LAGI-lagi van Loen melamun menatap hutan melalui ambang jendela. Hatinya makin teriris ketika dia tahu anak gadisnya sudah tidak ada di hutan itu. Entah sekarang Ells ada di mana. Sudah nyaris dua purnama berlalu sejak mereka menemukan dua pasang jejak kaki mengarah ke luar hutan. Itu pun mereka terlambat sepekan. Umur jejak itu nyaris sama dengan jejak di timur. Ah, andai saja sejak awal aku mendengar saran Robert, tentu Ells lebih mudah terlacak. Mungkin Ells baru sehari atau dua hari meninggalkan hutan. Sepekan waktu yang cukup lama untuk melarikan diri. Verdomme! Van lLoen terus menyesali dan memaki. . Tok tok tok . Van Loen tidak terganggu. Jika itu Robert, anak itu akan masuk tanpa perlu suara mengizinkan masuk dari dalam. . Tok tok tok . Suara mengetuk lagi. Bukan Robert. “Kom binnen[1].” Pintu itu baru terbuka setelah van Loen mengizinkan masuk. “Apa aku mengganggumu, Fred?” Van Loen langsung me
AIRLANGGA dibangunkan tubuhnya sendiri sesuai jadwal hariannya. Hari masih sangat pagi, bahkan matahari pun masih malas memancarkan sinar. Nyaris tanpa geliat, tubuhnya langsung siaga saat teringat ada hal penting yang ingin dia kerjakan. Perlahan dia berusaha melepaskan diri dari lilitan Ells yang meringkuk nyaman di ketiaknya. Tersenyum, dia menarik tangannya sambil mencium bagian mana pun dari tubuh perempuannya yang terdekat dengan bibirnya. “Jangan buka jendela itu, Angga.” Ells menggeliat ketika merasakan pelukan Angga mengendur. “Kemarilah lagi, Angga. Aku dingin.” Tangannya terjulur menggapai lelakinya, meminta pelukan lagi. “Tidak, Ells … aku hanya akan mematikan pelita.” Fajar telah datang. Matahari mulai menggeliat. “Apa ini sudah pagi, Angga?” Dia merengek, entah untuk apa. “Terlalu gelap. Aku tak suka.” “Sebentar lagi matahari datang, Sayang.” Airlangga hanya menggeleng saja untuk keanehan Ells. Tak suka terang tapi tak mau gelap. Menggerut
“LAGI, Ells?” tanya Airlangga ketika Ells sudah kembali dari tamasyanya. “Cukup untuk sekarang,” ujarnya sambil bergelung. Mengandung membuat gairahnya semakin menggila. “Baiklah...” Airlangga bergerak keluar sambil mengecup lembut bibir Ells. “Heyy… bagaimana denganmu, Angga?” Spontan Ells bergerak duduk. “Semua untukmu. Aku baik-baik saja. Aku tak mau kamu terlalu lelah.” Dia mengecup dahi Ells. “Satu kali lagi,” Ells melingkarkan lengannya di leher Airlangga, “kita melayang bersama.” Tersenyum lembut, Airlangga membalas, “Tawaran yang sulit untuk ditolak.” Dia mendorong lembut bahu Ells, dan langsung kembali mendatanginya. Hari baru datang sebagai pagi. Keduanya menikmati hari bersama alam. Berdua mendaki, melayang, tenggelam. Sungguh sebuah kebersamaan yang indah. *** Perjalanan itu sudah tuntas. Menyisakan rasa yang makin terikat kuat. Meninggalkan jejak-jejak hasrat di ruang kecil itu. Ada banyak cerita tertinggal di sana bersa
KEDUANYA masih terdiam. Mencari jalan terbaik du antara kebuntuan pikiran dan kecemasan hati. Semua memang bermula dari kesalahan, lalu bagaimana mereka memperbaiki kesalahan ini tanpa membuat kesalahan lain? Mereka berusaha mengembalikan hubungan ini dalam jalur yang benar. Namun awal yang buruk membuat jalan tersumbat terhalang puing-puing kesalahan. Namun kenapa awal yang buruk bisa menjadi sedemikian indah? Jarak mereka memang tidak berjeda, erat melekat seperti laut dan pantai. Tapi hubungan ini tidak bisa hanya diselesaikan dengan pendekatan hati saja. Ada satu hal mendasar yang menjadi penghalang. Status mereka sebagai inlanders dan anak pejabat Belanda. “Tidak mungkin kita langsung datang berdua menghadap Papa.” Akhirnya Ells bersuara, menyingkap kabut kegalauan. “Tentu saja. Papamu tidak akan menerima penjelasan apa pun darimu, apalagi dariku. Jika kita langsung bertemu ayahmu artinya aku menyerahkan leher untuk disembelih di depan matamu.” Ells men
LANGIT segelap malam. Bintang utara berkedip lemah untuk tetap setia menunjukkan arah bagi makhluk tersesat. Bulan menjelang purnama terhalang tebalnya awan. Rinai hujan membentuk tirai alam yang indah. Angin membawa dingin. Keindahan yang terhalang kesuraman malam. Airlangga berusaha keras menekan perasaannya, hanya untuk sekadar menyisakan sedikit ruang di hatinya untuk tersenyum pada wanitanya. “Bercintalah denganku, Angga,” pinta Ells di dada Airlangga. Aku selalu bercinta denganmu, Daniella. Sekasar apa pun itu, aku selalu bercinta. Itu hanya aku kadang tak tahu cara lain memberitahukanmu besarnya kasihku. Aku selalu bercinta denganmu. Hanya denganmu. “Ells … aku mencintaimu…” Dengan cinta yang cukup untuk menenggelamkanku. Kembali, sesak itu memenuhi rongga dadanya. Apa pun yang dia lakukan, sesak itu tak berkurang, apalagi hilang. Tak menyisakan ruang sedikit pun untuk rasa lain, kecuali cinta. Cintanya pada Ells. Malam ini, m
“SELAMAT pagi, Ells,” sapanya ketika akhirnya Ells menggeliat. Dia memang menunggu Ells bangun, tapi itu berarti waktunya semakin dekat. Matahari tak bisa di tahan. Kelelawar sudah bersembunyi, berganti kicau burung menyambut hari. Hari memang masih sangat pagi, sisa malam masih sangat terasa. Dingin yang mengundang orang untuk kembali bergelung dan bergumul dengan kekasih. “Selamat pagi, Angga.” Mengarahkan wajahnya untuk kecupan selamat pagi dari Airlangga, yang disambut dengan sukacita. Dia mengecupi wajah gadisnya dengan intensitas yang berbeda dan berakhir di kecupan selembut bulu di puncak kepala. Kenapa semua hal kurasakan sebagai yang terakhir? Usai mengecup, Airlangga menatap lembut mata perempuannya. Begitu lembut sampai terasa rapuh. Apa yang tersirat melalui kecupan dan tatapan tertangkap cepat oleh Ells. “Angga,” merengkuh leher, memeluk Airlangga, “aku akan kembali.” Airlangga berusaha keras memasukkan kalimat itu ke alam bawah sadarn
“KAU mau kita turun sekarang?” Suaranya semakin pelan. “Lepas sedikit tengah hari kita sudah ada di tepi hutan. Rumahmu tak jauh dari sana.” Mengucapkan itu seperti mengucapkan kata perpisahan. “Apa sedekat itu?” “Ya.” “Aku senang, Angga. Kita tidak terpisah jauh. Nanti malam, kau tunggulah aku. Aku akan melihatmu melalui jendela kamarku.” “Tentu. Aku akan selalu melihat ke arah rumahmu.” “Kalau kita berjalan lurus apa akan lebih cepat?” “Tidak. Medannya lebih sulit, apalagi untuk wanita hamil. Kita akan sedikit memutar.” “Baiklah. Tak apa. Yang penting aku bisa melihat dari jendela kamar.” “Tentu.” “Apa rumah ini tegak lurus dari jendela kamarku?” Angga sedikit mengingat. “Tidak. Rumah ini sedikit ke arah tenggara. Menolehlah sedikit ke kanan.” “Baiklah.” Ells tersenyum. Airlangga pun. Tapi senyum itu malah membuat Ells runtuh dan menjatuhkan tubuhnya ke pelukan lelakinya. “Aku tidak mau pulang, Angga. Aku di sin
DI tepi hutan, Airlangga terus menatap Ells yang semakin menjauh. Sampai Ells menghilang dari pandangannya, dia terus berdiri. Menunggu sampai waktu yang rasanya cukup untuk Ells sampai ke rumahnya. Di tepi hutan itu, dia benar-benar merasakan rasanya patah hati. Ya, patah hati. Bukan sakit hati. Ells tidak menyakitinya, tapi cinta ini membuatnya patah. Ah, Ells memang tidak menyakitinya, tapi cinta ini yang membuatnya sakit. Ells membuatnya patah hati ketika cinta itu tak tergapai tangannya. Kenapa bisa semua terbalik seperti ini? Tapi, ah, dunia memang sering terbalik-balik. Semua bisa tiba-tiba berbalik arah dari membelakangimu menjadi menyerangmu. Ells yang dulu sangat dia benci, representasi mutlak dari kebenciannya pada penguasa yang membunuh orangtua dan kakeknya, sekarang malah menjai orang yang paling dia sayang. Dia yang dulu sesumbar akan membalas dendam malah terjebak cinta. Dia yang dulu jumawa dengan kekuatan tubuhnya sekarang begitu tak berdaya. Se