan sampai ke lubang semut.”
“Maka tugasmu adalah menutup lubang itu agar mereka tidak bisa menemukan aku.”
Udayana menarik napas lelah. Dia kenal sahabatnya ini. Tekadnya sekeras batu gunung.
“Apa pun yang akan terjadi nanti, beri kabar padaku bagaimana pun caranya.”
“Kau akan selalu tahu. Yakinlah.”
“Apalagi yang bisa aku lakukan?”
“Tidak ada.”
“Bagaimana dengan bekalmu?”
Airlangga terkekeh. “Kita sama-sama tahu kemampuan kita mengumpulkan bekal di tanah surga ini, Dayana. Jangan berlebihan mengkhawatirkan diriku. Sudahlah. Aku pergi sekarang.”
Airlangga menepuk keras bahu sahabatnya lalu dia melesat nyaris tanpa suara menghilang di kelebatan hutam dalam sekejap. Meninggalkan Udayana terpaku, terpekur berharap Sang Pencipta selalu bermurah hati menjaga sahabatnya.
Hari telah utuh menjadi pagi. Meski redup, hutan dengan rimbun dedaunan yang menutupi langit tetap merasakan cahaya matahari sampai ke sela-sela tanah. Dingin pagi masih terasa ketika hangat cahaya matahari menerobos masuk.
“Hai, apa yang kamu lakukan di sana, Inlanders?”
Udayana tersentak. Dia begitu dalam menatap ke arah hutan sampai kewaspadaannya melemah. Menoleh, dia tahu dia berhadapan dengan siapa. Seorang lelaki berpakaian Eropa duduk di atas seekor kuda. Jelas lelaki itu bukan anak bangsanya.
“Tidak ada. Saya hanya akan mencari tanaman obat.” Tak ingin mencari ribut, Udayana berdiri dengan bahasa tubuh tubuh merendah. Dia membungkukkan bahunya terlalu rendah demi menjaga keributan tak datang di saat Airlangga baru pergi.
Mungkin melihat inlanders ini begitu takut dan penurut, lelaki Eropa itu semakin jumawa. Dia menarik tali kekang kuda, membuat kudanya meringkik lalu berderap maju. Ketika bergerak itulah dia menendang Udayana. Tak ingin terlihat kuat, Udayana menjatuhkan tubuh. Membuat lelaki itu terbahak lepas.
Darahnya mendidih.
Dia semakin bisa mengerti kenapa Airlangga begitu marah.
***
Meninggalkan sahabatnya, Airlangga berlari lebih dalam memasuki hutan—rumah keduanya—membelah pagi yang indah, ditemani suara alam menyambut surya.
Airlangga bergerak cepat. Dia berburu untuk menumpuk makanan, persiapan jika harus bersembunyi.
Itu jika aku sempat bersembunyi.
Dia menarik napas berat.
Aku hidup berkalung harga diri, aku mati bertemu Kakek dan Ayah-Ibu.
Tak ada ruginya.
Pemikiran itu selalu berhasil meneguhkan kembali tekadnya.
Dia hafal hutan ini seperti dia hafal lekuk tubuhnya.
Bersatulah dengan alam, dan alam senantiasa menjagamu. Jangan menentangnya, walau dia diam, tapi akan tiba masanya kau tidak mampu melawan kehendak alam ketika alam memulihkan dirinya sendiri.
Itu salah satu pesan kakeknya.
Mengingat itu, dia semakin merindukan sosok tua yang keras mendidiknya. Semakin rindu itu menguasainya, semakin kuat amarah mengikutinya.
Kakek mungkin tidak setuju dengan keputusanku. Tapi aku tidak mungkin membiarkan mereka merajalela tanpa satu kali pun pembalasan. Mereka akan semakin tidak menganggap kami, pemilik sah negeri ini!
***
Tiga hari berlalu, persiapan dirasa cukup. Termasuk mengulur waktu sedikit lebih lama dan berpikir ulang. Namun tekadnya tidak berubah malah semakin membulat. Bahan makanan telah tertumpuk di rumah keduanya. Rumah yang selalu menyiapkan segala yang dia butuhkan.
Saatnya memulai misi.
***
Tujuannya jelas. Rumah seorang tuan tanah. Frederick van Loen. Desas desus yang dia dengar, hanya dua orang yang menghuni rumah itu.
***
Bersambung
AKU terlalu sering mendengar jeritan teredam kenikmatan Ells. Bahkan dinding batu tebal ini masih menyisakan ruang untuk telinga tua ini mendengar suara itu. Apa pun yang pemuda itu lakukan pada anakku, sepertinya Ells sangat menyukainya. Sangat menikmatinya hingga terlihat di pagi hari, Ells bangun dengan wajah merona segar. Brawijaya sudah lelap, terlalu lelah bermain membuatnya langsung tidur bahkan sebelum kepalanya menyentuh bantal dengan baik. Menyisakan van Loen yang masih merapikan selimut cucunya. Dia sama sekali tidak membuang waktu! Pemuda yang energik. Van Loen tertawa dalam hati. Itu pula sebabnya dia selalu berusaha merayu Brawijaya agar mau tidur bersamanya. Hhmm…. Sebenarnya tidak perlu merayu Brawijaya. Cucunya selalu mau tidur bersamanya. Cucu selalu dekat dengan kakeknya, bukan? Apalagi jika memiliki cucu seperti Brawijaya. Van Loen tidak ingin menyia-yiakan waktunya untuk dekat dengan cucunya. Kau ingin memiliki adik, bukan
“Hhmm…” Airlangga memeluk Ells, membaui keringat istrinya. Menyurukkan wajahnya di lekuk leher wanitanya. Menghidu di sana. “Brawijaya sudah pergi bermain. Apa kita bisa bermain, Sayang?” “Untuk sebuah permainan yang menyenangkan, aku lebih memilih menunggu.” Ells membiarkan Airlangga menikmati lekuk lehernya. “Kau selalu saja seperti itu,” gerutu Airlangga sambil terus menikmati wanitanya. “Tidak bisakah kau membiarkan aku mengeluarkan muatanku sedikit saja?” lanjutnya sambil menggerakkan pinggul, membiarkan Ells merasai bukti gairahnya. Ells tergelak lepas, cumbuan Airlangga pun juga terlepas. “Aku tak yakin kita bisa bermain hanya sebentar, Sayang.” Airlangga ikut tergelak. “Kita berdua sama gilanya, dan sekarang sedang pesta. Tak elok jika tuan rumah tak ada. Apalagi ketika kita muncul dengan kondisi berantakan.” “Sebentar saja, Ells. Kumohon…” “Angga, jangan memohon untuk itu.” Bergerak mendorong menjauh, “Baiklah. Kau keluarlah sekarang. Aku
[Lima Tahun Kemudian] . “Angga, mana Jaya?” tanya Ells ketika melihat Airlangga hanya sendirian berjalan ke arahnya. “Bermain. Apa lagi?” jawab Airlangga santai. “Siapa yang menemani?” tanya Ells lagi, cemas. Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi. Airlangga hanya mengedikkan bahu, tak acuh. Tak lama, muncul seorang anak yang berteriak kencang. “Ibuu…” Berlumur tanah dan lumpur, memakai pakaian berwarna putih—tadi putih, sekarang entahlah—berlari ke arah Ells. Melihat itu, Ells hanya mendesah pasrah sambil melirik jengkel pada suaminya. “Paling tidak, jangan berkotor-kotor seperti itu ketika sedang pesta,” gerutu Ells pada Airlangga. “Berkotor-kotor, itu pesta buat Brawijaya, Sayang. Kita sedang berpesta, lalu kau ingin mengekang anakmu? Biarkan dia juga berpesta dengan caranya.” Airlangga langsung menyambar anak berlumur lumpur itu, membiarkan pakaian putihnya ikut terkotori. Ells menarik napas panjang. Selalu,
MATAHARI sore masih menerobos di sela-sela dedaunan. Hangatnya menyiapkan bumi untuk dinginnya malam. Alam begitu indah, ramah menyambut pemilik rumah. Di sanalah mereka. Berdiri, dengan kepala menengadah ke atas, dan jemari saling menggenggam erat. Rumah pohon. Rumah kecil beruang satu, tanpa sekat, tanpa perabot. Hanya ada kehangatan kasih di atas sana. Airlangga semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tak lekang matanya menatap rumah yang lebih tepat disebut gubuk itu. Rumah yang dia dan Udayana buat untuk mereka menikmati hutan. “Kita sampai, Ells…” Ells menarik napas. Setelah sekian lama dia lupa bernapas, terlalu terpesona melihat keindahan di atas sana. Bergerak melepaskan genggaman tangannya, untuk memeluk tubuh Airlangga. Menyurukkan wajah di dada lelakinya. Impiannya menjadi nyata. Bersama Airlangga, di rumah ini, mengambil belati. “Kau ingin naik sekarang?” Sebelah tangannya memeluk bahu Ells, dan sebelah lagi membel
SEBUAH makam sederhana menjadi tujuan mereka. Airlangga berjalan mendekat dengan takzim lalu duduk berlutut di makam itu. Ells mengikuti saja gerakan Airlangga. Kakek, aku datang dengan istri dan anakku. Kemudian mereka bersimpuh berdampingan di makam Kakek. Makam sederhana yang terawat bersih dan rapi. Terima kasih Kakek selalu menemaniku. Aku sudah menemukan belahan jiwaku. Walau dengan cara yang aneh, tapi demikianlah Dewata menggariskan takdirku dengan penaNya. Aku yakin, Kakek merestui pilihanku. Daniella wanita yang luar biasa. Tak hanya cantik, Ells wanita yang setia. Walau dia sedikit berbeda dengan kita, tapi dia mencintaiku, Kek. Dan aku pun mencintainya. Kami berhasil membangun jembatan pelangi itu. Sekarang kami sisa mewarnainya, dan pelangi itu akan semakin indah. Kek, aku akan mengambil gelangku. Terima kasih sudah menjaganya selama aku pergi. Perlahan, Airlangga menggali tanah di mana dia menanam gelang itu. Tanah makam sudah
SUDAH tengah hari. Matahari tepat di atas kepala. Namun udara dingin lereng Bromo seakan bisa menyamarkan terik itu. ditambah rindang pohon penuh dedaunan, menambah kesejukan rumah yang mendadak diliputi rasa haru dan bahagia. Semua berakhir indah. Tangis dan ketakutan mereka terbayar. Mereka masih bisa berkumpul di rumah sederhana ini. Ells tetap memeluk Airlangga. Tapi ada yang aneh dengan pinggang ini. Ada yang hilang. Apa?I Ells berusaha mengingat-ingat. “Angga!” Mendadak Ells mendongakkan wajah, menatap Airlangga, “Di mana belatimu?” Tersenyum samar, Airlangga teringat belatinya. “Di rumah pohon.” “Kenapa kau meninggalkan belatimu di sana?” “Lebih baik kutinggalkan untuk Dayana daripada hilang di rumahmu.” “ANGGA!!” Diam. Semua tahu apa arti belati itu bagi Airlangga. Dan semua juga mengerti makna 'belati untuk Dayana'. “Sudah, sudah…” suara Paman Tirta terdengar menentramkan. “Lebih baik kita masuk dulu. Kau baru