“Saya pamit dulu, terima kasih makanannya.”“Mau ke mana? Pekerjaan kita belum selesai.”Bulan mencegah Langit pergi dari sana. Jam makan siang memang sudah berakhir. Namun pekerjaan mereka masih belum kelar. Dia tak suka kalau harus lembur malam ini. Sebab banyak pikiran yang mengganggunya sejak pagi tadi.Walau dia terlihat baik-baik saja. Isi kepalanya riuh bergemuruh.“Nanti saya kembali lagi, tak enak mengganggu kalian berdua. Lebih baik saya kembali setelah kalian selesai makan.”Bintang mengangguk, memberi persetujuan pada Langit. Sebagai seorang laki-laki dia bisa mengendus sesuatu yang terjadi antara mereka berdua, hanya saja dia tak mau menunjukkannya.Langit masuk ke ruangannya. Menyandarkan punggungnya pada kursi kebesarannya yang sejak pagi dia tinggalkan.“Langit..Langit. Kamu pikir kamu siapa? Lihatlah betapa bahagianya mereka tanpamu. Bukankah mereka pasangan yang cukup serasi? Walaupun pemenang saat ini adalah aku, pada akhirnya mungkin Bintanglah semestanya.”
Sedari tadi Langit hanya berani menatap layar ponselnya tanpa berani menjawabnya.“Jawab Langit. Kenapa tak menjawabnya?”“Bukan hal penting.”“Sure? Nanti kamu menyesal, itu nomor yang sama yang kemarin meneleponmu, Bukan?”Langit mengerjapkan matanya, dia tak menyangka kalau Bulan sedetail itu. Dia yang tak enak hati pun menggeser tanda tolak. Bulan meliriknya sekilas. Matahari mulai terbenam, senja pun datang. Sinarnya yang kemerahan mulai tergulung temaram. Seperti kehidupan, senja mengajarkan banyak hal, merelakan dan menerima perubahan yang terjadi dalam hidup.Pekerjaan mereka hampir selesai saat jam di dinding menunjukkan pukul enam sore.“Finally selesai juga.”“Kembalilah ke ruanganmu, bereskan barang-barang milikmu.” Langit tersenyum, “Kamu yakin menyuruhku kembali ke ruanganku. Aku takut kamu merindukanku.”“Damn you! Cepatlah atau aku akan berubah pikiran dan menendangmu keluar dari sini.”Langit membulatkan ibu jari dan telunjuknya. Dia keluar dari ruangan
Langit mengumpat, “Brengsek!”Dia masih tak mengerti tentang kemarahan Bulan padanya. Alih-alih pergi dari sana, dia memilih kembali masuk dan duduk di tempatnya semula. Dia menghela nafas, takdir tak berpihak padanya, buktinya saat dia sedang mengejar Bulan, Bintang tiba-tiba saja muncul di depan Bulan dan menawarkan tumpangan.“Huff!”Diurungkannya kembali niatnya menghabiskan makanan yang sudah dipesannya. Nafsu makannya mendadak hilang. Setelah dia membayar tagihan, dia memilih kembali ke rumah.Kalaupun Bulan tak ada di sana, itu artinya dia memang sedang tidak beruntung. Dengan kecepatan di atas rata-rata di melajukan kendaraan milik Bulan ke rumah.Sesampainya di rumah, dia berlari ke dalam kamar, ditemukannya istrinya yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan rambutnya yang masih basah.“Bulan maafin aku.”Bulan acuh tak acuh. Langit menarik tangan istrinya hingga keduanya jatuh di atas ranjang dengan posisi Bulan yang berada di atas langit.“Kamu marah
Selesai makan, Bulan yang membersihkan bekas makanan mereka, mencuci semua piring dan mengembalikan semuanya pada tempatnya. Walau dia dibesarkan di tengah keluarga yang berkecukupan, Bulan selalu diajarkan mamanya untuk mandiri.Selesai dengan kegiatannya, dia membuat dua cangkir lemon hangat dan membawanya ke kamar. Bulan menyodorkan salah satu gelas pada suaminya.“Thanks,” ucap Langit seraya tersenyum.Mumpung istrinya lagi baik, tak ada salahnya dia menikmati kebaikannya. Malam ini langit malam tampak begitu indah. Tak ada awan yang menggelung di atas sana. Hanya ada kerlipan bintang dengan cahayanya yang cukup terang.Keduanya menikmati keindahan malam di balkon kamar.“Bintang itu cantik, bukan?”“Sejak kapan bintang cantik.”Bulan memicingkan matanya.“Bintang tampan, bukan?” Spontan Bulan mengangguk, mengakui bahwa Bintang memang tampan. Ada sesetitik rasa perih terasa di hati Langit.“Tapi kita tidak sedang membicarakan Bintang atasan kita, Langit. Kita sedang me
“Berhubung malam mulai gelap, dan kamu juga harus mengembalikan gelas ke bawah, lebih baik kita akhiri obrolan kita sekarang. Aku mengantuk. Besok kita harus bertarung dengan kejamnya dunia.”Langit tersenyum tipis. Jelas sekali kalau Bulan tak ingin membahas tentang hubungan mereka bertiga. Walau begitu, Langit menurut. Dia mengembalikan gelas-gelas mereka ke dapur.Saat dia kembali, dilihatnya Bulan yang masih belum tidur, dia bersandar pada headboard.“Bukannya kamu mau tidur? Ini hampir pagi, Bulan.”“Entahlah, rasa kantukku tiba-tiba hilang.”“Apa kamu mau aku ninaboboin, biar tidurmu pulas? Atau kamu mau aku memelukmu sampai kamu tertidur?”Bulan melempar bantal miliknya. Langit tergelak, dia berhasil mengelak dari lemparan Bulan. Dia memungut bantal yang jatuh di lantai dan membawanya naik ke atas ranjang.“Mau ngapain?” tanya Bulan melotot.“Tidur. Atau kamu mengharapkan yang lain? Mau olahraga denganku malam ini?”Langit yang sudah duduk di atas ranjang pun menerima
Bulan menoleh ke arah yang ditunjuk Langit. Sebuah pemandangan yang membuatnya ingin tertawa. Seekor monyet sedang menari menggunakan topengnya.“Terus? Kamu samakan aku dengan monyet itu?”“Nggak, aku cuma mau menunjukkan padamu bagaimana kamu kalau pas lagi tantrum, persis seperti itu.”“Damn you!”Langit tertawa terbahak-bahak, puas melihat istrinya kesal. Namun lama-lama Bulan ikut tertawa juga saat terus-terusan melihat atraksi demi atraksi yang dilakukan si monyet.Mereka berdua tertawa terbahak-bahak menikmati hiburan pagi ini.Sampai di kantor keduanya memasang wajah datar. Meski terdengar bisikan-bisikan saat mereka masuk ke dalam lift. Keduanya menulikan telinga.Ada yang mengatakan kalau Langit sekarang menjadi sopir Bulan demi bisa mendapatkan kemurahan hatinya. Lain pula ada yang mengatakan kalau Bulan sengaja menjajahnya seperti biasanya.“Jangan dengarkan omongan-omongan mereka.”“Untuk apa? Bukankah aku sudah biasa mendengarnya,” ucap Langit yang selama ini m
Meskipun kadang Bulan menggerutu kesal dan bersikap seolah tak peduli dengan suaminya, kini dia merasa aneh saat suaminya tidak berada di sisinya.Lamunan tentang Langit membuatnya mengingat alamat yang sudah Langit berikan padanya dipesan yang dia kirimkan.Apartemen yang berada pada jantung kota yang dia ketahui cukup mahal harganya. Selama ini Langit benar-benar menaruh uang yang dia kumpulkan untuk berinvestasi, bukan untuk berfoya-foya.Sampai di basemen, Bulan menelepon Langit. Sebab tak sembarangan orang bisa masuk ke apartemen miliknya. Mereka harus punya kartu pengunjung, itu pun harus disetujui oleh pemilik unit.“Ribet,” keluhnya saat Langit membukakan pintu unitnya.Langit mengembangkan senyum. Justru aneh jika Bulan tak menggerutu karenanya. Artinya istrinya itu dalam keadaan yang sedang tidak marah dengannya. Kebalikannya, Bulan akan mendiamkan Langit kalau dia sudah berada diambang batas kemarahannya.“Duduklah. Aku ambilkan minum untukmu.”Bulan duduk, matanya m
Bulan mengeluarkan sumpah serapahnya. Memukul kepalanya yang akhir-akhir ini sering berpikir lebih lambat dari biasanya.“Langiit... i hate you!”“I love you to.”Bulan yang mendengarnya makin kesal dibuatnya. Dia mengentak kakinya bebersa kali.“Bulan dengar, itu bukan salahku. Kamu memang sedang bermimpi, jadi lupakan saja. Cepatlah keluar sebelum makanannya dingin.”Selesai membasuh muka dan mencuci tangan Bulan keluar dari kamar mandi. Dia memasang raut wajah masam.“Marah-marah terus, kamu nggak takut cepat tua?”Bulan bersungut-sungut, mengabaikan ucapan Langit dan langsung duduk di kursi makan. Dilihatnya spaghetti carbonara kesukaannya. Matanya berbinar cerah, moodnya yang tadi berantakan kembali membaik.“Dasar wanita.”Bulan mendelik ke suaminya.Langit mengembangkan senyum. Melihat istrinya bahagia dengan hal sederhana, rasanya dia ingin menghentikan waktu dan menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang ada di depannya. Rasanya dia sedang memiliki dunia seisinya.“Mak