Share

3, Sembilan Belas Tahun Yang Lalu

MATAHARI mulai lelah. Bulatnya merosot semakin jauh ke barat bumi. Seorang wanita muda sangat cantik berjalan sambil membimbing bocah lelaki kecil menyusuri jalan setapak di tepi hutan. Jelas dia ibu si bocah itu. Lelaki kecil yang tampan dan sehat. Langkah si bocah belum kokoh menjejak bumi. Dia selalu berpegangan pada tangan ibunya agar tidak tersaruk jatuh. Namun kelincahannya membuat si ibu harus mempercepat langkahnya. Tak ada keluh terdengar dari bibir si ibu. Wanita cantik itu malah selalu tertawa melihat polah anaknya.

      Gelak si bocah pun begitu lepas meningkahi suara angin sore. Gelak yang membuat si ibu tersenyum lebar, senyum yang semakin memperlihatkan kecantikan alaminya. Anak itu begitu lincah. Si ibu cukup kerepotan mengimbangi gerak lincahnya. Dia berusaha untuk selalu memegang tangan bocah itu sementara sebelah tangannya yang lain membawa keranjang berisi daun-daun tanaman obat yang dia petik dari dalam hutan.

“Ibu… Aku haus.”

“Kalau kau selalu berlari, kau akan selalu haus, Anakku.” Si ibu mencubit gemas pipi anaknya. “Sabarlah. Sebentar lagi kita sampai di rumah.”

Wulan namanya. Wajahnya secantik namanya. Wajah ayu memancarkan ketenangan seperti bulan merindu.

“Tapi aku mau sekrang, Ibu.” Bocah itu mulai merengek.

“Mata air di dalam hutan lebih jauh daripada rumah kita, Angga. Kita pulang saja. Ayahmu sebentar lagi kembali dari ladang. Ibu belum menyiapkan makan malam.”

“Aku lapar, Ibu.”

Wanita cantik itu makin tergelak. “Kalau begitu, ayo kita pulang.” Dia menarik tangan anaknya lebih kuat.

Saat itulah dia mendengar derap kaki kuda mendekat. Bergegas, dia menarik anaknya menjauh, sedikit bersembunyi di balik perdu.

***

Lelaki muda berpeluh bertelanjang dada masih terus sibuk mencangkul. Kebunnya sudah selesai dia urus, tapi ladangnya belum. Dia melirik matahari yang makin ke barat.

Masih ada waktu untuk lebih banyak mengurus ladang, ujarnya dalam hati.

Bersemangat, dia mengayunkan cangkul semakin bertenaga. Ladang ini berisi tanaman sayur dan buah untuk makanan sehari-hari keluarga kecilnya. Setelah merasa cukup, dia menyudahi pekerjaannya. Sekeranjang sayuran sudah rapi dia siapkan untuk dibawa pulang. Setelah sedikit membersihkan diri, dia pun berjalan ke arah desa.

Kertabumi nama lelaki itu.

Baru beberapa langkah dia berjalan, dia teringat istri dan anaknya yang mungkin masih di hutan. Mengingat itu, dia membelokkan arah langkahnya. Dia akan menjemput istrinya lalu pulang bersama.

Tersenyum, dia mempercepat langkahnya. Dari senyum itu terlihat dia lelaki yang menarik hati. Langkahnya yang mantap menunjukkan kegagahan tubuhnya. Kulitnya gelap hitam terbakar matahari tapi otot-ototnya jelas terlihat ulah kerja kerasnya sepanjang hari di ladang.

***

Jauh dari tepi hutan itu, seorang lelaki berpakaian formal berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar di sebuah rumah sakit. Suara tapak sepatunya di lantai tidak bisa meredam suara kesakitan dari balik pintu. Suara yang membuatnya semakin gelisah. Pakaian formalnya sudah berantakan. Jasnya sudah sejak awal dia campakkan ke kursi di ruang tunggu. Dia tidak peduli kemejanya sudah keluar dari lingkar pinggang pantalonnya. Dasinya pun entah ada di mana. Tangannya tak henti mengacak rambut. Lelaki itu sangat berantakan menunggu istrinya yang sedang berjuang melahirkan anak pertama mereka.

Sudah sejak pagi istrinya di dalam. Sudah sejak siang suara-suara dari dalam semakin menyiksa hati. Apa masih ada tenaga tersisa jika selama itu dia berjuang di dalam? Seandainya dia bisa menggantikan posisi istrinya, dia sangat bersedia. Dia lelaki, dia lebih kuat.

Benarkah?

Benarkah lelaki lebih kuat?

Kalau lelaki lebih kuat, mengapa malah wanita yang selalu disebut makhluk lemah yang menjadi tempat menumbuhkan kehidupan baru? Kuatkah lelaki menahan sakit selama itu? Dari jeritannya saja, sudah tidak terbayang sakitnya. Teriakan itu lebih menyayat hati dari lengkingan serdadu yang terluka di medan perang.

Mungkin karena yang berteriak adalah istrinya?

Ah, entahlah. Dia terlalu panik. Tidak ada suami yang mampu bertahan mendengar jeritan seperti itu.

Dan lebih panik lagi ketika seorang perawat keluar lalu berlari cepat ke arah lain mengabaikan dirinya yang terperangah. Tak lama, beberapa orang berlarian datang dan langsung masuk ke ruang bersalin istrinya. Dia yang terkejut tak bisa berpikir lain selain merasa ada yang salah dengan istrinya di dalam. Jantungnya langsung berdetak kuat berkali lipat.

Sampai akhirnya suara jerit lain terdengar dari dalam.

Suara tangis bayi yang sangat kuat dan lantang.

Anaknya telah lahir.

Mendengar suara itu, matanya mendelik sempurna. Seorang pelayan muda yang sejak tadi diam di sudut ruang langsung terbungkuk mendatanginya.

“Tuan…”

“Anakku sudah lahir, Topan.” Wajahnya bercahaya. Hilang sudah lelah dan cemasnya. Dia langsung bersiap di depan pintu, menunggu izin masuk dari dalam datang.

Dan benar saja, tak lama pintu itu berbunyi dan terbuka. Tanpa menunggu lagi, dia berderap masuk.

Namun kenapa auranya begitu suram?

Beberapa orang mundur menjauh dari ranjang, menyisakan seoarang lelaki dengan pakaian berlumur darah.

“Karel….” desis van Loen. “Ada apa?” Dia melihat istrinya begitu tenang. Terlalu tenang untuk disebut tidur.

“Maafkan kami, Fred.” Lirih. Dia mundur memberi ruang untuk van Loen lebih mendekat. “Kami sudah berusaha. Tapi….”

Van Loen sudah tahu kelanjutan kalimat itu. Kakinya melunglai seketika, tubuhnya jatuh memeluk jasad istrinya.

“Valentijn…” bisiknya di antara isak dan sesak. “Valentijn….” Dia terus menyebut lirik nama itu.

Valentijn, wanita yang bersedia meninggalkan tanah leluhur untuk ikut menemaninya mengubah nasib di timur. Wanita yang sudah menemaninya lima belas tahun terakhir. Selama itu berdua, berharap cinta mereka berbuah. Sampai akhirnya wanita itu memberikan seorang anak mesti harus menukarnya dengan nyawanya sendiri.

Ini seperti mimpi buruk. Dia berusaha bangun dari mimpi itu. Ini mimpi yang sangat menyeramkan. Namun ketika suara bayi memasuki telinganya dia tersadar, ini bukan mimpi. Perlahan dia mengangkat tubuhnya. Seorang perawat mengendong bayi mungil yang terus menjerit. Hatinya pun menjerit teriris.

“Dia akan tumbuh menjadi gadis yang cantik, Fred.” Suara Dokter Karel meningkahi tangis bayi itu.

“Dia… perempuan?”

“Ya. Cantik sekali. Secantik Valentijn.” Senyum Dokter Karel yang tulus pun berbias duka mendalam. Van Loen sahabatnya. Dia sangat berduka untuk sahabatnya. Dia sangat menyesal gagal menyelamatkan istri sahabatnya, tapi Tuhan tahu, bagaimana dia berusaha menyelamatkan anak dan istri sahabatnya. Dia sudah sangat berusaha. Saat ini bahagia dan duka menjadi satu untuk van Loen.

Ketika perawat itu mendekat dan mengulurkan anaknya, van Loen langsung mengambil bayi itu. Tanpa bisa ditahan lagi, tangisnya tumpah. Meratapi hidupnya, menangisi kisahnya. Anak ini tidak beribu.

Hanya ada mereka berdua di negeri yang jauh dari tanah leluhur.

***

Namun penunggang kuda itu kadung melihat Wulan. Melihat ada wanita cantik berusaha bersembunyi di balik perdu. Seulas senyum licik langsung tercetak di bibirnya.

Ini hari keberuntunganku, ujarnya dalam hati sambil menarik kekang kuda. Kuda itu meringkik dan berhenti tepat di depan dua orang yang berdiri menunduk. Si bocah berdiri memeluk tungkai ibunya sementara si ibu semakin merapatkan tubuh melindungi anaknya.

Senja yang makin temaram membuat keindahan wanita itu semakin eksotis. Berkas-berkas cahaya matahari yang berhasil menerobos di sela dedauan membias indah di tubuh sempurna perempuan molek itu. Sesuatu yang liar semakin liar bergolak di dada lelaki muda. Dengan tatapan terus menusuk ke tubuh indah di dekatnya, dia meloncat turun. Melirik asal, dia mengaitkan kekang kuda ke sebuah dahan. Lalu berjalan makin mendekat ke tujuan.

Tatapannya makin liar seliar gejolak mudanya. Suara langkah kaki bersepatu menginjak daun kering tak terdengar tertutup degub jantung si ibu.

“Siapa namanu, Cantik.” Suara parau itu jelas menunjukkan hasratnya. Tangannya terulur menyentuh dagu si cantik yang spontan menjauhkan tubuhnya berusaha menghindar.

Sejak awal Wulan tahu siapa yang menunggang kuda. Bukan kerabatnya bahkan bukan orang sewarna kulitnya. Dia pendatang, penjajah di negerinya. Lebih baik menjauh segera. Namun sepertinya terlambat, lelaki itu kadung melihatnya dan lihatlah apa yang terjadi pada dirinya sekarrang, menciut di depan pendatang.

Dia makin berusaha menjauh. “Maaf, Tuan. Ini anak saya. Saya sudah bersuami….”

Jawaban yang membuat si tuan muda itu tertawa keras sekali. Dua tubuh menggigil di depannya makin mengecilkan diri. Suara isak mulai terdengar dari si bocah. Lelaki muda itu makin memaksa, makin mendekat, Wulan makin membungkuk memeluk anaknya. Namun posisi membungkuk itu semakin membangunkan setan-setan di kepala lelaki muda itu. Belahan dadanya makin terlihat dan lekuk tubuhnya semakin jelas membentuk. Dia makin kesulitan mengendalikan hasratnya yang memang tidak sedang dia usahakan terkendali. Dia ingin membebaskan gairahnya. Dengan kekejian yang mutlak dia menarik lepas si anak dan mendorongnya menjauh. Bocah kecil itu jatuh.

.

Dug.

.

Suara lemah kepala dan akar pohon yang mencuat di tanah beradu.

Airlangga jatuh dengan darah mengalir dari kepala.

“AIRLANGGA…” Wulan berusaha meraih anaknya. Namun tangannya tak sampai menyentuh Airlangga. Tangan di tubuh itu tertarik mendekat ke arah setan berwujud manusia yang sudah semakin tidak terkendali. Kasar, dia membuka paksa helai-helai kain yang menutupi tubuh Wulan. Tak peduli wanita itu berteriak menolak dan memberontak hebat.

“AAARRRGGGHHH….”

Bersamaan setan berambut pirang memaksa memasuki tubuh Wulan, Kertabumi tersentak mendengar jeritan itu. Dia mengenali suara itu sebagai suara istrinya. Dia langsung melemparkan bawaannya dan berlari ke arah sumber suara. Matanya mendelik sempurna melihat pemandangan di depannya. Tanpa berpikir, dia mencabut belati yang terselip di pinggang lalu langsung meloncat ke arah dua orang yang sedang bergumul. Dia mendorong dengan semua tenaga yang dia punya untuk memisahkan dua tubuh itu lalu langsung berhadapan dengan si lelaki. Wulan beringsut menjauh sambil merapikan carik-carik kain di tubuhnya, berusaha menutupi tubuh terbukanya.

.

Jleb.

.

“AAARRRGGGHHH…” Kali ini suara si setan yang mengisi ruang bumi. Matanya mendelik sempurna merasakan belati dingin menusuk di tubuhnya.

.

Jleb.

.

Dua tusukan di dada dan perut membuat si setan mengejang lalu semakin lemah. Di saat tubuhnya melemah dia tetap berusaha melawan, sebelah tangannya menahan laju Kertabumi sementara sebelah lagi berusaha meraih sesuatu di pinggangnya ketika lelaki yang menikamnya sedang berusaha menggapai si wanita cantik.

.

DOR

.

Tanpa suara, Kertabumi mendelik sempurna. Tubuhnya mengejan saat merasakan panas menyebar cepat di perutnya. Pertahanannya terbuka.

.

DOR.

.

Satu lagi menembus tepat di jantungnya. Saat itulah tubuhnya melunglai cepat.

“KANGMAS!” Wulan terbelah. Antara mengurus anaknya dan mendekati suaminya.

Tak puas, si setan dengan sisa nyawa yang dia punya menarik paksa belati di tubuhnya, lalu dengan nyawa terakhirnya dia menancapkan belati itu di dada lawannya.

“KANGMAS!” Kali ini dia tidak berpikir lagi.

Ketika dua tubuh di depannya roboh bersamaan, Wulan tahu apa yang harus segera dia lakukan. Terseok tersuruk, dia bergegas ke arah Kertabumi.

“KANGMAAASSS….” Tangannya meraba dada suaminya yang sudah bermandi darah. Darah yang mengalir sederas air matanya.

“Aaaa…” Kertabumi berusaha bersuara.

Lalu roboh tanpa sempat menyelesaikan kata yang tersendat dari bibirnya. Wulan makin histeris. Menyadari suaminya sudah pergi dan dirinya yang ternoda, dia melirik Airlangga yang masih diam seperti mati.

Lalu untuk apa aku hidup?

Tak berpikir lama, dia menarik belati yang masih tertancap di Kertabumi. Tanpa berpikir ulang, dia menancapkan belati itu langsung ke dada kirinya.

Wulan pun menyusul Kertabumi.

***

Senja yang muram. Angin senja mendesau mengirimkan berita kepada dunia. Semilirnya seakan suara duka yang menangis perih. Daun yang jatuh berguguran seperti airmata duka yang mengalir di pipi. Suara angin menggesek dedaunan menjadi kidung sedih pengantar kematian. Matahari sudah sisa lengkung kecil di sudut bumi. Darah sudah mengalir dari empat tubuh. Ruh sudah terlepas dari tubuh. Melayang pergi berpindah alam. Alam pun menangisi kepergian empat nyawa.

***

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status