MATAHARI mulai lelah. Bulatnya merosot semakin jauh ke barat bumi. Seorang wanita muda sangat cantik berjalan sambil membimbing bocah lelaki kecil menyusuri jalan setapak di tepi hutan. Jelas dia ibu si bocah itu. Lelaki kecil yang tampan dan sehat. Langkah si bocah belum kokoh menjejak bumi. Dia selalu berpegangan pada tangan ibunya agar tidak tersaruk jatuh. Namun kelincahannya membuat si ibu harus mempercepat langkahnya. Tak ada keluh terdengar dari bibir si ibu. Wanita cantik itu malah selalu tertawa melihat polah anaknya.
Gelak si bocah pun begitu lepas meningkahi suara angin sore. Gelak yang membuat si ibu tersenyum lebar, senyum yang semakin memperlihatkan kecantikan alaminya. Anak itu begitu lincah. Si ibu cukup kerepotan mengimbangi gerak lincahnya. Dia berusaha untuk selalu memegang tangan bocah itu sementara sebelah tangannya yang lain membawa keranjang berisi daun-daun tanaman obat yang dia petik dari dalam hutan.
“Ibu… Aku haus.”
“Kalau kau selalu berlari, kau akan selalu haus, Anakku.” Si ibu mencubit gemas pipi anaknya. “Sabarlah. Sebentar lagi kita sampai di rumah.”
Wulan namanya. Wajahnya secantik namanya. Wajah ayu memancarkan ketenangan seperti bulan merindu.
“Tapi aku mau sekrang, Ibu.” Bocah itu mulai merengek.
“Mata air di dalam hutan lebih jauh daripada rumah kita, Angga. Kita pulang saja. Ayahmu sebentar lagi kembali dari ladang. Ibu belum menyiapkan makan malam.”
“Aku lapar, Ibu.”
Wanita cantik itu makin tergelak. “Kalau begitu, ayo kita pulang.” Dia menarik tangan anaknya lebih kuat.
Saat itulah dia mendengar derap kaki kuda mendekat. Bergegas, dia menarik anaknya menjauh, sedikit bersembunyi di balik perdu.
***
Lelaki muda berpeluh bertelanjang dada masih terus sibuk mencangkul. Kebunnya sudah selesai dia urus, tapi ladangnya belum. Dia melirik matahari yang makin ke barat.
Masih ada waktu untuk lebih banyak mengurus ladang, ujarnya dalam hati.
Bersemangat, dia mengayunkan cangkul semakin bertenaga. Ladang ini berisi tanaman sayur dan buah untuk makanan sehari-hari keluarga kecilnya. Setelah merasa cukup, dia menyudahi pekerjaannya. Sekeranjang sayuran sudah rapi dia siapkan untuk dibawa pulang. Setelah sedikit membersihkan diri, dia pun berjalan ke arah desa.
Kertabumi nama lelaki itu.
Baru beberapa langkah dia berjalan, dia teringat istri dan anaknya yang mungkin masih di hutan. Mengingat itu, dia membelokkan arah langkahnya. Dia akan menjemput istrinya lalu pulang bersama.
Tersenyum, dia mempercepat langkahnya. Dari senyum itu terlihat dia lelaki yang menarik hati. Langkahnya yang mantap menunjukkan kegagahan tubuhnya. Kulitnya gelap hitam terbakar matahari tapi otot-ototnya jelas terlihat ulah kerja kerasnya sepanjang hari di ladang.
***
Jauh dari tepi hutan itu, seorang lelaki berpakaian formal berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar di sebuah rumah sakit. Suara tapak sepatunya di lantai tidak bisa meredam suara kesakitan dari balik pintu. Suara yang membuatnya semakin gelisah. Pakaian formalnya sudah berantakan. Jasnya sudah sejak awal dia campakkan ke kursi di ruang tunggu. Dia tidak peduli kemejanya sudah keluar dari lingkar pinggang pantalonnya. Dasinya pun entah ada di mana. Tangannya tak henti mengacak rambut. Lelaki itu sangat berantakan menunggu istrinya yang sedang berjuang melahirkan anak pertama mereka.
Sudah sejak pagi istrinya di dalam. Sudah sejak siang suara-suara dari dalam semakin menyiksa hati. Apa masih ada tenaga tersisa jika selama itu dia berjuang di dalam? Seandainya dia bisa menggantikan posisi istrinya, dia sangat bersedia. Dia lelaki, dia lebih kuat.
Benarkah?
Benarkah lelaki lebih kuat?
Kalau lelaki lebih kuat, mengapa malah wanita yang selalu disebut makhluk lemah yang menjadi tempat menumbuhkan kehidupan baru? Kuatkah lelaki menahan sakit selama itu? Dari jeritannya saja, sudah tidak terbayang sakitnya. Teriakan itu lebih menyayat hati dari lengkingan serdadu yang terluka di medan perang.
Mungkin karena yang berteriak adalah istrinya?
Ah, entahlah. Dia terlalu panik. Tidak ada suami yang mampu bertahan mendengar jeritan seperti itu.
Dan lebih panik lagi ketika seorang perawat keluar lalu berlari cepat ke arah lain mengabaikan dirinya yang terperangah. Tak lama, beberapa orang berlarian datang dan langsung masuk ke ruang bersalin istrinya. Dia yang terkejut tak bisa berpikir lain selain merasa ada yang salah dengan istrinya di dalam. Jantungnya langsung berdetak kuat berkali lipat.
Sampai akhirnya suara jerit lain terdengar dari dalam.
Suara tangis bayi yang sangat kuat dan lantang.
Anaknya telah lahir.
Mendengar suara itu, matanya mendelik sempurna. Seorang pelayan muda yang sejak tadi diam di sudut ruang langsung terbungkuk mendatanginya.
“Tuan…”
“Anakku sudah lahir, Topan.” Wajahnya bercahaya. Hilang sudah lelah dan cemasnya. Dia langsung bersiap di depan pintu, menunggu izin masuk dari dalam datang.
Dan benar saja, tak lama pintu itu berbunyi dan terbuka. Tanpa menunggu lagi, dia berderap masuk.
Namun kenapa auranya begitu suram?
Beberapa orang mundur menjauh dari ranjang, menyisakan seoarang lelaki dengan pakaian berlumur darah.
“Karel….” desis van Loen. “Ada apa?” Dia melihat istrinya begitu tenang. Terlalu tenang untuk disebut tidur.
“Maafkan kami, Fred.” Lirih. Dia mundur memberi ruang untuk van Loen lebih mendekat. “Kami sudah berusaha. Tapi….”
Van Loen sudah tahu kelanjutan kalimat itu. Kakinya melunglai seketika, tubuhnya jatuh memeluk jasad istrinya.
“Valentijn…” bisiknya di antara isak dan sesak. “Valentijn….” Dia terus menyebut lirik nama itu.
Valentijn, wanita yang bersedia meninggalkan tanah leluhur untuk ikut menemaninya mengubah nasib di timur. Wanita yang sudah menemaninya lima belas tahun terakhir. Selama itu berdua, berharap cinta mereka berbuah. Sampai akhirnya wanita itu memberikan seorang anak mesti harus menukarnya dengan nyawanya sendiri.
Ini seperti mimpi buruk. Dia berusaha bangun dari mimpi itu. Ini mimpi yang sangat menyeramkan. Namun ketika suara bayi memasuki telinganya dia tersadar, ini bukan mimpi. Perlahan dia mengangkat tubuhnya. Seorang perawat mengendong bayi mungil yang terus menjerit. Hatinya pun menjerit teriris.
“Dia akan tumbuh menjadi gadis yang cantik, Fred.” Suara Dokter Karel meningkahi tangis bayi itu.
“Dia… perempuan?”
“Ya. Cantik sekali. Secantik Valentijn.” Senyum Dokter Karel yang tulus pun berbias duka mendalam. Van Loen sahabatnya. Dia sangat berduka untuk sahabatnya. Dia sangat menyesal gagal menyelamatkan istri sahabatnya, tapi Tuhan tahu, bagaimana dia berusaha menyelamatkan anak dan istri sahabatnya. Dia sudah sangat berusaha. Saat ini bahagia dan duka menjadi satu untuk van Loen.
Ketika perawat itu mendekat dan mengulurkan anaknya, van Loen langsung mengambil bayi itu. Tanpa bisa ditahan lagi, tangisnya tumpah. Meratapi hidupnya, menangisi kisahnya. Anak ini tidak beribu.
Hanya ada mereka berdua di negeri yang jauh dari tanah leluhur.
***
Namun penunggang kuda itu kadung melihat Wulan. Melihat ada wanita cantik berusaha bersembunyi di balik perdu. Seulas senyum licik langsung tercetak di bibirnya.
Ini hari keberuntunganku, ujarnya dalam hati sambil menarik kekang kuda. Kuda itu meringkik dan berhenti tepat di depan dua orang yang berdiri menunduk. Si bocah berdiri memeluk tungkai ibunya sementara si ibu semakin merapatkan tubuh melindungi anaknya.
Senja yang makin temaram membuat keindahan wanita itu semakin eksotis. Berkas-berkas cahaya matahari yang berhasil menerobos di sela dedauan membias indah di tubuh sempurna perempuan molek itu. Sesuatu yang liar semakin liar bergolak di dada lelaki muda. Dengan tatapan terus menusuk ke tubuh indah di dekatnya, dia meloncat turun. Melirik asal, dia mengaitkan kekang kuda ke sebuah dahan. Lalu berjalan makin mendekat ke tujuan.
Tatapannya makin liar seliar gejolak mudanya. Suara langkah kaki bersepatu menginjak daun kering tak terdengar tertutup degub jantung si ibu.
“Siapa namanu, Cantik.” Suara parau itu jelas menunjukkan hasratnya. Tangannya terulur menyentuh dagu si cantik yang spontan menjauhkan tubuhnya berusaha menghindar.
Sejak awal Wulan tahu siapa yang menunggang kuda. Bukan kerabatnya bahkan bukan orang sewarna kulitnya. Dia pendatang, penjajah di negerinya. Lebih baik menjauh segera. Namun sepertinya terlambat, lelaki itu kadung melihatnya dan lihatlah apa yang terjadi pada dirinya sekarrang, menciut di depan pendatang.
Dia makin berusaha menjauh. “Maaf, Tuan. Ini anak saya. Saya sudah bersuami….”
Jawaban yang membuat si tuan muda itu tertawa keras sekali. Dua tubuh menggigil di depannya makin mengecilkan diri. Suara isak mulai terdengar dari si bocah. Lelaki muda itu makin memaksa, makin mendekat, Wulan makin membungkuk memeluk anaknya. Namun posisi membungkuk itu semakin membangunkan setan-setan di kepala lelaki muda itu. Belahan dadanya makin terlihat dan lekuk tubuhnya semakin jelas membentuk. Dia makin kesulitan mengendalikan hasratnya yang memang tidak sedang dia usahakan terkendali. Dia ingin membebaskan gairahnya. Dengan kekejian yang mutlak dia menarik lepas si anak dan mendorongnya menjauh. Bocah kecil itu jatuh.
.
Dug.
.
Suara lemah kepala dan akar pohon yang mencuat di tanah beradu.
Airlangga jatuh dengan darah mengalir dari kepala.
“AIRLANGGA…” Wulan berusaha meraih anaknya. Namun tangannya tak sampai menyentuh Airlangga. Tangan di tubuh itu tertarik mendekat ke arah setan berwujud manusia yang sudah semakin tidak terkendali. Kasar, dia membuka paksa helai-helai kain yang menutupi tubuh Wulan. Tak peduli wanita itu berteriak menolak dan memberontak hebat.
“AAARRRGGGHHH….”
Bersamaan setan berambut pirang memaksa memasuki tubuh Wulan, Kertabumi tersentak mendengar jeritan itu. Dia mengenali suara itu sebagai suara istrinya. Dia langsung melemparkan bawaannya dan berlari ke arah sumber suara. Matanya mendelik sempurna melihat pemandangan di depannya. Tanpa berpikir, dia mencabut belati yang terselip di pinggang lalu langsung meloncat ke arah dua orang yang sedang bergumul. Dia mendorong dengan semua tenaga yang dia punya untuk memisahkan dua tubuh itu lalu langsung berhadapan dengan si lelaki. Wulan beringsut menjauh sambil merapikan carik-carik kain di tubuhnya, berusaha menutupi tubuh terbukanya.
.
Jleb.
.
“AAARRRGGGHHH…” Kali ini suara si setan yang mengisi ruang bumi. Matanya mendelik sempurna merasakan belati dingin menusuk di tubuhnya.
.
Jleb.
.
Dua tusukan di dada dan perut membuat si setan mengejang lalu semakin lemah. Di saat tubuhnya melemah dia tetap berusaha melawan, sebelah tangannya menahan laju Kertabumi sementara sebelah lagi berusaha meraih sesuatu di pinggangnya ketika lelaki yang menikamnya sedang berusaha menggapai si wanita cantik.
.
DOR
.
Tanpa suara, Kertabumi mendelik sempurna. Tubuhnya mengejan saat merasakan panas menyebar cepat di perutnya. Pertahanannya terbuka.
.
DOR.
.
Satu lagi menembus tepat di jantungnya. Saat itulah tubuhnya melunglai cepat.
“KANGMAS!” Wulan terbelah. Antara mengurus anaknya dan mendekati suaminya.
Tak puas, si setan dengan sisa nyawa yang dia punya menarik paksa belati di tubuhnya, lalu dengan nyawa terakhirnya dia menancapkan belati itu di dada lawannya.
“KANGMAS!” Kali ini dia tidak berpikir lagi.
Ketika dua tubuh di depannya roboh bersamaan, Wulan tahu apa yang harus segera dia lakukan. Terseok tersuruk, dia bergegas ke arah Kertabumi.
“KANGMAAASSS….” Tangannya meraba dada suaminya yang sudah bermandi darah. Darah yang mengalir sederas air matanya.
“Aaaa…” Kertabumi berusaha bersuara.
Lalu roboh tanpa sempat menyelesaikan kata yang tersendat dari bibirnya. Wulan makin histeris. Menyadari suaminya sudah pergi dan dirinya yang ternoda, dia melirik Airlangga yang masih diam seperti mati.
Lalu untuk apa aku hidup?
Tak berpikir lama, dia menarik belati yang masih tertancap di Kertabumi. Tanpa berpikir ulang, dia menancapkan belati itu langsung ke dada kirinya.
Wulan pun menyusul Kertabumi.
***
Senja yang muram. Angin senja mendesau mengirimkan berita kepada dunia. Semilirnya seakan suara duka yang menangis perih. Daun yang jatuh berguguran seperti airmata duka yang mengalir di pipi. Suara angin menggesek dedaunan menjadi kidung sedih pengantar kematian. Matahari sudah sisa lengkung kecil di sudut bumi. Darah sudah mengalir dari empat tubuh. Ruh sudah terlepas dari tubuh. Melayang pergi berpindah alam. Alam pun menangisi kepergian empat nyawa.
***
Bersambung
TANAH itu masih merah, tapi kelopak bunga yang menutupi tanah itu mulai layu. Rindang pepohonan membuat tempat itu begitu teduh, tenang, tapi sekaligus juga mistis. Ini adalah tempat yang menjadi penanda batas dua dunia. Tempat kenangan akan yang terkasih berkumpul.Ketenangan dan kedamaian di tempat itu tidak bisa hadir di hati seorang pemuda. Pemuda yang terlihat sangat berduka meski tetap tanpa airmata. Wajahnya yang muram jelas menggambarkan dukanya. Matahari yang berhasil menyelinap dari sela-sela dedaunan tidak bisa menghadirkan kehangatan di hatinya. Semua terasa beku. Dingin. Mencekam. Setengah mati dia menahan sedih. Mungkin dia berhasil tapi jiwa yang terluka menyisakan marah yang sulit hilang. Marah yang berbuah dendam. Dendam yang akan tergenapkan jika sudah tuntas.Airlangga duduk bersimpuh di makam itu. Makam kakeknya. Sebuah makam yang baru, diapit dua makam lama.Makam ayah dan ibunya.Langkahnya belum lagi kokoh menjejak bumi ketika ayahnya memilih mati berkalang tana
DIA tahu, seluruh penduduk desa adalah keluarganya, yang akan selalu melindungi sesamanya. Namun, dia tetap berhati-hati. Negeri ini juga memelihara begitu banyak pengkhianat. Berjalan dan memutar, ada satu urusan lagi yang harus dia selesaikan. Hari memang masih gelap, tapi kehidupan tentu sudah ada di balik pintu-pintu rumah. Dia berusaha berjalan biasa saja. Sampai di suatu jendela, dia mengetuk pelan daunnya. Tak lama, jendela itu terbuka mengantarkan sesosok pemuda lain yang tidak kalah gagah dari Airlangga.Mengetahui Airlangga berdiri di luar, gesit, dia melompati ambang jendela. Tak lama keduanya sudah berlari menuju tujuan yang sama.Di tepi hutan, mereka semakin gesit dan leluasa menyelinap di antara perdu dan pohon. Sampai di bawah pohon angsana, Airlangga yang memimpin di depan menghentikan langkahnya.“Dayana.” Dia tentu tidak bisa melihat dengan jelas sosok yang dia panggil. Matahari masih sangat jauh di timur bumi sementara bulan sudah nyaris tenggelam di cakrawala bara
DAN di sinilah dia sekarang. Mengintip di balik kerindangan beringin. Ranting dan dahannya mempermudah dia menaiki pokok pohon itu. Duduk santai mengamati, dia mencari sang tuan rumah. Kerimbunan pokok beringin membuatnya aman bersembunyi. Daunnya yang lebat, ranting dan dahannya yang rapat, dan malam yang gelap membuat semuanya menjadi hitam. Dia nyaris santai duduk mengamati di salah satu dahan. Sedang ada pesta rupanya. Aku akan menunggu sampai pesta usai. Halaman luas di depan masih terlalu ramai. Para pelayan masih sibuk hilir mudik keluar masuk rumah sambil membawa nampan. Meja-meja pun masih terisi penuh. Suara musik masih riuh. Para tamu masih sangat bersemangat menari dan berbincang. Pesta masih jauh dari selesai. Sambil menunggu, dia mengamati rumah besar itu. Manusia aneh. Untuk apa memiliki rumah sebesar itu jika hanya dihuni oleh dua orang saja? Tidak cukupkah jika rumah itu dibagi tujuh? Rumah sebesar itu tentu akan merepotkan. Membersihkannya saja butuh banyak ten
PESTA telah usai, menyisakan kekacauan yang luar biasa di halaman rumah itu. Meja dan kursi bertebaran tidak teratur. Isinya pun berhamburan tidak teratur. Bunga-bunga lepas dari wadahnya. Berjumput-jumput rumput terangkat dari tanah. Sampah jangan ditanya. Tamu telah kembali ke rumah masing-masing. Membiarkan pengurus rumah kelimpungan mengurus sisa pesta. Karena apa pun yang sekarang terjadi, besok pagi semua harus terlihat normal seperti tidak pernah ada pesta semalam. Setelah mengantar tamu terakhir—William dan anaknya—meninggalkan rumah, Van Loen melangkah gontai memasuki rumah. Tubuh tua dan tulang rentanya tak sanggup lagi untuk mengawasi urusan kebersihan. Biarlah. Esok pagi semua pasti sudah kembali bersih. Jika tidak? Itu tidak akan terjadi. Karena kepala rumah tangganya sudah tahu apa yang harus dia lakukan jika ingin tetap bekerja di sana. Ells, sang gadis yang berulang tahun, walau lelah, tapi masih ada sedikit sisa tenaga untuk bersenandung. Senandung riang dengan tub
AIRLANGGA leluasa berlari di hutan. Dia tidak butuh matahari untuk mencapai tujuannya. Pokok tanaman dan semak menjadi penunjuk arah. Ditambah bulan dan bintang utara yang terang bersinar, dia tidak kesulitan menggendong tawanannya. Seberapa pun kuatnya gadis itu berontak, semua tiada arti ketika Airlangga sudah di dalam hutan. Dia tidak perlu mengendap, tidak perlu menjaga suara. Tubuhnya yang kuat sudah terbiasa mengangkat beban berat, membuat bobot di bahunya terasa ringan tak mengganggu gerakannya. Semakin jauh memasuki hutan, semakin jauh meninggalkan rumah. Ells tidak tinggal diam. Dia terus bergerak, berontak dari kungkungan lengan penawannya. Sampai akhirnya dia sadar, dan rasa lelah semakin kuat menderanya, dia berhenti berontak. Memilih diam dan pasrah terjungkal di bahu penculiknya. “Diam memang selalu lebih baik.” Aku diam, tapi aku akan meninggalkan jejak. Tapi bagaimana caranya jika tangannya terikat? Seperti mendengar suara batin Ells, mendadak Airlangga menurunkan
SENTUHAN kasar di sepanjang kaki menyusul lengannya membangunkan tidur lelapnya. Ap—?? Siap—?? “PAPAAAAA….” Ells kembali berteriak. Penculiknya meraba seluruh tubuhnya! Ells sangat ketakutan. “Diamlah.” Airlangga terus meraba tubuh Ells. “Aku hanya membalurkan sesuatu untuk mengusir nyamuk.” Hah? Ells ingat, tadi sebelum lelap memang denging nyamuk mengganggunya. Tapi lelah membuat dia tak sadar gangguan yang biasanya membuatnya berteriak kencang jika di rumah. Rumah. Ells sangat merindukan rumahnya. Ini belum lagi satu hari dia pergi. Malam pun belum mereka lewati. “Sini! Biar aku saja!” Segera diambilnya sesuatu dari tangan penculiknya. “Kenapa kau tidak menyuruhku melakukannya sendiri?” Ells menggerutu. Orang ini ingin mengambil kesempatan! “Karena aku tidak yakin kau mau memegang itu.” “Kenapa?” “Bukan kenapa. Tapi apa.” “Apa?” Ells mengulang pertanyaannya sambil membalur tubuhnya dengan apa pun itu. “Kotoran ayam hutan.” “AARRGGHHH…!!!” Suara marah Ells berbaur d
HARI masih pagi ketika Tirta duduk gelisah di depan rumah. Sudah beberapa hari tidak ada kabar dari kemenakannya. Balai-balai tempatnya duduk berderak-derak setiap kali dia bergerak kasar dan gelisah. Berkali-kali kepalanua menoleh ke arah hutan. Dia yakin, kemenakannya itu akan memulai aksinya dari sana. Dari mana lagi? Hutan adalah nyawanya. Dia akan mati jika jauh dari hutan. Dia mengenali hutan itu seperti hutan itu mengenali dirinya dan memberikan semua yang dia butuhkan. Airlangga, kemenakannya tersayang. Anak tunggal kakaknya yang sudah tidak ada. Hanya tersisa Airlangga dari trahnya. Dan sekarang, ayahnya pun sudah tidak ada. Siapa yang akan meneruskan tugasnya setelah dia tiada? Hanya ada Rindang, anak gadisnya yang Airlangga tolak. Mengingat itu, dia semakin masygul. Suara langkah kaki memang tidak mengganggu gelisahnya, tapi suara langkah itu membuatnya berhenti melamun. Tak lama, suara itu sampai di sampingnya. Rindang datang membawa penganan pagi yang sederhana. Hanya
“TOLONG jaga Kanda Angga untuk kami.” Ucapan itu yang mengantarnya pergi ke tujuannya semula sebelum singgah di rumah Airlangga. Menunduk, sepanjang jalan setapak menuju hutan dia tidak bisa berhenti memikirkan sahabatnya. Di tepi hutan, dia tetap berjalan nyaris tanpa nyawa. Sampai sebuah jejak menyentaknya. Jejak itu terlalu kasar. Jejak yang masih baru. Rumput bekas terinjak masih segar. Jejak ini baru berusia beberapa jam. Dia langsung mengamati lebih serius lagi. Dua pasang kaki. Sepasang yang besar dan sepasang yang kecil dan beralas kaki. Jejak yang kecil terseret-seret. Dia yakin jejak kaki yang besar adalah kaki sahabatnya. Terlalu jelas. Airlangga meninggalkan banyak jejak yang mudah terbaca. Apa maksud sahabatnya itu? Dia makin waspada dan mempercepat pencariannya. Dia terus mengikuti tjejak itu sambil berpikir keras menebak arah pikiran sahabatnya. Kali ini Airlangga sangat tertutup. Dia tidak mengatakan apa pun tentang rencananya. Udayana terus mencari tahu rencana Airl